Umi Farida Blog

Selamat datang di blog ku

Jumat, 07 November 2014

Cerpen : Surat Terakhir



Aku masih bisa merasakan gatal di kerongkonganku. Setidaknya aku masih bisa merasakannya hingga saat ini. Dokter pernah berkata bahwa aku akan mulai tak bisa merasakan apapun hingga lumpuh total pada akhirnya. Dokter tak bisa mendefinisikan sakit apa yang sebenarnya aku derita. Mereka hanya bisa berkumpul setelah memeriksaku dan berkata sabar atau semacamnya.
Aku tak mengerti tentang hidup tentang apa yang aku jalani sekarang. Aku sendiri sudah merasakan setiap keanehan pada kehidupan mulai dari aku bisa menyadari apapun.
Aku tak pernah mau masuk sekolah karena sekolah bukan tempat aku mendapat pendidikan. Tak satupun sekolah ataupun jajarannya yang memberikan pengetahuan padaku. Aku pernah bertanya tentang Pythagoras pada umur lima tahun di taman kanak-kanak. Guru di sana hanya berkata aku belum siap untuk mengetahui hal seperti itu.
Tak beda dengan taman kanak-kanak, sekolah dasarku, SMP atau SMA semua sama saja. Tak ada yang berbeda. Hanya jika aku mulai bertanya apa yang ada di otakku guru akan mulai berkumpul dan berdiskusi bagaimana cara mengeluarkanku dari sekolah itu. Temanku juga sama, atau bisa aku sebut orang asing yang tak sengaja berdekatan denganku. Mereka semua sama. Hanya karena pertanyaan-pertanyaan yang membuatku penasaran mereka akan bersiap untuk menghinaku kapan saja bertemu dengan aku.
Aku bingung dengan semua rincian kehidupan ini. Menurutku aku tak begitu nakal, bahkan aku tak pernah nakal sekalipun. Tapi ayah jika bertemu denganku ketika mulutnya mengeluarkan aroma pahit tak sedap dia selalu akan memukulku, salah atau tidaknya aku tak pernah menjadi pertimbangan. Ibu juga begitu tak pernah aku mengerti ketika aku dipukuli dia hanya diam atau justru meminta ayah memukulnya. Aku sungguh tak pernah mengerti.
Aku punya satu teman atau sahabat atau apapun yang bisa aku sebutkan, Ibu. Tapi aku juga tak mengerti tentang komponen kehidupanku yang ini. Masih begitu rumit untuk aku mengerti. Ia sering berkata bahwa kita hidup tak bisa sendirian, tapi ibu selalu menangis sendiri di sudut kamarnya. Ia jua sering mengajarkanku bahwa kebahagiaan adalah hal yang harus terus kita jaga, tapi ia sendiri tak pernah terlihat senyum begitu lebar.
Aku kadang berfikir apa lagi yang mungkin bisa aku mengerti tentang kehidupan ini, tapi kadang aku sendiri tak mengerti apa itu kehidupan. Ini adalah ulang tahunku ke 23 atau bisa kusebut saat ini adalah perpanjangan umurku yang mencapai 2 tahun 4 bulan. Mungkin saat anda membaca ini perpanjangannya sudah melebihi angka di atas. Apa lagi yang harus aku mengerti. Bahkan kematianpun, komponen terakhir dalam kehidupan, tetap membingungkanku.
Dokter pernah berkata bahwa mungkin di umur 21 aku akan meninggal atau bahkan sebelum itu. Saat itu tanggal 4 januari 2012, aku yakin betul dia berkata bahwa aku akan mati sebelum umurku mencapai 20 tahun  8 bulan atau mereka menyebutnya bahwa kematian akan menjemputku 4 bulan lagi.
Saat dokter berkata seperti itu aku ingin sekali menyampaikannya pada seseorang. Setidaknya aku ingin tahu apa benar seorang dokter bisa memprediksi kematian. Sayangnya satu-satunya orang yang pernah aku ajak bicara sudah terlebih dahulu bertemu dengan komponen terakhir dari kehidupan. Ayah juga tak bisa aku ajak bicara, saat itu dia masih ada di dalam sel karena kesalahannya sendiri. Dan tentunya seorang temanpun aku tak memilikinya.
Aku pernah melemparkan botol ke laut lepas, menekan nomer di telepon secara acak, atau mengirimkan surat ke 10 alamat berbeda di semua belahan dunia hanya untuk bisa bercerita. Tapi tak satupun dari cara tersebut berhasil. Justru ketika aku menerima surat balasan dari salah satu alamat yang aku kirimi aku hanya mendapati cacian dan makian. Apa semua orang juga mungkin sama seperti ayah?
Aku pernah menangis lebih dari tiga hari berturut-turut di kamarku tapi tetap tak ada yang bisa melegakanku. Apa lagi yang bisa aku lakukan saat itu sudah tak ada. Tapi ibu pernah berkata bahwa biarkan kematian mendatangimu jangan pernah menjadikan kematian sebagai musuhmu. Hanya kata-kata itu yang membuat aku tak menantang kematian.
Aku masih bingung kenapa aku masih bisa menjadi komponen kehidupan meskipun ini sudah melewati masaku hingga 2 tahun 4 bulan. Tapi yang aku sadari adalah aku hidup karena keinginanku. Bukan keinginanku untuk tetap hidup, tapi keinginanku untuk tetap bercerita dengan temanku di sudut bumi lainnya.
Saat ini aku menapat seorang teman untuk bercerita. Tak pernah aku temui tak pernah aku mendengar suaranya yang aku tahu hanya karakter huruf-huruf pada suratnya yang menari seketika aku membacanya. Mungkin karena hanya ini sarana aku berkomunikasi dengan orang lain. Aku pernah bertanya apakah aku boleh ketempatnya atau sekedar menelponnya. Tapi, ia bilang bahwa tak ada telpon di rumahnya dan tak mungkin ada kendaraan untuk mencapai rumahnya kecuali ia sendiri yang menjemput, sayangnya ia tak pernah sanggup keluar rumah.
Ia berkata bahwa kami punya nasib yang sama, penderitaan yang sama, dan kebingungan yang sama. Kami sama-sama bingung pada kehidupan. Aku sendiri senang bercerita tentang berita yang di sampaikan dokter. Bahkan mungkin aku sendiri senang mendapat vonis-vonis kejam dari dokter yang sebenarnya tak pernah merasakan apa yang aku rasakan. Aku menulis vonis-vonis kematian dari dokter dengan tersenyum meski ketika aku akan mengirimkan surat itu aku menangis takut jika-jika saat dia membaca suratku merasakan kesedihan.
Ini adalah minggu ketiga sejak aku mengirimkan surat terakhir, tapi sampai saat ini aku belum mendapat balasan. Biasanya kami saling mengirimkan surat dua kali sebulan. Meski kadang isi dari surat kami hanya menceritakan bahwa kucing tetangga begitu berisik dan menyebabkan tak bisa tidur semalaman. Aku bahkan pernah menuliskan rangkuman dari buku-buku yang aku baca seharian di perpustakaan. Tapi justru itu yang membuat kami terus saling mengirimkan surat. Bahkan ia pernah bercerita tentang betapa mengganggunya seekor lalat yang terjebak dan terus menabrakkan diri ke kaca.
Aku semakin penasaran dan tak sabar menunggu balasan surat dari temanku ini. Aku sendiri sudah merencanakan untuk ke tempatnya jika-jika ia mengisinkanku. Hanya saja dia tak pernah mengajakku ke rumahnya. Aku tak sabar lagi, aku memutudkan untuk terbang ke negaranya. Setidaknya bahasanya tak sebegitu rumit, sudah dari umur 12 tahun aku mengusasai puluhan bahasa. Apa lagi hanya bahasa negaranya yang tak terlalu rumit, tak ada karakter khusus.
 Aku sampai di kotanya. Kota kecil yang sepertinya tak banyak hal indah yang bisa dilihat. Tapi aku bukan manusia biasa, setidaknya itu yang sering di sebutkan oleh dokter-dokter yang memeriksaku. Aku merasa sangat bahagia begitu indah di sini, hanya bangunan-bangunan reot dari kayu lama yang menyapaku sekarang. Bau udaranya juga sangat berbeda, sangat istimewa. Udaranya berbaur dengan debu, dengan keringat orang-orang yang begitu asing.
Tempat tinggalnya tak jauh, tapi tidak di dalam kota. Saat aku bertanya meski mendapat sedikit ejekan mereka memberitahukan bahwa alamatnya ada di desa utara perbatasan kota. Kota ini juga tak terlalu besar jadi tak akan sulit ketempatnya. Mereka juga memberitahukan satu-satunya cara hanya berjalan kaki dan hati-hati jika tersesat karena yang akan aku lalui adalah hutan lebat sejauh beberapa kilo meter.
Tak ada yang bisa menghalangiku saat ini, kaki sudah aku injakkan di bumi asing ini dan aku akan segera menemukan sumber kehidupanku selama ini. Jalan terjal juga tak menjadii halangan buatku. Yang aku tahu saat ini bahwa di ujung jalan ini ada surat yang menunggu untuk aku baca. Aku juga begitu penasaran dengan bagaimana bentuk orang yang selama ini memberikan aku waktu tambahan untuk hidup.
Di ujung jalan aku menemui rumah kecil, begitu kecil. Aku tak percaya jika rumah ini ada di desa yang tertera pada surat. Aku lebih tak percaya jika rumah ini masih menjadi salah satu rumah di dalam kota. Aku hanya bisa percaya bahwa rumah ini adalah rumah asal dari surat-surat yang selama ini aku terima. Setidaknya itu dari tulisan yang tertera di muka surat. Aku juga mendapati bahwa rumah ini tak ada penghuninya. Tak ada tanda-tanda kehidupan dari dalamnya.
Aku mencoba memasuki rumah itu mencari kebenaran yang sesungguhnya. Apa yang terjadi di sini. Aku hanya mendapati sesuatu hal yang semakin aneh dan aneh. Sesaat aku membuka pintu rumahnya yang aku dapati hanya fakta-fakta menakutkan dari apa yang aku lihat. Aku mendapati sesuatu hal yang sangat familiar bagiku. Aku merasa meski bentuk atau ukurannya berbeda rumah ini adalah rumahku. Susunan tempat dan jalan-jalan sempit antara lemari dan kasurnya. Semua terasa persis seperti di rumahku. Aku sendiri mendapati kebiasaannya yang persis sama sepertiku. Hal yang begitu aneh untuk sebuah kebetulan.
Aku melangkah-langkah kecil menyusuri semua sudut rumah, mencari sesuatu hal yang tak ingin aku temukan. Aku mulai mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi di sini. Aku juga mulai merasakan ketakuta yang besar semakin aku melangkah di dalam rumah ini. Sampai di suatu ruangan kecil yang begitu ingin aku masuki aku mulai merasakan takut, sangat takut. Aku seakan kembali ke beberapa tahun silam dan siap untuk bertemu dengan komponen terakhir kehidupan.
Aku mulai mendapati perasaan takut yang tak beralasan. Bahkan aku mulai merasakan pobia-pobia aneh, mulai dari takut terhadap gagang pintu hingga takut terhadap ruang yang belum aku lihat. Aku memberanikan diri melawan apa yang terus menghalangiku. Aku memberanikan diri membuka pintu tersebut dan menemukan jasad seseorang. Aku tak mengerti, tiba-tiba saja aku mulai merasakan bau busuk yang menyengat. Tapi seburuk apapun bau busuk tersebut aku terus bisa membendungnya, justru rasa sedih yang besar menutupi kesadaranku.
Aku menangis terisak, tak mengerti apa alasannya. Aku bahkan belum yakin bahwa jasad yang aku lihat adalah orang yang selama ini aku cari. Jasad tersebut, terduduk di bangku reot di depan meja kayu kecil, masih memegang pena yang aku yakini tintanya yang selalu menari di kepalaku. Aku juga mendapati kertas-kertas yang berisi tulisanku berserakan riuh di lantai. Tak mengerti mendapat keberanian dari mana aku memindahkan jasad tersebut ke kasur kecil di ruangan sebelah. Memperhatikan jasad tersebut aku menyadari dialah yang selama ini menjadi alasanku untuk terus bertahan hidup.
Aku kembali ke ruangan kecil tempat di temukan jasad tersebut mencari sesuatu hal yang tak aku tahu. Aku melirik ke atas meja tempat aku menemukan jasad tersebut dan mendapati secarik kertas yang biasanya aku temui di dalam amplop.
Untuk sahabat sepemikiranku,
Ini mungkin surat terakhir dariku kawan, surat ini akan aku bubuhkan semua kejujuranku. Aku takkan lagi menambahkan unsur-unsur cerita menarik pada suratku kali ini. Kawan, aku ingin menceritakan semuanya, surat kali ini akan sangat panjang begitu panjang. Aku ingin semuanya tertuang di kertas usang ini.
Kau ingat ketika aku bercerita tentang lalat kecil yang seharian berusaha keluar tapi terus menerus menabrak kaca padahal aku sendiri telah membukakan jendela lebar-lebar untuknya? Aku yakin kau ingat itu, ada di dalam suratku mungkin surat yang sangat membosankan jika kau baca. Kau tahu akhir dari lalat itu bagaimana? Aku tak pernah berccerita padamu kan?
Aku tahu betul lalat tak memiliki waktu banyak mulai dari larva hingga ia akan mati karena umurnya. Aku tahu betul itu akan menyakitkan jika ia hanya mencoba mendobrak pembatas di depannya padahal ia tahu itu tak akan mungkin. Kau tahu, pada akhirnya lalat itu aku bunuh. Tak kutunggu lagi apa ia akan keluar atau tidak dari rumahku.
Kau tahu kawan, itu adalah aku. Aku merasa sangat bersedih saat itu kawan. Kau tahu kematian begitu dekat denganku. Mau seberapa jauh apapun aku mundur untuk berlari mendobrak kaca itu aku tak akan bisa memecahkannya. Aku bingung kawan sangat bingung.
Aku takut dengan kematian, tapi aku lebih takut dengan siksaan dari sakitku. Sakitku ini begitu menyiksa. Ketika pertama kali kita berkirim surat, awalnya aku ingin memberitakan bahwa aku ingin menemui kematian sebelum ia mendatangiku. Tapi kau mengirimkan surat tentang kata-kata ibumu kawan, itu yang membuat langkahku berhenti ketika ingin melangkah menuju kematian.
Aku lalu memulai hidup kembali kawan, kau memberikan aku alasan untuk tak menemui kematian secepat itu. Tapi kau tahu kawan, umurku sangat pendek. Dalam 2 tahun ini aku sudah kehilangan semua perasaku. Aku hanya masih bisa menggerakkan jari-jari ini untuk menyambung kehidupanku.
Kau pernah bercerita kawan, bahwa dokter-dokter yang kau temui selalu memvonismu dengan vonis-vonis mereka yang kejam. Tapi kawan, menurutku kau beruntung, masih ada orang yang memberikan penilaian terhadap sakitmu. Sedangkan aku, pertama kali aku datang ke klinik pengobatan saat itu juga aku langsung diusir, sepertinya aku punya penyakiy yang lebih parah darimu kawan.
Kau pernah bercerita ingin datang kemari, aku melarangmu dengan halus kawan. Karena aku tahu kau adalah orang kesepian yang terpandang, sedangkan aku adalah orang kesepian yang terbuang.
Kau berkata tentang unsure-unsur kehidupan yang terus membelakangimu. Sedangkan aku di sini kawan, unsure-unsur kehidupan menghadapiku dengan lantangnya. Memukuliku semaunya dan mengencingiku setelah mereka puas.
Kau tahu kawan, sepertinya hanya satu unsure yang rela menyapaku saat ini. Kematian kawan, dia mendatangiku dengan perlahan. Aku takut awalnya, tapi saat ini aku menyadari bahwa ia begitu sederhana dan ramah.
Kawan aku ingin kau tahu dari surat ini. Mungkin kau pernah menantangnya, tapi ketahuilah kawan. Kematian begitu indah sepertinya. Aku bisa membayangkan bahwa nanti aku akan terlepas dari tubuh yang tak bisa merasakan apapun.
Surat ini kawan, maaf jika terlambat. Butuh waktu lebih untuk menuliskan semuanya setidaknya agar aku yakin apa-apa saja yang harus aku ceritakan padamu. Kawan masih banyak yang ingin aku ceritakan tapi tak ada waktu lagi, aku terlalu sakit untuk semua itu.
Sahabat sepemikiranmu
Yang tak tergantikan
Aku melihat kembali ke jasad yang ada di atas kasur kecil di ruang seberang yang aku rasakan bahwa jasad itu adalah jasadku. Aku baru menyadari semuanya. Ketika aku datang kesini aku di panggil sebagai “si nomor dua”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar