Andai saja kau tahu, malam sesunyi ini selalu kuhabiskan dengan mendengar nyanyian katak. Hujan memang sudah lama reda, tapi katak-katak itu terus bersenandung. Dan bunyi jangkrik terdengar di kejauhan. Aku memang di sini, teronggok pilu di atas ranjang biru yang semakin berdebu. Tapi kau tak pernah tahu atau memang tak akan tahu, bahwa hatiku selalu bersamamu.
***
Saat kau mengulurkan tangan mengajakku berkenalan, aku sangat yakin bahwa kau adalah orang yang tepat dipilih Tuhan untuk mendampingiku. Ini bukan karena bisikan Jibril, tapi karena senyawa yang berdesir dalam dada yang kian bergemuruh setiap kali mencuri pandang padamu.
Aku tahu, sosokmu bukanlah yang sempurna. Tinggimu hanya 150 cm. cukup pendek untuk ukuran lelaki. Tapi buatku, kau lebih menarik dengan tinggimu yang seadanya.
Kulitmu yang putih, selalu membuatku tak rela setiap kali kau berjalan di bawah terik matahari. Belum lagi matamu yang setajam pisau, siap menorehkan hati wanita manapun.
Dan sejuta alasan lain yang membuatku semakin gila bila memikirkanmu. Memikirkan seorang Amrin Nur, sosok yang tak pernah pergi dalam benakku.
Dan pada pertemuan kedua, saat kau menyapa namaku, saat itu juga dunia seolah berhenti berputar. Bukan karena bumi kehilangan nafas, tapi seluruh elemen yang terkumpul di dalamnya seolah menunggu kejadian selanjutnya.
Meski saat itu kau hanya menepuk bahuku dan menyunggingkan seulas senyum, aku merasa lebih bahagia dibandingkan Hawa yang dipertemukan Adam dan dikaruniai puluhan putra yang elok parasnya.
Lalu setelah itu, kau mengajakku ke kafe seberang jalan. Tidak mewah memang, namun bagiku lebih berkesan dan indah dibanding kafe manapun di Paris yang banyak dikenal menawarkan romantisme. Menunya pun sangat biasa dan tidak tergolong lezat, tapi membuatku selalu ketagihan untuk kembali berkunjung, berharap kau selalu ada di sana dan memergokiku setiap waktu di tempat itu. lalu kita bisa berbincang tentang banyak hal di masa sekarang dan masa depan.
Pertemuan kedua kita di kafe itu memang tidak spesial. Kau hanya mengatakan bahwa kau butuh teman untuk makan siang yang sebenarnya termasuk makan sore. Kau bercerita banyak hal. Seputar aktivitas keseharianmu yang bergelut dengan waktu. Dan kau tahu, aku masih menyimpan harum nafasmu bersama ekspresi riangmu saat itu, saat kau mengatakan bahwa begitu bebasnya kau menghirup udara dunia, karena tak dikejar tenggat waktu masa kerja.
“Kebetulan aku lagi tidak banyak kerjaan, jadi aku bisa sesuka hati hari ini.” Itu kalimatmu yang masih kuhafal sampai saat ini. Mengulang kembali kalimat ini bagikan merapal mantra, yang setiap satuan kata memunculkan getaran dahsyat yang membuat tubuhku hangat dan berkeringat.
Ya Tuhan, jika ini adalah kegilaan, aku snagat mensyukurinya. Karena aku sangat menikmati kegilaan ini. Meski hanya itu, namun membuatku bahagia.
***
Siang itu kulihat dirimu sedang duduk tenang, menatap layar komputer berisi huruf yang berjejer rapi. Sesekali jemarimu melnggang lincah di atas keyboard. Sesekali kulihat dahimu berkerut-kerut, entahlah mungkin deretan huruf itu membuatmu migrain. Lalu kaupun menyeruput kopi, yang kuyakin jenis mocacino. Mengenai ini aku masih ingat, menurutmu moccachino adalah jenis campuran kopi terbaik untuk menghanurkan rasa penat. Dan waktu tiga bulan menurutku sangat cukup mengamati minuman yang kau gemari.
Saat dirimu masih asyik memandangi monitor layar datar berukuran 12 inch, aku tetap bisu di tempatku. Tak sedikitpun bergeming. Karena menurutku, ini jauh lebih baik.
Pun saat Artika, mendatangi meja kerjamu, kau asyik dengan aktivitasmu. Seruan Artika yang mengajakmu makan siang di luar tak kau gubris. Kau justru memangil Mang Odon untuk membeli nasi rames di depan kantor kita.
Setelah itu kau kembali tekun bercengkerama dengan monitormu.
***
Ini siang kedua aku melihatmu dengan perangai serupa. Dan ini pun untuk kedua kalinya kau menolak Artika yang mengajakmu makan siang di luar. Semula aku bakal melonjak girang, tpai kuurungkan. Karena setelah Maya mendatangi mejamu, kau seakan tak berdaya menolak ajakannya.
Dan saat itu pula hatiku hancur berkeping-keping. Dan entah untuk yang keberapa kali aku hanya bisa berimajinasi dapat makan siang denganmu. Dan rasanya makan siang pertama di kafe pinggir jalan saat pertemuan kedua kita, itu sudah lama sekali. Meski baru hampir empat bulan lalu tapi seperti sudah seperti empat dekade.
Dan akhirnya akupun hanya puas makan mi instant kemasan gelas, karena aku pun sibuk menyelesaikan ketikan rubrik fashion show yang digelar di Hotel Marbella Anyer kemarin.
Lagipula, setelah melihat kau begitu pasrah mengikuti ajakan Maya, aku langsung tidak berselera untuk menyantap hidangan apapun kecuali mi instant itu.
***
Siang. Sepertinya kau tidak terlalu sibuk. Itu terlihat dari gerak gerikmu yang natural dan tidak tergesa-gesa. Sesekali kau melempar pandang keluar. Ah, andai saja kau melempar pandang terhadapku. Tentu aku takkan bisa memejamkan mata semalaman.
Aku berniat mendekatimu. Tapi sebelum itu kulakukan, kulihat Maya dan Artika datang bersamaan menghampiri meja kerjamu. Aku tak sanggup menyaksikan itu. Aku lebih memilih toilet untuk menumpakan amarahku. Puas dengan itu, aku kembali ke meja kerjaku yang berjarak seperti ratusan kilometer di belakangmu. Dan dugaanku benar. Saat ku kembali ke meja kerjaku, kau sudah tak ada di mejamu.
Dan kau tahu, ini membuatku sangat hancur. Dan andaipun kau berada di posisiku, mungkin kau tak akan pernah kuat menahan ini semua.
***
Sore. Kau mungkin tidak tahu, saat kau pulang, aku kerap membuntutimu. Seperti sore itu. mungkin kau tak sadar, aku berada dalam satu lift denganmu saat turun ke lantai satu. Tapi aku memang tak pernah mengharapkan kau menyadari kehadiranku. Aku berada di barisan paling belakang di dalam lift yang dijejali sepuluh orang itu.
Saat pintu lift terbuka, aku tak ikut keluar. Aku melihat sesuatu terjatuh di tasmu, dan dalam hitungan detik langsung kuraih sebelum disadari penghuni lift lain. Aku rela melakukan itu meskipun aku harus terbawa kembali ke lantai atas.
Dan aku melonjak kegirangan saat kutahu benda yng terjatuh dalam tasmu adalah sebuah sapu tangan. Yah, meski sekadar sapu tangan berwarna biru langit. Tapi setidaknya mewakili benda yang kerap kau sentuh.
Esoknya, aku menjadi terobsesi menemukan apapun yang kau jatuhkan. Mulai dari voucher kartu isi ulang, nametag pelatihan atau kunjungan kerja atau workshop bahkan kaleng minuman dingin yang tertinggal di mejaku saat kau lewat begitu saja.
Dan andai saja kau tahu, aku lebih suka jika itu dilakukan dengan sengaja. Dan rasanya aku sangat rindu kau mengajakku makan meskipun dengan alasan karena kau tak ada teman atau kau menepuk bahuku dengan alasan apapun. Demi Tuhan, dengan kau ada di sekitarku tak akan membuat perasaanku menjadi lebih baik. Bahkan membuat hatiku semakin terobrak-abrik.
Ini pula yang membuatku mengambil keputusan yang paling tidak toleransi dengan hatiku. Aku harus pergi menjauh darimu. Pergi dari kantor tempat kau dan aku bekerja. Dan itu berarti aku harus mencari pekerjan yang jauh dari kota ini.
Keputusan ini kuambil setelah aku menemui psikiater. Itupun atas saran Reka, teman satu divisi yang merasa prihatin dengan tingkahku. Menurutnya aku menjadi semakin aneh, semacam pengidap obsessive compulsive. Itu memang kuakui, apalagi tingkahku macam orang yang tak waras. Aku tak hanya mengoleksi kaleng minuman dinginmu tapi sampai bungkus permen mint yang kerap kau konsumsi. Aku bahkan sampai hafal berapa butir permen yang kau kunyah setiap hari. Dan itu bisa kuketahui dengan mengobrak abrik keranjang sampah di mejamu.
***
Dan kau tahu, Reka benar. Aku menjadi lebih baik jika berjauhan denganmu. Aku tak lagi melihat Maya yang selalu menggelayut mesra di setiap kesempatan. Aku pun tak lagi melihat Artika yang kerap menyambangimu saat jam makan siang atau saat jam pulang kantor.
Di tempat baru, aku seperti menjadi manusia yang terlahir kembali. Aku tak lagi harus memungut bungkus permen mint yang kau kunyah atau mencari kaleng minuman yang kau teguk. Itu sudah tak lagi kulakukan karena kau kini berada benar-benar ratusan kilometer dimana aku duduk. Ini bukan kiasan tapi kenyataan. Karena kini aku berada di Medan dan kau di Serang. Dan butuh waktu berjam-jam jika itu terus kulakukan.
***
Siang itu Miranda, atasan di tempat kerja baruku mengajak untuk menghadiri even fashion show di salah satu hotel pusat kota Medan. Aku langsung mengiyakan, sekaligus lebih mengenal kota Medan yang dikenal banyak melahirkan para sastrawan dan seniman terkenal.
Dan aku hampir terperanjat, saat melihat sosokmu menyembul di antara kerumunan di pintu masuk. Aku menjadi mati rasa saat kau terus memandangiku dan membuntutiku hingga ke ruang tempat fashion show digelar.
Kau malah duduk di sampingku. Dan kau tahu, itu semakin membuatku tak nyaman. Susah payah aku terbang ke Medan dan mencari tempat baru untuk membunuh rasa itu. Dan selama dua bulan aku berjuang, aku rasa hampir berhasil sampai akhirnya kau muncul tiba-tiba di Medan. Aku baru ingat, sebagai orang yang banyak dikenal sebagai penulis ulasan liputan fashion tentu saja kau ada di even berskala nasional ini. Karena selain dirimu, banyak pula jurnalis lain dari berbagai penjuru nusantara hadir di even ini.
Miranda menangkap keresahanku. “Keluarlah sebentar mencari angin. Jika kau sudah merasa segar, kembalilah ke dalam untuk fokus menangkap secara detil setiap ide yang digagas para perancang ternma ini,” ujar Miranda.
Miranda memang temanku saat SMA, jadi setidaknya ia mengerti kapan aku resah dan kapan aku fokus pada tugasku.
Dan aku tak menyangka kau akan mengikutiku saat aku menuju lobi hotel dan duduk merenung di sofa empuk berwarna merah beludru.
“Kau pergi tanpa memberiku alasan sedikitpun,” ujarnya setelah duduk di sampingku.
Jantungku hampir melonjak keluar dari tempatnya saat kau mengatakan itu. Dan saat itu, kau tahu, rasanya aku seperti bermimpi. Aku terkesiap. Aku tengadahkan wajahku padamu yang sedari tadi memandangiku tak berkedip.
“Kau pergi tanpa permisi,” ujarmu lagi.
“Maaf, apakah aku begitu penting untukmu?” wajahmu langsung memerah saat kulontarkan pertanyan itu. Kau pun langsung menggaruk kepalamu yang kuyakin sedang tak gatal.
“Selama ini kau begitu jauh untuk kujangkau. Dan semakin jauh saat kau pergi dari Serang begitu saja. Dan dari Rika aku tahu kau pergi ke Medan. Saat mendengar kantor akan mengutus untuk meliput fashion show di Medan, aku langsung mengajukan diri dengan satu harapan…” ujarmu panjang lebar dan menggantung kalimat di bagian akhir.
Dan aku berharap kalimat itu tak terucap untukku. Dan kalaupun iya, apa yang harus kulakukan untuk menyenangkan hatimu.
Aku memilih diam, menunggu kalimat lanjutan dari bibirmu yang tipis. Namun kau lebih memilih diam.
“Lalu,” ujarku memberanikan diri.
“Aku bisa bertemu denganmu, dan Tuhan mengabulkan doaku.” Ujarmu.
Demi Tuhan, hatiku langsung gerimis. Cairan hangat menggenangi pelupuk mataku. Aku tertunduk untuk menyembunyikannya. Aku menggigiti ujung bibir. Asin. Aku tidak bermimpi bukan? Inilah momen yang paling kutunggu sejak lama.
Aku terisak seketika. Entah untuk alasan apa? Terlalu bahagia karena ternyata orang yang kukagumi dan hanya bisa kulihat dari balik kaca meja kerja menyimpan rasa yang sama, dan rela mengarungi ratusan kilometer untuk bertemu denganku.
Saat itu aku tak berpikir jernih. Maka kutinggalkan dirimu begitu saja di lobi hotel itu. Tanpa kepastian dan tanpa jawaban yang memuaskan.
Maafkan aku karena tak menjawab panggilanmu. Dan maafkan aku pula karena membuat gurat kecewa di wajahmu malam itu. Aku juga minta maaf karena telah membuatmu tugas liptan fashion showmu menjadi lebih berat karena urusan hati ini. Tapi percaya lah itu keputusan yang terbaik saat itu.
Andai kau tahu, aku begitu shock malam itu. Dan andai kau di posisiku, di posisi seorang wanita yang kehadirannya tidak dianggap, dan dibuat merana karena mengagumi seseorang yang tak kunjung memberimu perhatian. Dan tiba-tiba saja ia datang menyatakan perasaannya yang juga sama dirasakan olehmu. Tentu kau akan dibuat gila lagi dalam sekejap. Dan aku yakin kau akan melakukan seperti yang kulakukan. Menyendiri untuk menenangkan diri.
***
Malam masih menyimpan dingin yang dibawa hujan sejak sore. Suara katak tak lagi terdengar. Malam mulai merambat ke pertengahan. Hatiku semakin gundah.
Aku tak tahu apa yang kau rasakan malam ini. Mungkin kau hancur, kau terluka, dan merasa menjadi orang paling bodoh sedunia karena mengejar cinta yang mengacuhkanmu. Tapi itu pula yang kaulakukan selama beberapa bulan lalu. Dan kau tahu, kali ini aku akan mengikuti pepatah bahwa orang bijak tidak akan jatuh pada lubang yang sama. Dan aku akan melakukan itu. Meski itu tak akan mudah kulakukan. (*)
Sumber : erpenwimas.blogspot.com/2010/05/wanita-pengagum-rahasia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar