Aku masih bisa
merasakan gatal di kerongkonganku. Setidaknya aku masih bisa merasakannya
hingga saat ini. Dokter pernah berkata bahwa aku akan mulai tak bisa merasakan
apapun hingga lumpuh total pada akhirnya. Dokter tak bisa mendefinisikan sakit
apa yang sebenarnya aku derita. Mereka hanya bisa berkumpul setelah memeriksaku
dan berkata sabar atau semacamnya.
Aku tak mengerti
tentang hidup tentang apa yang aku jalani sekarang. Aku sendiri sudah merasakan
setiap keanehan pada kehidupan mulai dari aku bisa menyadari apapun.
Aku tak pernah
mau masuk sekolah karena sekolah bukan tempat aku mendapat pendidikan. Tak
satupun sekolah ataupun jajarannya yang memberikan pengetahuan padaku. Aku
pernah bertanya tentang Pythagoras
pada umur lima tahun di taman kanak-kanak. Guru di sana hanya berkata aku belum
siap untuk mengetahui hal seperti itu.
Tak beda dengan
taman kanak-kanak, sekolah dasarku, SMP atau SMA semua sama saja. Tak ada yang
berbeda. Hanya jika aku mulai bertanya apa yang ada di otakku guru akan mulai
berkumpul dan berdiskusi bagaimana cara mengeluarkanku dari sekolah itu.
Temanku juga sama, atau bisa aku sebut orang asing yang tak sengaja berdekatan
denganku. Mereka semua sama. Hanya karena pertanyaan-pertanyaan yang membuatku
penasaran mereka akan bersiap untuk menghinaku kapan saja bertemu dengan aku.
Aku bingung
dengan semua rincian kehidupan ini. Menurutku aku tak begitu nakal, bahkan aku
tak pernah nakal sekalipun. Tapi ayah jika bertemu denganku ketika mulutnya
mengeluarkan aroma pahit tak sedap dia selalu akan memukulku, salah atau
tidaknya aku tak pernah menjadi pertimbangan. Ibu juga begitu tak pernah aku
mengerti ketika aku dipukuli dia hanya diam atau justru meminta ayah
memukulnya. Aku sungguh tak pernah mengerti.
Aku punya satu teman
atau sahabat atau apapun yang bisa aku sebutkan, Ibu. Tapi aku juga tak
mengerti tentang komponen kehidupanku yang ini. Masih begitu rumit untuk aku
mengerti. Ia sering berkata bahwa kita hidup tak bisa sendirian, tapi ibu
selalu menangis sendiri di sudut kamarnya. Ia jua sering mengajarkanku bahwa
kebahagiaan adalah hal yang harus terus kita jaga, tapi ia sendiri tak pernah
terlihat senyum begitu lebar.
Aku kadang
berfikir apa lagi yang mungkin bisa aku mengerti tentang kehidupan ini, tapi
kadang aku sendiri tak mengerti apa itu kehidupan. Ini adalah ulang tahunku ke
23 atau bisa kusebut saat ini adalah perpanjangan umurku yang mencapai 2 tahun
4 bulan. Mungkin saat anda membaca ini perpanjangannya sudah melebihi angka di
atas. Apa lagi yang harus aku mengerti. Bahkan kematianpun, komponen terakhir
dalam kehidupan, tetap membingungkanku.
Dokter pernah
berkata bahwa mungkin di umur 21 aku akan meninggal atau bahkan sebelum itu.
Saat itu tanggal 4 januari 2012, aku yakin betul dia berkata bahwa aku akan mati
sebelum umurku mencapai 20 tahun 8 bulan
atau mereka menyebutnya bahwa kematian akan menjemputku 4 bulan lagi.
Saat dokter
berkata seperti itu aku ingin sekali menyampaikannya pada seseorang. Setidaknya
aku ingin tahu apa benar seorang dokter bisa memprediksi kematian. Sayangnya
satu-satunya orang yang pernah aku ajak bicara sudah terlebih dahulu bertemu
dengan komponen terakhir dari kehidupan. Ayah juga tak bisa aku ajak bicara,
saat itu dia masih ada di dalam sel karena kesalahannya sendiri. Dan tentunya
seorang temanpun aku tak memilikinya.
Aku pernah
melemparkan botol ke laut lepas, menekan nomer di telepon secara acak, atau
mengirimkan surat ke 10 alamat berbeda di semua belahan dunia hanya untuk bisa
bercerita. Tapi tak satupun dari cara tersebut berhasil. Justru ketika aku
menerima surat balasan dari salah satu alamat yang aku kirimi aku hanya
mendapati cacian dan makian. Apa semua orang juga mungkin sama seperti ayah?
Aku pernah
menangis lebih dari tiga hari berturut-turut di kamarku tapi tetap tak ada yang
bisa melegakanku. Apa lagi yang bisa aku lakukan saat itu sudah tak ada. Tapi
ibu pernah berkata bahwa biarkan kematian mendatangimu jangan pernah menjadikan
kematian sebagai musuhmu. Hanya kata-kata itu yang membuat aku tak menantang
kematian.
Aku masih
bingung kenapa aku masih bisa menjadi komponen kehidupan meskipun ini sudah
melewati masaku hingga 2 tahun 4 bulan. Tapi yang aku sadari adalah aku hidup
karena keinginanku. Bukan keinginanku untuk tetap hidup, tapi keinginanku untuk
tetap bercerita dengan temanku di sudut bumi lainnya.
Saat ini aku
menapat seorang teman untuk bercerita. Tak pernah aku temui tak pernah aku
mendengar suaranya yang aku tahu hanya karakter huruf-huruf pada suratnya yang
menari seketika aku membacanya. Mungkin karena hanya ini sarana aku
berkomunikasi dengan orang lain. Aku pernah bertanya apakah aku boleh
ketempatnya atau sekedar menelponnya. Tapi, ia bilang bahwa tak ada telpon di
rumahnya dan tak mungkin ada kendaraan untuk mencapai rumahnya kecuali ia
sendiri yang menjemput, sayangnya ia tak pernah sanggup keluar rumah.
Ia berkata bahwa
kami punya nasib yang sama, penderitaan yang sama, dan kebingungan yang sama.
Kami sama-sama bingung pada kehidupan. Aku sendiri senang bercerita tentang
berita yang di sampaikan dokter. Bahkan mungkin aku sendiri senang mendapat
vonis-vonis kejam dari dokter yang sebenarnya tak pernah merasakan apa yang aku
rasakan. Aku menulis vonis-vonis kematian dari dokter dengan tersenyum meski
ketika aku akan mengirimkan surat itu aku menangis takut jika-jika saat dia
membaca suratku merasakan kesedihan.
Ini adalah
minggu ketiga sejak aku mengirimkan surat terakhir, tapi sampai saat ini aku
belum mendapat balasan. Biasanya kami saling mengirimkan surat dua kali
sebulan. Meski kadang isi dari surat kami hanya menceritakan bahwa kucing
tetangga begitu berisik dan menyebabkan tak bisa tidur semalaman. Aku bahkan
pernah menuliskan rangkuman dari buku-buku yang aku baca seharian di
perpustakaan. Tapi justru itu yang membuat kami terus saling mengirimkan surat.
Bahkan ia pernah bercerita tentang betapa mengganggunya seekor lalat yang
terjebak dan terus menabrakkan diri ke kaca.
Aku semakin
penasaran dan tak sabar menunggu balasan surat dari temanku ini. Aku sendiri
sudah merencanakan untuk ke tempatnya jika-jika ia mengisinkanku. Hanya saja
dia tak pernah mengajakku ke rumahnya. Aku tak sabar lagi, aku memutudkan untuk
terbang ke negaranya. Setidaknya bahasanya tak sebegitu rumit, sudah dari umur
12 tahun aku mengusasai puluhan bahasa. Apa lagi hanya bahasa negaranya yang
tak terlalu rumit, tak ada karakter khusus.
Aku sampai di kotanya. Kota kecil yang
sepertinya tak banyak hal indah yang bisa dilihat. Tapi aku bukan manusia
biasa, setidaknya itu yang sering di sebutkan oleh dokter-dokter yang memeriksaku.
Aku merasa sangat bahagia begitu indah di sini, hanya bangunan-bangunan reot
dari kayu lama yang menyapaku sekarang. Bau udaranya juga sangat berbeda,
sangat istimewa. Udaranya berbaur dengan debu, dengan keringat orang-orang yang
begitu asing.
Tempat
tinggalnya tak jauh, tapi tidak di dalam kota. Saat aku bertanya meski mendapat
sedikit ejekan mereka memberitahukan bahwa alamatnya ada di desa utara
perbatasan kota. Kota ini juga tak terlalu besar jadi tak akan sulit
ketempatnya. Mereka juga memberitahukan satu-satunya cara hanya berjalan kaki
dan hati-hati jika tersesat karena yang akan aku lalui adalah hutan lebat
sejauh beberapa kilo meter.
Tak ada yang
bisa menghalangiku saat ini, kaki sudah aku injakkan di bumi asing ini dan aku
akan segera menemukan sumber kehidupanku selama ini. Jalan terjal juga tak
menjadii halangan buatku. Yang aku tahu saat ini bahwa di ujung jalan ini ada
surat yang menunggu untuk aku baca. Aku juga begitu penasaran dengan bagaimana
bentuk orang yang selama ini memberikan aku waktu tambahan untuk hidup.
Di ujung jalan
aku menemui rumah kecil, begitu kecil. Aku tak percaya jika rumah ini ada di
desa yang tertera pada surat. Aku lebih tak percaya jika rumah ini masih
menjadi salah satu rumah di dalam kota. Aku hanya bisa percaya bahwa rumah ini
adalah rumah asal dari surat-surat yang selama ini aku terima. Setidaknya itu
dari tulisan yang tertera di muka surat. Aku juga mendapati bahwa rumah ini tak
ada penghuninya. Tak ada tanda-tanda kehidupan dari dalamnya.
Aku mencoba
memasuki rumah itu mencari kebenaran yang sesungguhnya. Apa yang terjadi di
sini. Aku hanya mendapati sesuatu hal yang semakin aneh dan aneh. Sesaat aku
membuka pintu rumahnya yang aku dapati hanya fakta-fakta menakutkan dari apa
yang aku lihat. Aku mendapati sesuatu hal yang sangat familiar bagiku. Aku
merasa meski bentuk atau ukurannya berbeda rumah ini adalah rumahku. Susunan
tempat dan jalan-jalan sempit antara lemari dan kasurnya. Semua terasa persis
seperti di rumahku. Aku sendiri mendapati kebiasaannya yang persis sama
sepertiku. Hal yang begitu aneh untuk sebuah kebetulan.
Aku
melangkah-langkah kecil menyusuri semua sudut rumah, mencari sesuatu hal yang
tak ingin aku temukan. Aku mulai mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi di
sini. Aku juga mulai merasakan ketakuta yang besar semakin aku melangkah di
dalam rumah ini. Sampai di suatu ruangan kecil yang begitu ingin aku masuki aku
mulai merasakan takut, sangat takut. Aku seakan kembali ke beberapa tahun silam
dan siap untuk bertemu dengan komponen terakhir kehidupan.
Aku mulai
mendapati perasaan takut yang tak beralasan. Bahkan aku mulai merasakan
pobia-pobia aneh, mulai dari takut terhadap gagang pintu hingga takut terhadap
ruang yang belum aku lihat. Aku memberanikan diri melawan apa yang terus
menghalangiku. Aku memberanikan diri membuka pintu tersebut dan menemukan jasad
seseorang. Aku tak mengerti, tiba-tiba saja aku mulai merasakan bau busuk yang
menyengat. Tapi seburuk apapun bau busuk tersebut aku terus bisa membendungnya,
justru rasa sedih yang besar menutupi kesadaranku.
Aku menangis
terisak, tak mengerti apa alasannya. Aku bahkan belum yakin bahwa jasad yang
aku lihat adalah orang yang selama ini aku cari. Jasad tersebut, terduduk di
bangku reot di depan meja kayu kecil, masih memegang pena yang aku yakini
tintanya yang selalu menari di kepalaku. Aku juga mendapati kertas-kertas yang
berisi tulisanku berserakan riuh di lantai. Tak mengerti mendapat keberanian
dari mana aku memindahkan jasad tersebut ke kasur kecil di ruangan sebelah.
Memperhatikan jasad tersebut aku menyadari dialah yang selama ini menjadi
alasanku untuk terus bertahan hidup.
Aku kembali ke
ruangan kecil tempat di temukan jasad tersebut mencari sesuatu hal yang tak aku
tahu. Aku melirik ke atas meja tempat aku menemukan jasad tersebut dan
mendapati secarik kertas yang biasanya aku temui di dalam amplop.
Untuk sahabat
sepemikiranku,
Ini mungkin surat
terakhir dariku kawan, surat ini akan aku bubuhkan semua kejujuranku. Aku
takkan lagi menambahkan unsur-unsur cerita menarik pada suratku kali ini.
Kawan, aku ingin menceritakan semuanya, surat kali ini akan sangat panjang
begitu panjang. Aku ingin semuanya tertuang di kertas usang ini.
Kau ingat ketika aku
bercerita tentang lalat kecil yang seharian berusaha keluar tapi terus menerus
menabrak kaca padahal aku sendiri telah membukakan jendela lebar-lebar
untuknya? Aku yakin kau ingat itu, ada di dalam suratku mungkin surat yang
sangat membosankan jika kau baca. Kau tahu akhir dari lalat itu bagaimana? Aku
tak pernah berccerita padamu kan?
Aku tahu betul lalat
tak memiliki waktu banyak mulai dari larva hingga ia akan mati karena umurnya.
Aku tahu betul itu akan menyakitkan jika ia hanya mencoba mendobrak pembatas di
depannya padahal ia tahu itu tak akan mungkin. Kau tahu, pada akhirnya lalat itu
aku bunuh. Tak kutunggu lagi apa ia akan keluar atau tidak dari rumahku.
Kau tahu kawan, itu
adalah aku. Aku merasa sangat bersedih saat itu kawan. Kau tahu kematian begitu
dekat denganku. Mau seberapa jauh apapun aku mundur untuk berlari mendobrak
kaca itu aku tak akan bisa memecahkannya. Aku bingung kawan sangat bingung.
Aku takut dengan
kematian, tapi aku lebih takut dengan siksaan dari sakitku. Sakitku ini begitu
menyiksa. Ketika pertama kali kita berkirim surat, awalnya aku ingin
memberitakan bahwa aku ingin menemui kematian sebelum ia mendatangiku. Tapi kau
mengirimkan surat tentang kata-kata ibumu kawan, itu yang membuat langkahku
berhenti ketika ingin melangkah menuju kematian.
Aku lalu memulai
hidup kembali kawan, kau memberikan aku alasan untuk tak menemui kematian
secepat itu. Tapi kau tahu kawan, umurku sangat pendek. Dalam 2 tahun ini aku
sudah kehilangan semua perasaku. Aku hanya masih bisa menggerakkan jari-jari
ini untuk menyambung kehidupanku.
Kau pernah bercerita
kawan, bahwa dokter-dokter yang kau temui selalu memvonismu dengan vonis-vonis
mereka yang kejam. Tapi kawan, menurutku kau beruntung, masih ada orang yang
memberikan penilaian terhadap sakitmu. Sedangkan aku, pertama kali aku datang
ke klinik pengobatan saat itu juga aku langsung diusir, sepertinya aku punya
penyakiy yang lebih parah darimu kawan.
Kau pernah bercerita
ingin datang kemari, aku melarangmu dengan halus kawan. Karena aku tahu kau
adalah orang kesepian yang terpandang, sedangkan aku adalah orang kesepian yang
terbuang.
Kau berkata tentang
unsure-unsur kehidupan yang terus membelakangimu. Sedangkan aku di sini kawan,
unsure-unsur kehidupan menghadapiku dengan lantangnya. Memukuliku semaunya dan
mengencingiku setelah mereka puas.
Kau tahu kawan,
sepertinya hanya satu unsure yang rela menyapaku saat ini. Kematian kawan, dia
mendatangiku dengan perlahan. Aku takut awalnya, tapi saat ini aku menyadari
bahwa ia begitu sederhana dan ramah.
Kawan aku ingin kau
tahu dari surat ini. Mungkin kau pernah menantangnya, tapi ketahuilah kawan.
Kematian begitu indah sepertinya. Aku bisa membayangkan bahwa nanti aku akan
terlepas dari tubuh yang tak bisa merasakan apapun.
Surat ini kawan,
maaf jika terlambat. Butuh waktu lebih untuk menuliskan semuanya setidaknya
agar aku yakin apa-apa saja yang harus aku ceritakan padamu. Kawan masih banyak
yang ingin aku ceritakan tapi tak ada waktu lagi, aku terlalu sakit untuk semua
itu.
Sahabat sepemikiranmu
Yang tak tergantikan
Aku melihat kembali ke jasad yang ada di
atas kasur kecil di ruang seberang yang aku rasakan bahwa jasad itu adalah
jasadku. Aku baru menyadari semuanya. Ketika aku datang kesini aku di panggil
sebagai “si nomor dua”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar