Umi Farida Blog

Selamat datang di blog ku

Kamis, 06 November 2014

Cerpen One First Kiss

Ciuman pertama amat sangat menentukan kelanjutan sebuah hubungan’

Jangan bilang kalian tak pernah mendengar atau membaca kalimat senada itu—kecuali kalian katarak kronis hingga nyaris buta sekaligus menderita otitis parah sampai hampir tuli. Well, orang buta dan tuli pun butuh kasih sayang, butuh sebuah hubungan untuk mengekspresikan perasaan mereka. Jangan menutup mata, banyak orang buta yang menikah. Dan jangan memekakkan telinga, ada juga kabar tentang orang tuli yang punya pasangan. Pertanyaannya, apa orang buta dan orang tuli tidak berciuman di awal hubungan dengan pasangan mereka? Tentu saja mereka berciuman, aku sangat yakin itu. Ciuman adalah prilaku alamiah manusia dalam mengekspresikan hasrat mereka terhadap pasangan selain bercinta tentunya. Dan percayalah, hampir seratus persen pasangan di seluruh dunia mengawali hubungan mereka dengan ciuman. Maksudku, amat sangat mustahil mengawali sebuah hubungan dengan langsung bercinta. Bahkan meskipun iya, pasti sebelum bercinta mereka akan berciuman terlebih dahulu. Pernah menonton film di mana ada satu adegan pasangan—yang kau kira dari gelagatnya bahwa mereka akan saling lepas baju dan lalu bercinta—ternyata tidak jadi bercinta setelah mereka berciuman singkat? Aku pernah. Biasanya salah satu dari mereka akan berkata, “I have to go!” lalu cepat-cepat menuju pintu meninggalkan pasangannya dengan tampang cengo, atau “Aku lupa harus berada di suatu tempat saat ini, see you!” lalu tergopoh-gopoh bergerak ke pintu tanpa memedulikan pasangannya yang tampak bagai orang bego. Pasti pernah, kan? Jika tidak pernah, well… kalian harus lebih banyak nonton film bukan nonton iklan.

Baiklah, kembali ke ‘ciuman pertama amat sangat menentukan kelanjutan sebuah hubungan’ di atas. Mau tidak mau, aku harus mengakui kalau ungkapan itu benar. Aku sudah gagal sedikitnya tiga kali sejauh ini—empat jika insiden kulit cabe ikut dihitung.

Danil—ketua kelasku saat kelas 1 SMA, cakep dan tinggi—langsung bilang ‘Maaf, Bran… aku tak mau punya pacar yang bibirnya sekaku bingkai pintu ketika dicium.’ Aku berdiri berjam-jam di dekat pintu kamar asramaku setelah Danil pergi, mengamati bingkai pintu tentunya dan berusaha mencari kebenaran ucapan Danil mengenai kesamaan bibirku dengan benda itu. Ketika sadar bahwa aku tak mungkin memiliki Danil, aku mencaci-maki cowok cakep brengsek itu dalam hati dengan semangat empat lima. Dasar Kuda Nil kamu, Danil! Hubunganku gagal setelah ciuman pertama.

Attar—teman ekskul musikku saat kelas 2 SMA, tampan tapi suaranya cempreng—sempat bilang ‘Apa aku baru saja menempelkan bibirku di mesin kukur kelapa?’. Damn, Attar berkata demikian bukan tanpa dasar, aku menggigit lidahnya yang menerobos masuk mulutku. Aku sangat ingat bagaimana Attar buru-buru menuju pintu lab musik tanpa menoleh lagi. Ketika esoknya kudengar kabar kalau Attar keluar dari ekskul musik, aku sadar kalau tak punya kesempatan lagi. Kalimat Attar tentang mesin kukur kelapa bagaimanapun telah mencabik-cabik harga diriku. Attar sialan, apa tak ada yang bilang padamu kalau suaramu tak ubahnya seperti gitar rusak? Trauma setiap kali masuk lab musik dan melihat gitar yang serta-merta akan mengingatkanku pada jahatnya ucapan Attar, seminggu kemudian aku juga keluar dari ekskul ingar-bingar itu. Lagi, hubunganku gagal setelah ciuman pertama.

Fazli—kapten tim voli sekolahku saat kelas 3 SMA, atletis dan punya senyum maut—seketika menarik wajahnya menjauh saat kami mojok di belakang gudang sekolah sehabis latihannya di satu sore. Kalimat Fazli terngiang-ngiang hingga beberapa hari setelahnya, ‘Rasa kulit bola voli seratus kali lebih nikmat dari kulit bibirmu, Bran. Maaf. Ini tak akan berhasil!’ Keparat Fazli. Hari-hari setelah itu, aku tak bisa melewati lapangan voli dengan nyaman tanpa hasrat meluap-luap untuk masuk lapangan dan menghantam mulut Fazli dengan bola voli. Lagi lagi, hubunganku gagal setelah ciuman pertama.

Dan ini yang paling memalukan. Aku nyaris saja punya pacar bule Jepang jika kulit cabe tidak merusak kencan pertamaku dengan Watanabe—cowok cakep oriental belasteran Sunda-Jepang yang terpaksa ikut ibunya yang Sunda paska perceraian ortunya—suatu malam di awal tahun kuliahku. Jadi malam itu Watanabe menemuiku di kamar kosku, dandanannya sangat elegan, kemeja putih licin mengkilat bergaris hitam di pinggir dan celana jeans ketat warna gelap. Aku nyaris lumer ketika membukakan pintu untuknya. Singkat cerita, kami sudah saling berdempetan di pinggir single bed milikku. Seharusnya aku beralasan ingin ke kamar mandi sebelum Watanabe meletakkan tangannya di kedua bahuku sehingga aku bisa setidaknya kumur-kumur dan memeriksa kondisi mulutku di cermin di kamar mandi. Jauh sebelum itu, seharusnya aku juga cukup tahu diri untuk tidak menambahkan sambal sebagai menu makan malamku di mana orang yang kutaksir sudah memberitahu ketika sore bahwa nanti akan mampir setelah jam makan malam. Oh shit. Tepat ketika wajah Watanabe yang unyu luar biasa itu mendekat dan aku refleks membuka mulutku, maka kadarnya sama seperti bila dipergoki sedang buang air di halaman rumah Pembimbing Akademik di siang bolong, demikian malunya ketika Watanabe berkata ‘Emm… Bran… Sorry, there is a chili flake on your teeth…’ dalam Bahasa Inggris dengan aksen Jepangnya yang terdengar seksi. Sungguh, andai bumi terbelah aku akan dengan senang hati melompat ke dalamnya. Detik itu juga aku langsung melesat ke kamar mandi di sudut kamarku. Ketika aku keluar semenit setelahnya, hanya bau parfum Watanebe saja yang masih tertinggal di sana. Sial. Bahkan hubunganku dengan Watanabe gagal sebelum aku dan dia melakukan ciuman pertama kami, Watanabe gagal jadi pacarku gara-gara kulit cabe di gigiku. Betapa malangnya. Hari-hari setelah itu, aku tidak bisa makan sambal tanpa teringatkan kalimat Watanabe, ‘Bran… Ada kulit cabe di gigimu…’

Jadi… sekarang kalian tahu kan betapa mengambilperannya sesuatu yang disebut ciuman pertama itu dalam kelanjutan sebuah hubungan? Bahkan untuk people like us, kaedah ciuman pertama itu tetap berlaku. Garis bawahi, ciuman pertama di sini bukanlah saat pertama kali kamu melepas ke-virginitas-an bibirmu, sama sekali bukan. Namun adalah ciuman pertamamu dengan seseorang yang kamu taksir (ya Tuhan, Bran… bukankah dari tadi yang kita bahas memang itu? plis deh. Kami tidak sebodoh itu dalam menangkap maksudmu), yah kali aja ada yang membaca sambil melamun atau terkenang ciuman pertama sendiri dengan Abang Becak langganan saat sekolah menengah dulu (who knows, kan?).

Maka, beginilah aku sekarang. Mahasiswa tahun kedua yang amat sangat mendambakan memiliki seorang pacar melebihi siapapun yang menginginkannya di muka bumi ini. Namun pengalaman lalu mengajariku—lebih tepatnya me-warning-ku—agar tidak melakukan kebodohan yang sama dengan yang berkali-kali sudah kulakukan sebelum ini sehingga mengakibatkan peluangku untuk punya pacar berubah jadi nol besar. Kebodohan semisal membiarkan kulit cabe menodai gigiku, atau membiarkan bibirku disamakan dengan bola voli, mesin kukur kelapa apalagi bingkai pintu oleh Mimbar ketika menciumku suatu saat nanti. Ya,  Fardeen Mimbar F., mahasiswa tahun ketiga yang hampir enam bulan ini menunjukkan gelagatnya kalau dia suka aku. Jadi, aku harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya hingga Mimbar tak punya sedikitpun celah untuk tidak mengambilku sebagai pacarnya. Hal pertama yang harus kupersiapkan tentu saja teknik melumat yang akan kupraktekkan di atas bibir Mimbar nantinya…

***

Mataku membundar menatap layar gadget di tanganku yang berukuran hampir setengah layar laptop, aku sampai berhenti mengunyah potongan besar daging burger di antara geraham-gerahamku. Inderaku sepenuhnya tersedot pada layar tabletku, lebih tepatnya pada satu komen di sebuah page yang kuikuti di jejaring sosial yang sedang kukunjungi di sela waktu ngemilku saat ini. Seperti kebiasaanku, aku suka menelusuri daftar komentarnya, membaca komen-komen aneh dan kebanyakan out of topic di sana. Seperti komen satu ini.

‘KISSING TRAINER, jadilah pencium professional yang membuat pasangan Anda tak ingin pindah ke lain bibir!’

Glek.

Aku menelan kunyahan daging dalam mulutku sebelum berhasil kuhaluskan dengan baik. Gelagapan aku menjangkau botol coke di ujung kakiku untuk kemudian membebaskan kerongkonganku dari monopoli daging alot gagal kunyah yang baru saja tertelan. Aku megap-megap. Untuk pertama kalinya, malam ini aku kapok beli burger isi daging, mungkin mulai besok aku akan beli yang isi dadar saja.

Lepas dari marabahaya daging burger, perhatianku kembali ke tablet. Nama si pengkomen ‘Si Pencari Cinta’, alay abis. Tak ada foto profil, aku yakin akun itu baru ketika tidak menemukan apapun saat memeriksa kronologinya. Tanpa berlama-lama segera kuklik link di bawah kalimat itu. Aku dibawa ke sebuah postingan singkat di sebuah blog, tak banyak penjelasan di sana. Selain sebuah gambar yang memperlihatkan sebagian kecil wajah dua orang—entah berjenis kelamin apa—yang saling menempelkan bibir, postingan itu juga berisi tulisan singkat yang mengulas tentang ciuman seperti kebanyakan ulasan yang sudah pernah kutemukan saat beberapa kali kesempatan browsing-ku, kiat-kiat berciuman yang selalu kuanggap teori kosong dan terakhir promo singkat dengan kalimat utama seperti yang kubaca di page jejaring sosial sebelumnya.

‘Belajar teknik mencium langsung dari ahlinya, dijamin berhasil. Khusus bagi Anda yang merasa minder dengan kemampuan berciuman Anda. Segera kunjungi, KISSING TRAINER…’

Dan bla bla bla. Sungguh kalimat persuasif yang sangat khas sebuah iklan. Tapi karena merasa butuh, aku cukup tergelitik untuk mencari tahu lebih jauh. Kuperiksa riwayat postingan itu, dipostkan sekitar dua minggu lalu, tak ada komentar di kolom komen, sepertinya blog ini sepi pengunjung. Tapi… bukankah seharusnya iklan di page jejaring sosial itu sudah cukup untuk membuat kolom komentar penuh? Atau… hanya aku seorang saja yang ‘merasa minder’ dengan kemampuan menciumku seperti yang dikatakan dalam paragraf iklan ini? Jika iya, sungguh prestasi yang cukup memalukan. Yang aneh, aku tak menemukan nomer kontak si Kissing Trainer ini, tidak juga alamat tempat praktek atau alamat email, pin BBM apalagi.

Iklan macam apa ini, sungguh tolol yang bikin. Aku mendumel dalam hati. Bahkan postingan ini tidak menjelaskan tata cara untuk terhubung dengan si Kissing Trainer, tidak ada rincian tarif, tak ada penjelasan apapun selain kalimat-kalimat yang menjual keunggulan si Kissing Trainer bego itu. Postingannya diakhiri dengan kalimat dalam huruf kapital yang menurutku bertele-tele: MAKA DARI ITU SEGERA ANDA BELAJAR DARI SANG AHLI, KISSING TRAINER.

What the hell… mungkin karena ketidakjelasan info inilah yang membuat orang-orang yang berkunjung malas melibatkan diri lebih jauh semisal cuap-cuap di kolom komen blog ini. Buang-buang waktu saja! Mungkin demikian reaksi kebanyakan mereka. Aku berdecak sendiri dan meneruskan mengebuk-ubek isi blog, berusaha menemukan postingan pendukung iklan ciuman itu, namun nihil. Rasanya aku pengen menempeleng si empunya blog gak jelas ini hingga rahangnya menjadi asimetris. Betapa tidak, di saat aku merasa punya harapan untuk mewujudkan keinginanku menaklukkan bibir Mimbar eh ternyata malah dipusingkan dengan ketidakjelasan informasi ini. Keparat benar.

Aku hampir putus asa ketika menemukan panel profil si empunya blog. Thank God… aku mendapatkan sebuah alamat email, hanya sebuah alamat email, tak ada yang lain. Semenit kemudian, suratku yang isinya menanyakan tentang postingan berjudul KISSING TRAINER di blognya sukses terkirim.

Aku menghabiskan lima menit waktu menunggu sebelum inboxku menerima email baru. Yeayyy… aku bersalto ketika sudah mengantongi alamat si Kissing Trainer kurang intelek itu.

“Mimbar, jangan cium bibir siapapun dulu… tunggu sampai aku jadi pencium professional!”

***

Kurasakan dada seseorang merapat di punggungku ketika mengantri menu di gerai fastfood dekat kampus saat jam istirahat kuliah. Aku sontak menoleh. Senyum Mimbar menyambutku. Lalu aku berbalik badan sepenuhnya, menghadap lelaki menawan yang baru saja menempeliku.

“Apa kamu mengikutiku?”

Aku memutar bola mata, “Kamu yang berada di belakangku.”

Mimbar kembali tersenyum, “Baiklah, berarti aku yang mengikutimu.”

“Oh halo Stalker Man…,” ujarku sambil tersenyum. “Masih ada jam setelah ini?”

Mimbar membalikkan badanku kembali menghadap ke konter menu, “Masih ada dua mata kuliah lagi, jadwalku penuh hari ini.” Selama berkata itu, jelas kurasakan hembus udara yang keluar dari mulut Mimbar di tengkukku, demikian dekatnya dia di belakangku.

Aku serasa meriang. Percaya atau tidak, area tengkuk dan belakang telinga adalah bagian paling peka terhadap rangsang. Kalian boleh mencobanya pada pasangan, tiup saja tengkuknya secara perlahan atau jilat bagian belakang kupingnya. Ah, kapan aku bisa menjilat kuping Mimbar ya?

Isi baki kami sama, beriringan aku dan lelaki ini menuju meja kosong di salah satu pojok. Sambil mengunyah dan di sela celoteh-celoteh ramah Mimbar, aku tak luput membayangkan seperti apa rasanya jika bibir Mimbar yang bersih itu bersentuhan dengan bibirku. Sepertinya Mimbar kian terlihat menarik saja dari hari ke hari.

“Ada yang salah dengan wajahku?” Mimbar berhenti mengunyah dan memerhatikan pantulan samar wajahnya pada dinding kaca di sisi meja kami. Kulihat alisnya mengerut. “Tatapanmu membuatku kurang percaya diri, Bran…” dia kembali memandangku.

Aku merasa dipergoki. “Emm… tidak…,” aku tak punya kata-kata untuk mengalihkan topik.

Kutemukan lekaki ini tersenyum, “Kamu demam? Wajahmu kelihatan merah.” Dan mendadak tangan kirinya terulur menuju dahiku.

Aku segera memundurkan kepalaku. Sial. Apa dia sengaja mengusikku? “Emm… di sini panas ya, Bar…” Aku berlagak melonggarkan kerah kemejaku.

“Dasar tukang ngeles, di sini full AC.” Mimbar tertawa pendek.

Aku menunduk, tak berani lagi memandang lekat-lekat wajahnya. Kuteruskan makanku dengan gerak kikuk. Mimbar juga tidak bersuara lagi, sepertiku dia juga fokus meneruskan makannya.

“By the way, Bran… aku suka wajah demammu tadi…”

Itu kalimat Mimbar ketika aku hampir selesai mengosongkan bakiku. Kontan saja aku terbatuk kencang, sedang dia hanya tertawa.

***

Aku mengamati gedung bobrok di depanku. Rasanya amat sangat tidak menjamin. Apa aku salah alamat? Kuperhatikan bergantian layar tablet di tanganku—yang menampilkan badan email berisi sebuah alamat—dengan pamplet gede bercat mengelupas—bertuliskan ‘GRIYA INDAH’ dan tulisan ‘Asrama Putra’ di bawahnya diikuti nama jalan dan nomor bangunan di bawahnya lagi—yang berada tepat tiga meter di depanku. Griya Indahnya sama, nama jalan dan nomor juga sama, yang tidak tertulis di layar tabletku adalah Asrama Putranya. Apa aku datang ke tempat yang salah?

Dalam bayanganku, Griya Indah itu adalah sebuah rumah bertingkat serupa klinik-klinik bersih terawat yang bisa jadi adalah tempat praktek bersama beberapa orang yang punya keahlian langka, salah satunya ya si Kissing Trainer tersebut. Sama sekali tak terfikirkan bahwa Griya Indah itu adalah sebuah bangunan asrama tiga tingkat yang jelek, tua dan terkesan kumuh dengan kawat jemuran yang merentang awut-awutan di setiap balkonnya yang jauh dari kesan bersih. Pemandangan beberapa balkonnya sungguh mengenaskan, handuk kusam menggantung di kawat, celana dan baju, kain entah apa, dan yang lebih banyak adalah celana dalam yang sama sekali tak bisa dikatakan menarik dari segi model apalagi warna. Aku bersyukur sampai saat ini belum kekurangan celana dalam higienis dan cakep di lemariku.

Kesimpulannya, tempat bernama GRIYA INDAH ini amat sangat jauh dari kata indah. Andai aku punya pilox, akan kutambahkan kata ‘TIDAK’ di antara kata Griya dan kata Indah di pamplet sana. Kembali aku membaca emailku, katanya aku bisa menemukan tempat praktik si Kissing Trainer di lantai dua.

‘…Cari ruangan yang ada stiker Kissing Trainer di pintunya. Semoga sukses.’

Begitu kalimat penutup balasan email dari si pemilik blog tak jelas semalam. Seharusnya aku bisa langsung tahu kalau ketidakjelasan memang sudah tersirat dalam kalimat penutupnya itu. Sial benar. Aku bahkan harus bolos jam kuliah terakhir untuk kemari hari ini. Kulirik jam karetku, pukul tiga lewat tujuh belas menit. Sudah kadung, tak ada salahnya aku mengecek, sudah datang sejauh ini juga. Aku mendorong motorku melewati gerbang yang sepenuhnya terbuka dan memasang standard di bawah pohon serupa palem dekat pagar. Dengan gerak ragu aku melangkah menyeberang halaman yang tidak begitu luas dan jauh dari kata asri ini.

Bermacam jenis motor terparkir di depan bangunan asrama, sebagian tampak memenuhi garasi yang cukup luas di sisi kanan bangunan. Sepertinya kebanyakan penghuni asrama sedang berada di kamar mereka masing-masing. Aku memasuki lobi, bau apek bahkan mulai tercium sejak di lobi, bercampur bau rokok dan entah bau apa lagi. Aku benci asrama. Lagi… thank God, orang tuaku cukup mapan untuk tidak menyuruhku tinggal di asrama. Aku tak segera naik ke tangga untuk menuju lantai dua, mataku lebih dulu memerhatikan keadaan di lantai dasar. Beberapa pintu kamar berada dalam keadaan setengah terbuka, beberapa cowok tampak melintasi lorong, ada yang baru masuk dan ada yang hendak keluar. Semuanya cuek. Kebanyakan warga asrama adalah para mahasiswa, bisa kuperkirakan dari wajah-wajah mereka.

Aku mulai menapak. Sudah sangat terlambat untuk memikirkan lebih jauh terhadap kemungkinan bahwa postingan blog yang kubaca semalam hanya pekerjaan orang iseng untuk mempermainkan orang awam urusan ciuman sepertiku. Meski hasrat untuk berbalik turun kian besar karena suasana tak nyaman yang kian menghimpitku seiring anak tangga yang kian berkurang, nyatanya aku terus menapak. Kini aku berdiri di penghabisan tangga, menatap pintu-pintu kamar yang saling berhadapan, memandang sepatu atau sandal yang berjejer di depan beberapa pintu sambil berusaha membiasakan penciumanku. Meski tidak semenyengat di lantai dasar, bau rokok masih tetap tercium di sini.

“Kissing Trainer…,” bisikku lalu mulai berjalan di lorong. Tidak seperti di lantai dasar yang beberapa pintunya terbuka, seluruh pintu di lantai dua ini berada dalam keadaan tertutup rapat. Samar-samar aku mendengar dentuman musik ketika melewati beberapa pintu, suara keran air yang dibuka, dering ponsel dan kebanyakan pintu kulalui tanpa sebarang suara.

Aku menemukannya. Sepertinya ini sungguh-sungguh, bukan pekerjaan orang iseng. Semenit lamanya aku cuma berdiri kaku di depan pintu di mana stiker bertuliskan ‘KISSING TRAINER jadilah pencium professional yang membuat pasangan Anda tak ingin pindah ke lain bibir!’ menempel tepat setentang mata. Stiker itu tampak masih baru.

Aku mulai mengetuk. Tiga kali pertama terlewati tanpa ada sebarang tanda kalau ketukanku didengar. Aku mengetuk tiga kali kedua setelah jeda kira-kira setengah menit dari tiga ketukan pertama. Masih sunyi. Aku menempelkan kupingku ke pintu, aku yakin ada orang di dalamnya, suara kucuran air samar-samar bisa ditangkap telingaku. Tak sabar, aku mengetuk lagi dengan lebih keras. Tidak tidak tidak, sepertinya aku baru saja memukul pintu ini, bukan mengetuk.

“IYAAA, aku mendengarnya. Berhenti merusak pintuku!!!” lalu gumam samar seperti umpatan ‘brengsek’ juga ikut ditangkap kupingku.

Seseorang baru saja berteriak dari dalam kamar. Aku mengkeret. Teriakan itu cukup kasar. Hening, bunyi kucuran air tak lagi terdengar. Tiba-tiba saja perasaan bahwa aku telah datang ke tempat yang tidak semestinya kembali mengusik. Aku siap berbalik ketika pintu kamar yang baru saja kugedor terkuak sebagian.

Aku menelan liurku, gerak jakunku pasti jelas terlihat.

Satu langkah di depanku, disembunyikan daun pintu yang belum terbuka sempurna, berdiri seorang cowok dengan tampang kesal, matanya nyaris membelalak. Wajahnya penuh titik air, ujung-ujung rambut yang basah tampak berjuntaian berat di keningnya, juga di dekat telinga, sedang keadaannya cukup berantakan di atas kepala. Tampang orang baru bangun tidur. Agaknya dia juga baru saja dari kamar mandi. Dan… kurang ajar, cowok ini tampan sekaliiiii…

Aku kembali menelan liurku, kali ini aku yakin gerak jakunku sudah amat sangat jelas sekali terlihat.

Bagaimana tidak. Meski sebagian sisi badannya masih berada di balik daun pintu, tapi itu tidak mengurangi rangsangan yang melabrakku dengan serta merta. Aku bisa menikmati badannya yang meski tidak berotot kekar namun cukup atletis, dadanya yang lumayan terbentuk, pinggangnya yang ramping dengan perut yang rata bergaris samar, dan… emm… aku seperti sudah bisa melihat jelas bagian tengah tubuhnya. Cowok ini bertelanjang dada dan pinggangnya hanya dibungkus celana pendek sebatas pertengahan paha. Kurang ajaaarrr again… he is so damn hot!

“Ya?” cowok ini memajukan sedikit wajahnya, alis hitam lurusnya bertaut.

“Engg… Kiss… Kissing Trainer…?” aku terbata sambil menunjuk stiker di pintu.

Raut kesalnya hilang, cowok ini mulai sadar. “Oh…,” dia menyeringai. “Tunggu sebentar!” dan,

BRAKKK

Pintu itu terbanting tepat di depan hidungku. Kemudian kurasakan sendi-sendi tubuhku merilekskan diri setelah beberapa saat tadi menegang. Kuhembuskan nafas lega setelah tadinya aku sempat kesulitan memasok udara ke rongga dadaku. Cowok tadi benar-benar panas. Dia bagaikan bom seks. Aku yakin, tak ada cewek ataupun people like us yang memandang cowok ini tanpa memikirkan bagaimana rasanya berada di tempat tidur bersamanya. Sungguh, aku baru saja mengalaminya sendiri. Pertanyaannya, apa cowok yang kutaksir tidak lebih tua dariku itu yang akan mengajariku cara berciuman yang baik dan benar? Sulit dipercaya, aku akan belajar cara berciuman pada anak yang lebih muda.

Pintu terbuka lagi, lebih luas. Sekarang dia sudah mengenakan kaos putih polos berleher lebar dan celana pendek sedengkul warna coklat kusam. Walau dari setelan yang digunakannya dia terkesan cuek, tapi itu malah menguatkan aura maskulinnya. Wajahnya sudah kering dari titik-titik air meski tampang baru bangun tidurnya tetap kentara kelihatan dari rambutnya yang masih acak-acakan. Dia tersenyum simpul untukku. “Selamat datang di Klinik Kissing Trainer, silakan masuk.”

Aku baru sadar satu hal lagi, suaranya nge-bass abisss. Bagaimana aku sampai tidak menyadari hal itu ketika dia membuka suara untuk pertama kalinya tadi ya? Tuhan, berbahagialah cewek yang jadi pacarnya. Aku sangat yakin kalau cowok ini straight tulen, jaminan mutu. Tapi… kalimat selamat datangnya menurutku terlalu dibuat-buat. Klinik apaan bobrok begini? ruangan berukuran tiga kali empat meter ini tidak lebih dari sebuah kamar anak lajang dengan segala ketidakberaturannya. Kamar kosku jauh lebih rapi dari klinik si Kissing Trainer ini.

Meski sebagian saraf di kepalaku me-warning kalau yang kulakukan adalah kesia-siaan (Bagaimana tidak, jika kalian yang sekarang berada di posisiku, pasti kalian juga akan berpikiran bahwa postingan blog yang kubaca semalam, berikut tempat dan cowok yang kutemui sekarang adalah usaha buang-buang waktu. Aku tak yakin akan benar-benar mendapatkan pelajaran mencium yang sesungguhnya dari tempat ini), namun demikian aku tetap saja melangkah masuk melewati ambang pintu.

Ketidakberaturan yang pertama sekali ditangkap mataku di dalam kamar cowok ini adalah tempat tidurnya yang bagai habis diamuk badai, gulingnya menggeletak menyerong di bagian kaki tempat tidur, bantal yang sebagian sarungnya terlepas tergolek di tengah-tengah tempat tidur, selimut yang bertumpuk dan menjela ke lantai kamar serta seprei yang ujungnya tidak lagi berada di bawah tilam, sungguh kusut. Selanjutnya, aku menemukan beberapa buku yang berserakan di lantai, di antara taburan kulit kacang dan bungkus snack, keajaiban karena tak ada puntung rokok di dalam taburan kulit kacang itu. Baju kotornya (aku juga jelas melihat beberapa helai celana dalam menyembul di sana) menumpuk nyaris menggunung di satu sudut dekat pintu kamar mandi, dia pasti sudah melewatkan banyak kesempatan me-londri cuciannya. Laptopnya berada dalam keadaan terbuka di atas sebuah meja kecil rendah yang merapat ke dinding, ada mesin printer di sana. Beberapa kepingan disc juga tampak di atas meja bersama perangkat sound system mini. Aku menemukan dua buah barbel di bawah meja laptopnya itu. Dua buah ransel menggantung pada paku di dinding, satu ransel berada di lantai dekat buku-buku dan sampah yang belum dibereskan. Hanya ada dua benda yang tampak rapi di dalam kamarnya, lemari pakaian dua pintu yang cukup tinggi dan satu lagi lemari kecil satu pintu entah berisi apa yang tingginya tak sampai satu meter. Kedua lemari ini terletak berdampingan.

“Silakan duduk, emm… jika kamu tak mau repot membuka sepatu dulu juga tak apa.”

Aku menoleh ke belakang, dia baru saja menutup pintunya. Ternyata masih ada ketidakberaturan lainnya di belakang pintu. Sangkutan yang menempel di kayu persegi itu penuh sesak, berhelai-helai jeans, kemeja, kaos, celana pendek, bahkan boxer menggantung serabutan di sana. Aku menemukan beberapa pasang sepatu berjejer di lantai di belakang pintu. Mengapa dia tidak beli rak plastik saja untuk sepatu dan meletakkannya di luar pintu? Aku begitu di tempat kosku.

Dia berjalan melewatiku sementara aku membuka sepatu dan kaus kakiku meski katanya tak apa jika aku memasukkan sepatu sekalian, aku tak mau mengabaikan kesopanan. Kuletakkan sepatuku bersama miliknya. Jejeran sepatu itu kini bertambah panjang sepasang.

“Mau minum apa?”

“Eh?”

Aku membalikkan badan menghadapnya, dia sedang jongkok di depan lemari kecilnya. Apa tadi aku mendengar kalau dia bertanya apa yang mau kuminum? Memangnya dia punya pilihan minum apa? Keadaan kamarnya tidak meyakinkan begini, bisa stok air mineral saja sudah sangat bertuah. Tapi kemudian aku sukses terpana ketika dia membuka pintu lemari kecil itu. meski tak banyak, di dalam sana ada beberapa jenis minuman karbonasi dalam kemasan kaleng, beberapa botol air mineral kemasan setengah liter, botol-botol berisi air berwarna oren, merah, dan kuning. Dia punya sesuatu yang aku tak punya di kamar kosku. Hebat. Selain itu, aku juga melihat kemasan-kemasan assorted, bungkus-bungkus biskuit, kemasan kacang serta beberapa jenis makanan ringan semisal kerupuk kentang dan turunannya. Hebaaattt. Yang lebih hebat lagi, aku juga menemukan beberapa jeruk dan apel hijau di antara kemasan snacknya. Cowok ini luar biasa dalam hal mengoleksi camilan. Sedang aku, luar biasa dalam mengoleksi kata ‘tidak’ saat memulai sebuah hubungan.

“Apa saja…,” jawabku ketika dia melirik karena aku terlalu lama diam.

Dia menarik dua kaleng coke lalu kembali melihatku, “Ingin makan apa?”

“Tidak terima kasih.” Aku bergerak untuk duduk di dekat buku-buku dan serakan kulit kacang. Dia menutup brankas makanannya dan meletakkan kaleng coke berikut bungkus kacang di depanku. Lalu dia duduk bersila bersamaku di lantai tak beralas apapun.

“Jadi, aku harus memanggilmu apa?”

Apa aku kasih tahu nama palsu saja ya? “Ucup.”

Dia mencondongkan badannya lebih ke arahku, “Siapa?”

“Namaku Ucup.”

“Hemm… baiklah, Ucup yang Tidak Pandai Mengecup…” dia tersenyum simpul. Oh Tuhaaan… lesung pipinya yang cuma muncul sebelah makin membuatku lumer. “Nama dan ke-tidak-ahli-an-mu kayak takdir aja yaa…” dia membuka kaleng minumnya. “Silakan diminum Ucup yang Mau Belajar Mengecup, jangan sungkan-sungkan.”

Aku mengikutinya, membuka kalengku dan meneguk isinya. Kuhabiskan setengah kaleng.

“Jadi, Ucup yang Kepengen Mahir Mengecup, bagaimana kamu bisa menemukan Kissing Trainer-ku?” sekarang dia membuka bungkus kacang.

“Dari blog gak jelas.” Terus terang, aku mulai kesal dia terus mengolok-olokku dengan nama samaranku.

“Wah… tahukah kamu, Ucup yang Akan Ahli Mengecup? Kamu sudah datang ke tempat yang benar…”

“Bisa berhenti mengolok-olok namaku?”

“Ah, toh cuma nama palsu. Iya kan, Ucup yang Gak Tahu Cara Mengecup?” dia menyeringai lalu meneguk lagi kalengnya sebelum kembali berucap, “apa yang membuatmu yakin kalau aku bakal percaya saja bahwa namamu Ucup yang Awam Urusan Kecup-Mengecup? Ayahku saja tidak punya nama setradisional itu, apalagi kamu yang baru anak kemarin sore.”

Okey, dia mulai terdengar menyebalkan. “Bagai kamu lebih tua dariku saja!”

“Aku tidak mengatakan aku lebih tua!”

“Kamu mengatakan aku anak kemarin sore…”

“Kamu yang mulai menyebalkan terlebih dahulu, siapa suruh membohongiku?” dia meraup kulit kacang yang berserakan di lantai lalu beranjak ke jendela, enteng saja dia melempar kulit kacang itu ke luar melalui jendela.

Aku diam sampai dia selesai membersihkan lantainya, dia juga merapikan buku-bukunya menjadi satu tumpukan tinggi. Kemudian dia mengeluarkan kacang dari bungkusnya. Sekarang di atas lantai keramik di depan kami terdapat satu tumpukan camilan itu. Dia mulai sibuk membuka kulit kacang dan mengunyah bijinya.

“Panggil aku Gibran…”

“Nama yang bagus.”

“Aku harus memanggilmu apa?”

“Mister Trainer. Apa lain?”

Aku mengernyit. “Aku tak akan memanggilmu Mister Trainer.”

“Sayang sekali, tapi kamu memang harus memanggilku demikian.”

“Norak!”

“Lebih baik jadi cowok norak daripada jadi cowok yang tidak pandai mencium.”

Kalimatnya menyentilku, mengingatkanku akan Danil, Attar, Fazli dan Watanabe sekaligus. “Kamu kurang ajar. Aku buang-buang waktu saja datang ke sarang tikus ini!” aku siap-siap berdiri.

“Hei hei hei… sabar, Teman…” dia menarik lengan kemejaku. “Duduk dulu, kita bahkan belum mulai.” Entah bagaimana, senyumnya membuatku tak jadi bangun dari lantai. “Baiklah, kamu tak harus memanggilku dengan Mister Trainer, tapi kamu cukup mengenalku demikian saja.”

Aku diam.

“Jadi…” dari tadi dia sangat sering memulai kalimat dengan kata ‘jadi’. “kamu sudah siap mendengar ketentuan layanan Kissing Trainerku?”

“Mengapa kamu tidak menjelaskannya di blog gak jelas itu? Tulisanmu di sana adalah post terburuk yang pernah kubaca.”

Dia menggidikkan bahu dan mengerutkan mulutnya bersamaan, “Apanya yang tak jelas, buktinya kamu bisa sampai kemari. Lagian, gak penting juga menjelaskan panjang lebar di sana. Intinya, aku cuma perlu orang yang benar-benar butuh untuk membaca post itu, benar-benar butuh sehingga dia berusaha untuk menemukanku. Seperti kamu, Ucup yang… eh, tadi kamu bilang apa namamu?”

Rasanya aku ingin meninju muka cowok ini. “Gibran.”

“Gibran apa?”

“Cukup Gibran.”

“Tak ada sesuatu di depannya, atau di belakangnya?”

“Aku rasa tadi kita sudah selesai dengan nama!”

“Oh iya, aku lupa…” dia berdehem, “Jadi, siapa…”

“Giffari G. Gibranessa!” Kupangkas kalimatnya yang sudah kuduga apa kelanjutannya.

Dia tersenyum lebar sekarang. “Aku iri dengan namamu, Tripel G… G yang di tengah panjangnya apa?”

“Bisa kita akhiri omong kosong ini?”

“Tentu saja.” Dia baru saja mengosongkan kalengnya. “Sebulan, dua kali pertemuan dalam seminggu selama satu sampai dua jam tiap pertemuan, jadwalmu Kamis siang dan Sabtu malam…”

“Malam Minggu?” aku membelalak.

“Kenapa? pacarmu keberatan?” lalu dia menepuk dahinya sendiri dengan gaya yang cukup membuat jengkel, “Ya Tuhan aku lupa, kamu kan belum pandai mencium, mana ada orang yang cukup bodoh untuk jadi pacarmu…” lalu dia tertawa bekakakan.

Aku mendengus kesal.

Setelah tawanya mereda, dia kembali melanjutkan. “Tarifnya delapan ratus ribu dijamin mahir mencium dan menguasai teknik-teknik hebat dalam berciuman. Bayar di muka setengah dan sisanya saat pertemuan terakhir. Ada yang kurang jelas?”

“Mahal amat…”

“Kalau begitu selamat menjadi pencium yang biasa-biasa saja, aku gak maksa kok!” dia melipat lengan di dada. “Toh yang rugi kamu sendiri, dan juga pacarmu jika ke depannnya kamu bertemu seseorang yang cukup tolol untuk menerimamu dan menerima kemampuan menciummu yang di bawah standard itu.”

Telak. Aku tak bisa bercuap-cuap lagi. Bayangan kalau Mimbar akan menambah panjang daftar kegagalanku jika aku tak bisa memuaskannya saat ciuman pertama kami suatu saat nanti membuatku cemas.

“Jadi, bagaimana? Kalau kamu tak setuju, pintu kamarku tidak terkunci tuh, silakan melewatinya…”

“Kenapa harus siang Kamis dan malam Minggu?”

“Kalau tidak begitu nanti jadwalnya nabrak.”

Hemm… sepertinya bukan aku saja yang jadi anak didiknya si Mister Trainer ini. “Siang Kamis okey, tapi malam Minggu…”

“Jangan bilang kamu udah punya pacar sehingga tak bisa kemana-mana di malam minggu selain harus menghabiskan waktu dengannya!”

“Tidak, emm… belum. Aku belum…” mukaku memerah.

“Ya, aku tau kamu belum punya pacar. Gak usah malu-malu ngaku.” Seringai lagi-lagi muncul di wajahnya.

“Tapi… apa malam minggu tidak mengganggu agendamu?”

“Maksudmu agendaku dengan pacarku?” dia mengibaskan lengan di udara. “Aku professional, lagipula pacarku tidak berada di sini. Aku LDR.”

Pahamlah aku sekarang. Pantas dia enteng sekali menyebut malam Minggu. “Jam berapa?”

“Setiap Kamis jam tiga dan setiap malam Minggu jam delapan.”

“Kapan uang mukanya?”

“Kamu punya empat ratus ribu sekarang?”

“Jangan terlalu memperlihatkan sifat aslimu yang mata duitan!” aku menjudge-nya sebagai tindakan balas dendam karena dari tadi dia terus memojokkanku.

“Kalau begitu Kamis lusa saja.” Dia mengulurkan tangan, “Deal?”

“Bagaimana kalau setelah sebulan ternyata aku tak mahir juga?” tangannya kubiarkan menggantung.

“Pasti kamu akan,” jawabnya optimis.

“Bagaimana kalau tidak?”

“Percaya saja padaku!”

“Bagaimana kalau aku tidak?” aku ngotot.

“Berarti kamu harus menyiapkan delapan ratus ribu lagi untuk bulan selanjutnya.”

“Jika seperti itu, di mana letak jaminan yang kamu janjikan? Sebulan pasti mahir, di mana jaminannya jika aku harus nambah sebulan lagi?”

“Makanya aku bilang kamu akan mahir. Percaya saja! Jaminannya janjiku ini, aku janji kamu akan mahir mencium setelah delapan kali pertemuan denganku di sini! Deal?”

Aku hendak menjabat tangannya, namun tiba-tiba dia menarik kembali.

“Tunggu dulu, aku harus bertanya. Siapa yang akan kamu cium?”

Pertanyaan apa itu? aku mengernyit tak mengerti.

“Oh come on, kamu tahu maksudku.”

“Apa?”

“Siapa yang akan kamu cium? Seorang cewek atau seorang cowok atau…”

“Pertanyaan apa itu?” kini aku menyuarakan ketidakmengertianku, juga kecemasanku. Apa dia bisa membaca kalau aku akan mencium seorang lelaki? Gawat. Bagaimana dia bisa membacaku?

“Aku harus tahu siapa yang akan dicium klienku, agar aku tak salah mengajarkan teknik menciumnya… Lagipula di zaman edan seperti sekarang apa saja bisa wajar, cewek banyak kok yang nyium cewek, cowok juga ada yang suka nyium teman cowoknya. Jadi, siapa yang akan kamu cium?”

“Maksudmu, cara berciuman berbeda-beda menurut jenis kelamin?”

“Of course, Kid!”

Mati gue. Masak aku harus membuka jati diriku pada orang asing yang bahkan namanya saja aku tak tahu? “Memangnya kamu pernah mengajari seorang cowok teknik mencium cowok lainnya?”

“Apa itu artinya kamu akan mencium seorang lelaki?”

“Aku akan mencium seorang gadis!” jawabku cepat. Sudah kuputuskan, aku tak siap membuka diriku, tidak pada orang yang belum kukenal.

Dia tersenyum simpul, “Maka kamu akan belajar cara mencium seorang gadis.” Tangannya kembali terulur.

Ya Tuhan, ini dilema. Dia akan mengajariku teknik berciuman dengan cewek sementara sebenarnya yang akan kucium adalah seorang cowok. Bagaimana ini? Bisa sia-sia uangku jika ternyata ilmu yang kudapat dari si Mister Trainer ini adalah ilmu yang salah objek. Aku lesu seketika. Lemah kujabat tangannya. Hangat, tangannya terasa panas dalam genggamanku, atau tanganku yang keburu dingin ya saking shocknya mengira dia bisa meradarku. Sepertinya tanganku yang dingin.

“Sampai jumpa hari Kamis… jangan lupa bawa uang mukanya.” Dia melerai jabatannya.

Aku bangun menuju sepatuku. “Hei, apa ada nomor yang bisa kuhubungi untuk jaga-jaga? Mana tahu nanti salah satu dari kita berhalangan?”

Dia menggeleng, “Tak perlu, jika kamu tidak datang tepat waktu berarti kamu tak datang, begitu juga bila kamu datang aku tak ada maka artinya tak ada sesi belajar di hari itu, diganti dengan Kamis atau Sabtu berikutnya. Jangan khawatir, total sesi belajarmu akan tetap delapan kali.”

“Seharusnya kamu punya kartu nama…”

Dia menggeleng lagi, “Itulah bedanya klinikku.”

“Whatever.” Aku membuka pintu dan melenyapkan diri dari pandangannya.

***

Termangu di perpustakaan. Aku masih tidak yakin dengan keputusanku. Bukan karena aku tidak peduli lagi dengan kemampuan menciumku, tetapi karena setengah jiwaku berkata bahwa aku tak akan berhasil. Kenapa? Karena aku akan belajar cara membuat perempuan terkesan dengan ciuman, tetapi Mimbar seorang lelaki. Kini kemauanku hanya setengah hati. Kepalaku makin berat bertumpu pada kedua lenganku, pikiranku menerawang jauh.

“Bagaimana caranya membaca buku dengan posisi seperti itu?”

“He?” aku mendongak dengan tampang bagai orang bego. Begitu tahu siapa yang berdiri di depanku, segera aku menjatuhkan tanganku ke meja. Kuberikan senyum canggung ke Mimbar.

“Bukumu terbalik, Bran…” Mimbar menunjuk buku di depanku yang terbuka tepat di pertengahannya, aku hanya asal membukanya sejak duduk di sini lima belas menit lalu. Hari ini perpustakaan lebih sepi dari biasanya. Alih-alih membaca, aku malah menopang kepala dan memikirkan kunjunganku ke Griya Indah kemarin sore.

“Ah, iya… terbalik.” Aku nyengir lebar lalu membetulkan posisi bukuku.

Mimbar menghempaskan bokongnya pada kursi di depanku. “Kamu sedang banyak pikirankah?”

“Enggak.”

“Barusan bengong mikirin apa?” dia meletakkan buku—yang kuduga baru saja diambilnya dari salah satu rak—berikut ranselnya di atas meja, lalu dia mengeluarkan buku catatan serta alat tulisnya dari ransel. Mimbar hendak mengerjakan tugas sepertinya. “Sering-sering bengong ngerugiin tetangga, tau gak…” dia bicara tapi perhatiannya terpusat sepenuhnya pada buku dan alat tulis. “Beberapa hari lalu aku bengong di beranda rumah, eh esoknya Mama memberitahu kalau tetanggaku kiri kanan pada susah buang air besar…” dia membuka buku catatannya.

“Tetanggamu susah BAB karena kamu bengong di beranda sehari sebelumnya?” dengan begonya aku bertanya.

Mimbar mengalihkan perhatiannya dari buku ke wajahku, “Bukan, mereka sembelit gara-gara stok vegeta di warung komplek habis total.”

“Gila.” Aku tersenyum simpul untuk menghargai usahanya melucu.

“Gak lucu ya?” sekarang dia malah menutup buku catatannya dan menatapku lekat-lekat.

Dipandang seperti itu, aku malah salah tingkah. Jariku sibuk membalik-balik halaman buku.

“Gak usah salah tingkah gitu, Bran… ini cuma aku kok yang di depanmu.” Aku mendongak dan kulihat Mimbar terkekeh pelan. “Dari pada kamu ngacak-ngacak buku gak jelas gitu, baiknya bantuin aku…” dia menepuk sisi kanan bangku panjang yang didudukinya, “Ayo sini.”

“Bantuin apa, dari sini gak bisa?”

“Udah, ayo pindah kemari. Aku gak akan raba-raba pahamu kok,” kini dengan genitnya dia malah menaik-naikkan alisnya.

“Ganjen.” Meski begitu aku tetap bangun, mengitari meja dan duduk di kanannya. Of course, mana mungkin aku melewatkan momen intim ini. Mimbar sendiri sudah sangat menunjukkan gelagatnya. Tinggal menunggu waktu saja sampai dia memepetiku dan mendekatkan wajahnya, dan aku sudah harus pandai mencium sebelum itu terjadi.

“Kamu wangi ya, Bran…” Mimbar menghirup udara dalam-dalam dengan posisi wajahnya menghadapku, matanya sampai terpejam.

“Gombal.”

Dia tertawa, lalu menyodorkan buku catatan dan pulpennya. “Aku dikte-in kamu bantu nyalin ya…” dia meraih buku cetak di atas meja.

“Kok enak di kamu?” aku melotot, “Kenapa gak aku yang dikte-in trus kamu yang nyatat, kan ini kepentinganmu.”

“Ini aku ringkas yang penting-penting aja, Bran… kan kamu gak kuliah di jurusan sama denganku, kalaupun kamu di jurusan yang sama, tentu beda semester, kamu kan adik kelas.”

Aku mendengus, lalu mengambil pulpen. “Buruan.”

Mimbar beringsut lebih dekat denganku, “Gak boleh berisik di perpust jadi harus dekat.” Dia mulai meneliti halaman buku di tangannya.

Aku menolehnya sekilas, kepala kami sangat dekat. Bagaimana tidak, Mimbar sudah benar-benar merapat denganku. Jika aku punya keberanian untuk memajukan wajahku sedikit saja, puncak hidungku sudah dipastikan bakal menyentuh rahangnya. Sebelum dadaku makin menggenderang, aku kembali fokus ke pulpen dan buku catatan Mimbar di atas meja di depanku.

“Yap, ketemu. Mulai ya, Bran…”

Hari ini, satu momen indah kembali terjadi antara aku dan Fardeen Mimbar Fahrenheit. Ketika kami sudah resmi pacaran suatu saat nanti, tentu momen indah bersamanya akan terjadi setiap hari. Cihuyyy…

***

“Jadi, apa fantasi terliarmu tentang ciuman?”

Ya Tuhan, cowok ini menderita jadiholics, dia sangat terobsesi pada kata ‘jadi’. Pertanyaannya langsung membuatku shock di awal sesi di hari Kamis ini. Aku datang tepat waktu, pukul lima belas tepat. Entah apa yang terjadi, dia berhasil membuatku mengganti predikat untuk keadaan kamarnya dari ‘ketidakberaturan’ saat kunjungan pertama dulu menjadi ‘ke-cukup-rapi-an’ pada kunjungan pertama sesi belajarku ini. Cukup rapi, tempat tidurnya tidak berantakan lagi, tak ada kulit kacang, tak ada serakan buku di lantai, tak ada tumpukan cucian kotor. Secara keseluruhan, kamarnya cukup nyaman untuk ditinggali. Pertanyaannya, apa dia merapikan kamar karena aku akan datang? Jika iya, aku patut senang karena dia mungkin mengutamakan kenyamananku sebagai kliennya.

“Hei, aku bertanya.” Dia menjentikkan jari di depan mukaku.

Aku masih berusaha mengatasi keterkejutanku dengan pertanyaannya tadi. Benar-benar gila, mengapa dia bisa mengajukan pertanyaan begitu. “Apa aku harus menjawabnya?”

“Tentu, kalau tidak uang muka yang sudah kamu bayarkan tadi sia-sia saja, karena aku tak dapat mewujudkan fantasimu.”

Aku mengernyit. Mengapa dia sangat sering mengatakan kalimat yang susah kumengerti?

“Kalau kamu menolak menjawab, dari mana aku bisa tahu keinginan berciumanmu seperti apa.”

“Seharusnya itu bukan urusanku. Kamu ahlinya, ajarkan saja padaku yang kamu tahu tentang ciuman. Harusnya begitu kan?”

“Iya, memang begitu. Dan itu akan segera kumulai setelah kamu menjawab pertanyaan tadi.” Dia membuka kaleng soda dan meneguk isinya.

“Kamu brengsek.”

“Hei, kamu tak boleh mencela Mister Trainer-mu, nanti kualat malah kamu gak pandai-pandai mencium.” Dia menyeka mulut, “Ayo, apa fantasimu paling liar dalam hal berciuman?”

Aku menggigit gerahamku kuat-kuat, manusia ini sungguh menguji kesabaran. Khayalanku tentang ciuman sebenarnya banyak, aku hanya perlu menyebutkan salah satu sekedar menjawab pertanyaan anehnya. “Aku sering mengkhayalkan mencium seseorang di tengah hujan…”

“Waow… tidak buruk.”

“Kami berdua basah kuyup dan saling merapat…”

“Sepertinya panas…”

“Bisa untuk tidak menyela?”

Dia mengangkat kedua tangan sebagai jawaban.

“Aku melingkari lehernya dengan kedua lenganku sedang dia merangkul pinggangku.” Pasti wajahku memerah sekarang. Aku benar-benar membayangkan sedang bersama Mimbar di bawah hujan. Dan aku harus berhati-hati bicara agar tak keceplosan menyebutkan nama Mimbar dalam kalimat-kalimatku, bisa celaka kalau sampai tersebutkan. “Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya, mensejajarkan mulutku dengan mulutnya lalu kutempelkan bibirku di atas bibirnya…” aku berhenti bicara dan memandangnya, kami bertatapan. Entah apa yang terjadi padanya, dia sama sekali tidak menunjukkan tampang menyebalkan semisal mimik meremehkan, tetapi rautnya sungguh serius benar-benar mendengarkan… seperti… seorang guru kurasa. “Emm… apakah sudah cukup sampai di situ?”

Dia menghela napas, “Khayalanmu berhenti di ‘saling menempelkan bibir’? itu saja? Dimana letak liarnya? Bahkan itu tak layak disebut ciuman.”

Baiklah, aku akan blak-blakan dengan manusia ini. “Setelah menempelkan bibirku, aku menyapu mulutnya dengan lidahku, memasukkan lidahku ke dalamnya dan menyapu semua giginya dari geraham kiri sampai geraham kanan dengan lidahku. Lalu aku akan menarikknya untuk rebah, saat bertindihan kami akan terus berciuman tak peduli hujan yang mengguyur sampai…”

“Oke cukup!”

Aku menghela napas, kemudian meneguk minumanku.

“Fantasimu bagus ya, sayangnya kamu belum mahir pada praktiknya. Tapi tenang saja, karena aku sudah tahu seperti apa fantasimu, aku yakin akan mampu membuatmu jadi ahlinya.”

“Kamu harus, uang mukanya sudah kamu terima!”

Dia mengangguk, kemudian mengambil sehelai kertas dari mesin printernya dan pulpen dari ranselnya. “Aku mau kamu menuliskan apa yang baru saja kamu ceritakan, selengkap-lengkapnya…”

“What the fu*k…”



“Hei!” dia berseru memotong ucapanku. “Aku Mister Trainernya, ingat? Tuliskan saja!” dia menyodorkan kertas dan pulpen padaku. “Selengkap-lengkapnya, makin detil makin baik.”

Dengan kasar kuambil kedua benda itu dari tangannya, “Aku pakai mejamu!”

“Silakan.”

Sesi pertama, aku hanya menceritakan fantasi berciumanku dan menuliskan untuknya. Tak ada apa-apa lagi setelah itu. Aku diminta pulang setelah selesai mengisi setengah bagian kertas dengan tulisanku.

“Aku akan mempelajarinya. Sampai ketemu Sabtu.”

Itu katanya ketika menerima kertas yang kusodorkan. Setan benar!

***

Sesi kedua tak kalah membingungkan. Sama seperti hari Kamis, aku juga datang tepat waktu, pukul dua puluh. Asramanya sepi, tentu saja, this is satnite. Pasti kebanyakan penghuni asrama sedang melaksanakan agenda apelnya, hanya mereka yang belum beruntung saja yang mendekam di kamar—menangisi takdir jomblonya. Sepertiku. Jika sesi pertama kemarin aku diminta bercerita lalu menulis, maka kali ini aku diminta membaca tulisan-tulisan tentang ciuman yang sudah dikumpulkannya dalam satu map. Terprint rapi pada HVS, berlembar-lembar HVS. Hampir setebal proposal penelitian mahasiswa tingkat akhir.

“Apa-apaan ini?”

“Itu pembekalan. Teori. Cukup jelas, kan? Kamu harus faham teori dulu sebelum praktiknya.”

“Aku sudah kenyang membacanya di internet selama ini.” Aku juga sangat yakin kalau dia memperoleh tulisan-tulisan ini dari browsing.

“Tidak, ini tidak sama.”

“Sampah ini sama saja!” aku membanting map itu ke lantai. “Kamu sungguhan bisa mengajari tidak sih?” aku gusar.

Dia memungut map di lantai, memandangku lalu tersenyum ramah. “Giffari G. Gibranessa, baca dulu… aku gak akan menjejali matamu dengan sampah internet yang gak bermanfaat.” Dia mengisyaratkan dengan gerak dagu dan alisnya agar aku mengambil map yang dia sodorkan. “jika ada dari isi kertas-kertas ini yang sudah pernah kamu baca, silakan langsung robek dan kamu boleh memasukkan robekannya ke mulutku.”

Aku mengambil map di tangannya sambil dalam hati berdoa akan menemukan artikel yang sudah pernah kubaca.

“Selamat membaca…” dia menuju tempat tidurnya , “Oh ya, setengah dari kertas-kertas itu berisi cuplikan adegan berciuman yang kusalin dari novel-novel cinta. Adegan ciuman itu ditulis oleh novelis-novelis hebat yang dimiliki dunia, jadi, ya… itu adegan ciuman yang luar biasa. Kamu akan dapat banyak teori, langsung dari para novelis.” Lalu enak saja dia merebahkan diri di kasur, memasang earphone dan memencet-mencet ponselnya. “Saatnya aku ngapelin pacarku…”

Menit-menit berikutnya, aku membaca sambil menahan mual di perutku mendengar gombalannya di corong hape.

***

Dia melihatku, melihat kami. Aku pikir dia akan segera melengos ketika tatapan kami bertabrakan, berlagak tak kenal dan pergi menyelesaikan urusannya sendiri. Tapi ternyata tidak. Dia malah menghampiri. Aku mendapat trivia baru tentangnya, ternyata dia kuliah di universitas yang sama sepertiku, entah fakultas apa.

Sebenarnya aku ingin menarik lengan Mimbar dan segera meninggalkan lobi gedung direktorat. Mimbar dengan senang hati menemaniku menyelesaikan keperluanku di sini. Aku tak ingin terlibat kontak dengan pelatih ciumanku sekarang, tidak di sini, tidak di saat lengan Mimbar merengkuh bahuku sambil jalan.

“Halo Tripel G!” dia tersenyum ramah ketika kami terpisah dua langkah.

Mimbar menghentikan langkah, tapi dia tidak merasa perlu memindahkan lengannya dari bahuku.

“Hai,” balasku tak berselera.

“Dunia ini sempit ternyata.” Matanya memperhatikan Mimbar, entah apa yang sedang disimpulkannya dalam kepala.

“Orang bilang, dunia tidak selebar daun kelor,” cetus Mimbar lalu tertawa. Dia melepaskan bahuku dan mengulurkan tangan pada cowok yang mencegat langkah kami, “Mimbar…,” dia memperkenalkan dirinya pada orang yang pasti dikiranya sebagai temanku ini.

“Mister Trainer…” Dia menjabat tangan Mimbar.

Aku sukses terbatuk-batuk. Mereka melirikku. Kening Mimbar berlipat-lipat, dia pasti bingung dengan nama orang yang diajaknya berkenalan. Mereka sudah selesai berjabatan.

“Aku pelatihnya…” pelatih ciumanku menunjukku dengan dagunya. “Aku melatihnya untuk…”

“Ah, Bar… ini temanku, dia mengajariku cara menggambar kurva tiga dimensi untuk salah satu mata kuliah.” Aku sedikit melotot pada cowok yang hampir saja membuatku malu jika terlambat memotong kalimatnya baru saja. Kuperhatikan kening Mimbar makin berkerut. Damn, Gibran… kurva tiga dimensi? Yang benar saja. Aku nyengir lebar pada Mimbar.

Pelatih ciumanku menyeringai, “Iya, aku mengajarinya cara menggambar kurva juga cara menggambar orang yang sedang berciuman…”

Kurang ajar, manusia ini benar-benar membuat geregetan. “Bar, aku lapar. Ikut aku ke kantin ya.” Aku harus segera pergi sebelum cowok sialan itu bicara terlalu banyak.

‘He eh.” Meski terlihat masih bingung, Mimbar mengangguk untukku. “Mau ikut kami ke kantin… Mis-mister Trainer?” alis Mimbar masih bertaut ketika mengajak pelatih ciumanku ikut ke kantin.

“Dia tidak bisa ikut kita, dia masih punya keperluan di sini.” Aku langsung memotong begitu melihat mulut si Mister Trainer siap bicara.

“Sebenarnya keperluanku bisa menunggu kok…”

“Bar, ke kantinnya gak jadi deh. Aku lupa hari ini ada janji dengan seorang teman.” Aku pura-pura melirik jam, “Dan aku akan terlambat kalau tidak segera pergi.”

Sekarang Mimbar menatapku dengan tatapan yang menyiratkan keingintahuan amat besar. “Tadi katanya kamu lapar…”

Aku menyengir lagi untuknya, “Maaf ya, Bar…”

“Hemm…” Mimbar mendesah. “Ke kantinnya lain kali deh,” ujarnya pada si Mister Trainer yang dibalas anggukan dan senyum simpul.

“Sampai jumpa!” aku bergegas meninggalkan lobi, Mimbar mengikuti di belakang. Dia berusaha mensejajari langkahku. Aku yakin sebentar lagi Mimbar akan menginterogasi keanehan sikapku barusan.

“Bran, kamu tidak punya janji, kan?” benar saja, Mimbar menangkap lenganku. Kami sudah di halaman. “Sebenarnya dia siapa sih?”

Aku benci memikirkan kalau Mimbar menganggap cowok tadi saingannya meski aku senang karena itu bisa jadi berarti kalau Mimbar cemburu. Ah entahlah, yang pasti gelagat kalau Mimbar menyukaiku sudah sangat jelas kelihatan selama ini. Aku tak mungkin salah persepsi terhadap orientasinya. Seperti kataku, hanya masalah waktu saja sampai dia mengakui perasaannya.

Aku berbalik menghadapnya, “Dia bukan siapa-siapa, hanya seorang kenalan.” Aku tak suka membohongi Mimbar. Ayolah, aku tak mungkin mengakui pada Mimbar kalau Mister Trainer sialan itu mengajariku cara berciuman. Itu memalukan.

“Hanya teman?” Mimbar menegaskan pertanyaannya dengan tatapan mata yang menuntut kejujuran.

Aku mengangguk mantap, menyempurnakan kebohonganku.

Dia tersenyum, “Syukurlah…” lalu dia menggamit lenganku, “Ayo kita ke kantin!”

Ah, Mimbar… aku makin jatuh hati padamu.

***

Dia sama sekali tidak membahas pertemuan tak sengaja kami dua hari lalu. Ketika aku memasuki kamarnya pukul lima belas lewat dua belas menit hari ini, dia hanya berkata ‘Aku fikir kamu tak datang.’ lalu bergerak ke meja laptopnya. Aku membuka sepatu dan duduk di lantai seperti biasa.

Ketika dia memintaku duduk di sampingnya di depan laptop dan lalu membuka sebuah folder yang bertitel ‘BEST KISS PICTURES’ aku segera paham apa yang akan terjadi. Makin paham ketika folder itu terbuka dan menampilkan begitu banyak gambar pria dan wanita yang sedang berciuman, baik itu bule, Asia, kulit hitam, blonde, keriting, lurus, tua-muda, apapun. Semua tumpah ruah di layar laptopnya. Aku sampai puyeng melihatnya.

“Jadi, di sini ada lebih dua ratus gambar. Gaya ciumannya macam-macam. Habiskan setengah menit untuk setiap gambar, jangan cuma sekedar melihat, tapi telaah, pelajari. Aku yakin kamu akan mendapatkan sesuatu lewat gambar-gambar ini jika memperhatikan dengan baik.”

Aku tidak melihat sejak kapan di tangannya sudah tergenggam sebuah stopwatch. “Apa ini akan berhasil?” sebenarnya aku lebih tahu jawaban atas pertanyaanku. Gambar-gambar ini semua memuat lawan jenis. Jika memang teknik mencium itu beda antara jenis kelamin seperti yang pernah dikatakannya dulu, maka pelototanku pada gambar ini akan sia-sia. Tapi, apa aku punya pilihan lain? Salahku sendiri tidak bisa jujur.

“Ini baru sesi ketiga, jangan khawatir. Kamu pasti akan berhasil setelah lima sesi lagi.” Dia menepuk bahuku lalu bangun dan duduk di tepi tempat tidur.

“Mister Trainer…”

“Ya?”

Rasanya aku ingin jujur saja padanya. Kami saling memandang beberapa saat. “Ah, tidak ada apa-apa.”

“Silakan dimulai kalau gitu, kamu harus berpindah ke gambar selanjutnya ketika aku bilang next.”

Aku mengangguk dan mengklik dua kali di gambar pertama untuk melihatnya melalui foto viewer. Setengah hati aku melihat gambar-gambar itu, alih-alih memerhatikan cara berciuman mereka di dalam gambar, mataku malah sibuk memerhatikan prianya saja dan membandingkan ketampanan pria di gambar sebelumnya dengan pria dalam gambar berikutnya, begitu saja hingga gambar terakhir.

“Bagaimana?” dia bertanya setelah meletakkan stopwatchnya di atas meja.

“Mereka sangat menikmati ciuman mereka.”

“Apa yang kamu rasakan?”

“Rasanya aku ingin mencium seseorang.” Ini jujur, aku benar-benar ingin mencium seseorang, wajah pria dalam salah satu gambar tadi masih terbayang jelas.

Mendengar jawabanku, dia tertawa kencang. “Bagus, setidaknya hasratmu masih menyala.” Lalu dia meninggalkan tempat tidur menuju sangkutan bajunya di pintu, tanpa sungkan dia melepas kaus lalu mengambil handuknya. “Akhir sesi, kalau kamu masih ingin di sini mengulang melihat gambar silakan…” dia menuju kamar mandi di pojok.

“Aku pulang saja.” Menahan agar jangan sampai melihat badan polosnya terlalu lama, aku segera menuju sepatuku.

“Oke, silakan. Tolong tutup pintunya.”

***

Aku tak mungkin menolak ajakan Mimbar malam minggu ini. Maka kuputuskan untuk bolos sesi belajar bersama Mister Trainer dan duduk manis di boncengan sepeda motor Mimbar. Dia menjemputku tepat pukul tujuh malam, terlihat sangat ingin pergi denganku, terlihat sangat ingin membuatku menyukai penampilannya. Dan ya, dia sangat berhasil. Aku suka kaos lengan panjang berleher V warna putih yang dia kenakan malam ini, membuatku bisa menikmati pemandangan dadanya. Aku suka jeans belelnya yang robek di beberapa bagian, menegaskan keseksian tungkainya. Lebih dari itu, aku suka ketika dia berkata ‘Aku kerap berangan melihatmu seperti sekarang, menungguku menjemputmu di malam minggu…’ sambil menyodorkan helm. Sungguh, rasanya luar biasa mendengar lelaki yang kamu taksir berkata seperti itu.

Maka, aku tak mau membuang kesempatan dengan tidak memeluknya ketika sudah duduk di boncengan. Segera saja lenganku melingkar pas di pinggangnya, jemariku terjalin rapi di depan perutnya, sedikit di atas pangkal pahanya. Dan dadaku menempeli punggungnya. “Kita akan ke mana?”

“Ada film baru, aku ingat kamu pernah bilang suka komedi romantis. Aku jamin kamu gak akan kecewa pergi denganku…” Dan motor pun bergerak.

Tak ada kejadian istimewa yang terjadi sepanjang malam itu, kecuali Mimbar yang hampir berhasil mendekatkan wajahnya ke wajahku saat menurunkanku di gerbang kos yang remang-remang. Jika saja tak ingat aku belum siap berciuman dengannya—tidak sebelum sesi latihanku bersama Mister Trainer selesai—pasti dengan senang hati aku akan menerima bibirnya. Tapi jika itu sampai terjadi, maka kemungkinan Mimbar membuatku akan mengulang sejarah adalah seratus persen penuh. Aku membenci diriku sendiri ketika menemukan rona kecewa di wajah Mimbar. Sungguh, aku tidak bermaksud membuatnya kecewa. Lebih dari apapun, aku sangat ingin menyerahkan semua yang dia mau dariku jika keadaannya sudah memungkinkan.

“Hemm… udah larut, Bran. Aku pulang saja ya…” Mimbar mencantel helm cadangan yang baru saja kupakai di setang motornya.

“Bar…”

“Hemm…”

“Jangan salah menilaiku ya… aku, aku…”

Dia tersenyum padaku, “Tidak, Bran… aku faham. Aku yang terlalu terburu-buru, maaf ya…”

Ya Tuhan, aku makin jatuh hati pada makhluk-MU yang satu ini.

“Udah masuk sana, nyamuknya makin beringas nih.” Dia menepuk lehernya, entah beneran ada nyamuk yang menghisap di sana atau hanya lagaknya saja.

“Makasih ya Bar, untuk malam ini.”

“Yap, anytime…”

Aku baru masuk ke kosan ketika deru mesin motor Mimbar sudah tak terdengar lagi.

***

“Jadi, kenapa malam Minggu kemarin kamu absen?”

“Apakah masalah? Datang atau tidak sesiku tetap bakal tetap delapan kali, kan? Bukankah begitu yang dulu kamu maksudkan?”

“Ya…” lalu jeda lama, dia mengklik icon-icon di laptopnya. “Hanya saja, aku menunggumu hingga jam sembilan dan melewatkan waktu ngapel pacarku.”

“Apa itu artinya aku harus minta maaf? Jika tak salah mengingat, setahuku dulu kamu tidak mengatakan kalau salah satu dari kita tidak bisa melakukan sesi latihan merupakan sebuah kesalahan besar.”

Dia membisukan diri.

“Apa kali ini aku akan memelototi gambar lagi? Karena terus terang aku merasa tidak mendapatkan kemajuan apapun sudah sejauh ini.”

“Di sini aku sudah menyiapkan lima belas video pasangan yang berciuman, aku potong dari beberapa adegan film dan comot dari Youtube. Durasinya antara lima hingga delapan menit per video. Silakan kamu lihat sendiri.”

“Mengapa gak sekalian kasih aku blue film?”

“Apa sekarang tujuanmu berubah? Bukan belajar mencium lagi tapi belajar making love dengan orang yang sedang kamu incar?”

Aku mendengus dan beranjak mendekati meja laptop. “Minggir!”

Dia patuh. Meningggalkanku lalu sibuk dengan hapenya sambil tengkurap di tempat tidur. Kubuka folder bertitel ‘BEST KISS VIDEOS’ di laptopnya. Aku baru saja menghabiskan satu video ketika dia meninggalkan tempat tidur dan mengambil barbel di bawah meja, selanjutnya dia malah sibuk memamerkan otot lengannya di dekat jendela yang mengarah ke balkon. Sangat sulit bagiku untuk tidak mencuri-curi pandang ke arah jendela tempat dia berdiri membelakangiku. Sampai aku menghabiskan empat video, dia masih asik dengan barbelnya.

“Jadi, untuk pengetahuanmu… malam Minggu kemarin aku melihatmu diantar pulang oleh lelaki yang bersamamu saat di kantor direktorat. Siapa namanya? Mimbar…”

JEGERRR

Kalimatnya bertepatan dengan aku yang mengklik video kelima dan dengan serta merta aku menggigil. Video kelima menampilkan dua orang lelaki yang sedang berciuman panas, topless.

“Makanya aku pikir mungkin baik untuk memasukkan video dua pria yang sedang berciuman di dalam lima belas video itu.” Sangat tenang, dia berkata sambil tetap melanjutkan kegiatannya dengan barbel, masih membelakangiku. “Lebih tepatnya, hanya empat dari lima belas video itu yang heterogen sisanya homogen.” Dan dengan halus dia menggunakan istilah Biologi untuk membedakan video-video itu.

Dengan kasar aku langsung menutup layar laptop tanpa menutup windows lebih dulu. “Bagaimana kamu bisa selancang itu?” aku berseru marah, mungkin juga malu atau takut atau cemas. Entahlah, semuanya campur baur. Bayangkan kau ketahuan mencuri ayam tetangga, tapi ini lebih parah dari itu. seseorang baru saja membeberkan padaku kalau dia tahu rahasia terbesarku. Seperti ditelanjangi.

Dia berhenti dan berbalik. “Lancang bagaimana?”

“Kamu melanggar privasiku!”

“Maksudmu, melihatmu hampir dicium Mimbar adalah privasimu yang kulanggar?”

“Kamu menguntitku, itu privasiku yang kamu langgar.”

“Oh ya? bukankah dengan menguntitmu aku jadi tahu apa yang kamu butuhkan agar tidak membayar dan melewati sisa latihanmu dengan sia-sia?”

Aku terdiam. Tentu saja ucapannya amat sangat benar. Aku tak perlu memberitahukannya sendiri, dia sudah tahu dengan sendirinya.

“Aku langsung tahu kosanmu sejak kunjunganmu ke sini pertama kali…” Oh sangat bagus, itu artinya dia langsung menguntitku sore itu juga ketika aku pulang dari asramanya. “Jadi ketika malam Minggu kemarin kamu gak datang, aku mutusin mengunjungi kosanmu setelah menunggu di sini satu jam lebih. Kalau saja aku langsung pulang setelah salah satu anak kos bilang kamu tak ada di kamar, mungkin aku gak akan pernah tahu kebutuhanmu yang sebenarnya dengan latihan kita… tapi syukur aku tidak langsung pulang.”

“Kamu menunggu…”

Dia mengangguk. “Aku pasti akan terkena malaria atau demam berdarah jika kamu pulang lebih larut lagi. Sumpah, nyamuk-nyamuk di bawah pohon beringin itu ganasnya luar biasa. Kamu harus mengusulkan pada yang punya kos untuk membayar petugas fogging.”

Sudah kuduga dia bersembunyi di mana. Pohon beringin besar di pojok pekarangan rumah kosku adalah tempat mendekam tanpa ketahuan yang paling baik.

“Jangan kuatir,” dia menyeringai. “rahasiamu aman kok. Lagipula bukankah di awal pertemuan dulu sudah kutanyakan, ingat? Aku bertanya siapa yang akan kamu cium, itu artinya aku terbuka dengan segala issue seksual. Harusnya kamu langsung jujur saat itu. Tapi, kamu malah membohongiku.” Dia tersengih dan mendekatiku, membuka kembali layar laptop. “Silakan dilanjut…” sekarang, dia malah ikut duduk bersila bersamaku.

Dengan perasaan tak menentu, aku menatap layar laptopnya. Di sampingku, dia diam saja. Ikut memperhatikan. Kurang dari satu jam kemudian, semua video itu habis diputar. Dia meng-close media player dan men-shut down laptopnya.

“Aku pulang dulu…” aku masih tak berani memandangnya.

“Oh come on, Tripel G… jangan canggung seperti itu.”

Aku tak merespon, kukenakan sepatuku dengan membelakanginya. Aku menimbang-nimbang untuk mengakhiri saja latihanku ini, cukup empat kali sesi saja. Rasanya sudah tak nyaman lagi.

Ekor mataku menangkap sosoknya mendekati pintu, mengambil kardigan di sangkutan lalu mengenakannya di atas kaus lengan buntungnya. “Mau ikut aku ke…”

“Tidak, aku harus pulang.” Aku tak membiarkan dia menyelesaikan kalimatnya.

“Ayolah, Tripel G, hanya sebentar saja. Jangan abaikan aku seperti ini, plis…”

Aku tak menjawab. Namun ketika dia membuka pintu dan kami keluar ke lorong, aku sadar kalau aku sedang mengiyakan ajakannya.

“Motormu biar di sini saja.”

Dia membawaku ke bendungan. Entah apa maksudnya. Aku mengikutinya duduk di batu-batu, menit-menit pertama berlalu dalam kediaman. Hanya bising suara ombak yang menghempas bebatuan di bawah kaki kami yang nyaring terdengar. Angin pantai menghembus kencang, meriapkan rambutku juga rambutnya, juga kardigannya.

“Aku kenal seseorang…” dia membuka suara. “Dia sama sepertimu. Dari ceritanya, aku faham betapa beratnya menjadi seseorang yang berbeda. Meski mungkin bahagia bila bisa menemukan seseorang yang sama untuk saling berbagi rasa, tapi jauh di dasar hati, rasa timpang dan merasa tak sempurna itu tetap ada, kadang muncul ke permukaan bermanifestasi sebagai perasaan depresi, atau frustrasi. Khususnya saat membayangkan seperti apa hidupnya kelak. Padaku, dia kerap mengeluh merasa sendiri, tak punya teman serupa yang mengerti perasaan satu sama lain. Dan yang paling sering adalah, dia bertanya apakah dia harus menikah suatu saat nanti?”

Aku meliriknya sekilas, kutemukan dia tersenyum sendiri, senyum tertahan diikuti desah bagai orang putus asa. “Apa jawabanmu untuknya?”

Dia menggeleng.“Tak ada…” ada jeda. “Jika kamu jadi aku, apa yang akan kamu jawab untuknya?”

Aku diam sebentar, “Jika dia bertanya padaku, aku akan bilang padanya agar jangan membebani diri sendiri dengan memikirkan masa depan yang membuat takut… jalani saja hidupmu yang sekarang. Terima apapun kondisimu, karena jika kamu sendiri tak bisa ikhlas menerima, maka tak ada orang lain yang bisa…” aku menarik napas, “itu yang akan kujawab untuknya.”

Dia membisukan diri.

“Siapa nama kenalanmu itu?”

“Halkandy… namanya Halkandy, tapi dia kerap dipanggil Kendi.” Dia tertawa, “Katanya, waktu kecil dia sering diolok-diolok teman kelasnya sebagai kendi air.”

“Hemm… sampaikan salamku untuknya.”

Dia menolehku, “Pasti,” lalu kembali memandang ke laut lepas. “Apa kamu pernah merasa frustrasi dengan keadaanmu, Tripel G?”

Aku menggeleng meski dia tidak sedang melihatku, “Tidak, mungkin belum.”

“Kamu jelas bahagia, buktinya… sebentar lagi kamu akan bersama Mimbar.”

“Dia baik, aku menemukan bahagiaku ketika berada di dekatnya.”

“Ya… aku bisa lihat itu.” Kemudian dia kembali menolehku, “Kamu tidak akan berhenti sekarang, kan? Kamu akan menyelesaikan latihanmu denganku, kan?”

Apa dia menangkap gelagatku di kamarnya tadi sebagai pertanda bahwa itu akan jadi kunjungan terakhirku? Yah, aku memang sempat punya rencana begitu tadinya.  “Kita punya perjanjian. Aku akan membayar sisa empat ratus ribu lagi di sesi terakhir.” Dapat kulihat bayang senyumnya sebelum kembali memalingkan wajah lurus ke depan.

Kemudian hening. Ombak tidak lagi menghempas kuat, angin perlahan berubah semilir seiring hari yang kian senja hingga matahari perlahan-lahan mencelupkan diri ke dalam garis air keemasan di kejauhan. Malam baru saja memulai jam kerjanya. Dia bangun dari batu yang didudukinya, aku mengikuti dalam diam. Tak ada percakapan yang terjadi sampai kami tiba di asramanya. Dia hanya menggumam tak jelas ketika aku pamit pulang.

***

Tak ada yang berubah pada Mimbar meski malam Minggu kemarin aku yakin telah membuatnya kecewa dengan menolak ciumannya. Dia masih tetap sehangat biasanya, masih dengan pribadinya yang menyenangkan. Faktanya, akulah yang berubah. Entah apa yang terjadi dalam diriku. Sejak percakapanku dengan Mister Trainer dua hari lalu di bendungan, sesuatu berubah dalam diriku. Aku tak tahu apa tepatnya. Hanya saja, aku lebih sering mengingatnya dalam dua hari ini, mengingat ekspresinya ketika bercerita tentang kenalannya Halkandi.

“Jika aku menjemputmu lagi malam nanti, apa kamu mau menungguku, Bran?”

Aku mendongak dari piring mie-ku, Mimbar sedang menunggu jawaban. “Emm… lain kali saja boleh, Bar? Aku punya tugas yang harus dikumpulkan Senin pagi.” Aku masih tak suka untuk berbohong pada Mimbar, namun aku tak ingin absen dan membuat Mister Trainer menunggu lagi malam ini. Tidak seperti Minggu lalu, aku seribu kali lebih memilih pergi dengan Mimbar daripada mengikuti sesi belajarku bersama Mister Trainer. Tapi seperti kataku, selama dua hari ini aku lebih sering memikirkan pelatihku ketimbang gebetanku.

Mimbar melengkungkan bibirnya. “Tak apa, masih ada Sabtu malam lainnya, kan? Aku akan menjemputmu lain kali.” Dan dengan begitu dia meneruskan makannya.

Senyum Mimbar membuatku merasa bagai seorang pendosa.

***

“Kamu harus melenturkan bibirmu, Triple G…” dia berujar sambil menggerak-gerakkan bibirnya secara acak. “dari ceritamu tentang Danil, aku menyimpulkan kalau kamu langsung kaku ketika dia menciummu. Kaku dalam arti yang sebenarnya, reaksi yang diberikan seluruh otot mulutmu ketika disentuh bibir Danil adalah mengeraskan diri. Apa dia menciummu secara spontan tanpa basa-basi dulu? karena menurutku, mungkin kamu kaget hingga impuls sarafmu bereaksi seperti itu terhadap rangsang yang datang tiba-tiba.”

Ya, aku menceritakan ciumanku dengan Danil padanya ketika dia bertanya tentang pengalaman berciumanku. Dia langsung terbahak kencang ketika aku selesai bercerita. Dia sampai mengulang-ngulang kalimat Danil yang mengatakan bibirku serasa bingkai pintu. “Tidak juga, Danil tidak melakukannya tanpa isyarat terlebih dulu.”

“Hemm… berarti, kamu harus melatih bibirmu untuk tidak kaget.”

“He?”

“Begini saja, kita ciptakan cara belajarmu dalam menerima rangsang sensitif sesensitif bibir. Jadi, umpamakan bibir Mimbar adalah sebongkah es batu…”

“Apa-apaan itu? kenapa bawa-bawa Mimbar dan es batu segala?”

“Karena Mimbar yang akan menciummu, jadi kita ambil bibirnya sebagai contoh. Kenapa es batu, kamu mau menggunakan arang menyala sebagai media belajar?” jelas dia sudah gila. Ketika aku diam, dia meneruskan, “Mulai besok, lakukan latihan sendiri di tempatmu. Latih refleks bibirmu untuk melenturkan diri ketika rangsangan sensitif yang mengejutkan datang. Pakai es batu, efek dinginnya akan terasa mengejutkan buat bibirmu. Nah, latih bibirmu agar tidak kaget dengan dinginnya es batu.” Dia menjentikkan jari di depanku seperti baru saja memecahkan masalah paling serius di dunia.

Aku melongo hingga beberapa saat lamanya. “Memang bisa ya?”

Dia mengangguk mantap. “Kalau di sini ada es batu, kamu bisa melakukannya sekarang. Tapi gak ada yang punya kulkas di sini.”

Meski terdengar gila, perlahan-lahan penjelasannya berhasil dicerna nalarku. Tak ada salahnya mencoba. Maka demikianlah sesi lima berlangsung, aku bercerita tentang pengalaman berciumanku dan dia menganalisa permasalahannya lalu memberikan solusi. Great. Mengapa aku semakin merasa kalau latihan ini hanya akal-akalan saja? Anehnya, aku tak sabar mencoba ide es batunya.

***

“Jadi, hari ini kamu harus berciuman dengan cermin.” Aku langsung kaget ketika dia berkata demikian saat sesi latihanku yang ke enam di hari Kamis. Dengan entengnya dia mengambil sebuah cermin kecil yang sudah dipersiapkannya di atas meja laptop. “Dan setelah dengan cermin, aku punya objek menarik untuk media selanjutnya.” Tanpa berdosa dia menyodorkan cermin padaku.

“Apa klienmu yang lain juga mengalaminya? Kemarin kamu memintaku berciuman dengan es batu, sekarang cermin. Setelah ini apa kamu akan menyuruhku mencium tembok kamar mandi?”

“Apa kamu mau mencium tembok kamar mandiku, Tripel G?”

“Brengsek!”

Dia tertawa. “Silakan, dengan mencium cermin, kamu bisa langsung melihat seperti apa gerakan bibirmu sendiri.” Dia menyodorkan cermin.

Mau tak mau, suka atau tidak suka, aku tetap harus melakukan apa yang dikatakannya. Begitulah yang terjadi sejauh ini, dia instrukturku, yang memberikan perintah, dan perintah itu selalu bersifat mutlak. Tanpa menunggu aku segera mencium cermin itu dan melepasnya secepat aku memajukan bibirku. “Sudah.”

“Masak begitu doang, yang benar dong Tripel G.”

“Contohkan  padaku, bagaimana yang dikatakan benar itu!” kesempatan, aku menyodorkan cermin padanya. Hatiku bersorak ketika dia mengambilnya.

Lalu ternyata aku sukses dibuat terpana oleh tindakannya. Dengan raut sangat menghayati, perlahan dia mendekatkan wajahnya ke cermin, matanya berubah sayu ketika bibirnya menempel di permukaan benda datar itu. Sedetik kemudian, dia melakukan gerakan memagut di atas permukaan cermin, terus menerus hingga kurasa bermenit lamanya, lalu matanya terpejam sempurna. Bibirnya sama sekali tak berjarak dari cermin sejak pertama kali menempel, terus bergerak lembut dan perlahan. Aku terpaku, tidak… aku menggigil. Secara tak terelakkan, aku melihat bayangan diriku sendiri sedang berciuman dengan Mister Trainer ini dalam kepalaku, dan lebih tak masuk akal lagi, tiba-tiba saja cermin itu berganti wujud. Dalam pandanganku, cermin itu berubah menjadi diriku. Ini kacau. Aku bagai dalam pengaruh hipnotis tingkat tinggi untuk beberapa saat lamanya hingga suaranya mengembalikan kesadaranku.

“Lakukan seperti yang kulakukan barusan.”

Cermin itu kembali terulur di depan mukaku. “Emm… tidak usah, aku sudah melihatmu melakukannya, kurasa cukup.” Bukan apa-apa, aku menolak melakukannya karena tak mau mukaku semakin matang nanti, karena jujur saja aku merasa wajahku memanas saat ini.

“Baiklah, tak mengapa.” Lalu dia berjalan ke lemari pakaian. Dan tebak apa yang dikelurkannya dari sana. (Silakan pukul gendrangnya!)

Aku membelalak. “Buat apa patung ini?” ya, sebuah patung berjenis kelamin pria baru saja di letakkannya di depanku. Hanya setengah badan saja dari pinggang hingga kepala, tanpa lengan, tapi ada lekuk-lekuk rambut bercat hitam di atas kepala patung itu. Aku shock.

Dia menyeringai. “Awalnya dulu, aku berencana mendapatkan patung cewek untuk sesi ini, salah satu temanku ada yang jadi pramuniaga toko pakaian. Tapi kemudian planning berubah, yah seperti yang sudah sama-sama kita ketahui,” dia mengedipkan sebelah matanya. “Maka aku meminjam patung berjenis kelamin cowok.”

“Buat apa?” aku masih shock.

Dia mengedipkan mata satu kali lagi lalu menyentuh mulut si patung. “Latihan. Apa lagi?”

“Aku tak akan mencium patung plastik itu!”

“Tentu saja kamu akan melakukannya. Tenang, akan kupersiapkan untukmu.” Enteng saja, dia mengambil kaus bekasnya di gantungan di belakang pintu dan dengan cekatan mengenakan kaus itu ke badan si patung yang memang didesign sesuai bodi cowok lengkap dengan lekuk dada dan perut. Kausnya membalut dengan amat pas. “Cukup segini?”

“Aku tak akan menciumnya!”

“Hemm…” dia mengetuk-ngetuk bibirnya dengan telunjuk kanan. Sejurus kemudian membuka lagi lemari. “Sekarang, kamu tak punya alasan lagi untuk tidak melakukannya.” Dia memasangkan topinya ke kepala si patung secara tebalik dengan bagian belakang topi berada di depan, dibuatnya agak miring. Dan yang lebih konyol, dia mengenakan kaca mata raybannya untuk menutupi mata patung tersebut.

“Kamu gila.”

“Hanya sedikit.” Lalu dia mundur dan duduk di pinggir tempat tidur, mengawasi. “Silakan.” Tangannya ikut mempersilakanku.

“Ini konyol!”

“Ini cerdas.”

Ragu aku bergerak menggunakan lututku mendekati patung. “Jangan menertawakanku nanti.”

Dia mengangkat kedua tangan, “Tak akan.” Lalu dia berdehem, “Bayangkan patung itu sebagai Mimbar, bayangkan betapa Mimbar ingin merasakan bibirmu di bibirnya. Jadi, jangan buat Mimbar kecewa. Silakan…”

Aku merapat, jarak wajahku dengan muka si patung tak sampai sepuluh senti lagi. Aku berusaha membayangkan sosok Mimbar seperti yang disuruhnya, alih-alih yang terbayang malah sosok si pemilik kaus yang membalut badan si patung. Aku langsung merinding. Ini harus diselesaikan dengan segera. Maka seperti saat berciuman dengan cermin, secepat kilat aku menempelkan bibirku ke bibir si patung dan memundurkan wajahku dengan sama cepat setelahnya.

“Apa itu, Tripel G? kamu tidak kemari untuk belajar mencium kilat, seperti mencium pantat kuali yang baru dipindahkan dari kompor. Ulangi seperti yang kulakukan pada cermin! Tadi katamu sudah cukup melihat. Sekarang praktikkan apa yang sudah cukup kamu lihat itu.”

“Kamu mengerjaiku!” aku melotot.

“Aku mengajarimu!” dia balas melotot, kemudian mendekatiku, didorongnya patung hingga merapat ke dadaku, “Jangan coba-coba memundurkan badanmu!” aku patuh untuk tidak mundur. Lalu dia meraih tangan kiriku dan diposisikannya di pinggang si patung.  Aku juga patuh. “Mari kita buat ini bagaikan kejadian sebenarnya.” Dan dengan begitu dia sukses membuatku ketar-ketir. Kini tangan kananku diposisikan olehnya di tengkuk patung sialan ini. “Silakan Tripel G, tunjukkan bakatmu…”

Sungguh. Aku tak bisa mencegahnya. Dalam pandanganku, kini aku benar-benar sedang memeluk si Mister Trainer. Memeluk pinggangnya, merangkul lehernya. Wangi parfum bercampur bekas keringat yang menguar dari baju kausnya mau tidak mau ikut merangsangku. Antara sadar dan tidak, aku mulai menempelkan bibirku di bibir si patung. Rasanya bagai nyata, seperti menempelkan bibir di bibir beneran, bukan pada plastik. Aku tak tahu berapa lama tingkah gilaku berlangsung, aku tak tahu telah memejamkan mata berapa lama, sungguh aku tak tahu. Sepertinya aku benar-benar mencumbu dengan lihainya.

Ketika suara tepukan membuat mataku terbuka, segera aku melepaskan kontakku dengan patung plastik itu. Percaya atau tidak, aku sedikit terengah-engah.

“Like a professional…”

Apa itu benar? Apa dia baru saja mengatakan kalau aku sudah mahir mencium? “Apa itu artinya latihanku selesai?”

Dia mempreteli atribut patung, “Masih ada dua sesi lagi, kan? Tapi yang barusan sangat perfect, seharusnya aku merekamnya tadi.” Dia membuka lemari, menyimpan topi dan kacamatanya. “Jika kamu melakukan persis begitu saat berciuman dengan Mimbar, aku yakin… Mimbar tak akan pernah melepaskanmu. Tak akan pernah…,” masih membelakangiku, dia melanjutkan, “Akhir sesi, Tripel G… sampai jumpa sabtu malam lusa. Tolong tutup pintunya setelah keluar…”

Apa kalian juga merasakan kalau sikapnya aneh? Karena menurutku sikapnya aneh kini. Tapi aku tak mau bertanya lagi. Segera menuju pintu, kukenakan sepatuku lalu keluar dari kamarnya.

***

Mimbar memberiku setengah hatinya.

Aku kehilangan semua kata-kataku ketika dia mengalungkan setengah hati itu ke leherku. Tuhan, di saat Mimbar sudah sedekat ini untuk kumiliki mengapa ragu malah membelitku sedemikian rupa hingga ingin aku menolak saja? Aku teringat betapa dulu aku mengingankan ini, menginginkan Mimbar menjadi pacarku. Keinginan itu baru saja terwujud. Baru Mimbar yang menyatakan cintanya lewat sebuah tanda, bukan lewat ciuman seperti yang beberapa kali pernah terjadi padaku. Baru Mimbar seorang.

“Aku tak akan menuntut apapun darimu, Bran. Selama aku tahu kamu mencintaiku, maka itu sudah lebih dari cukup untukku…” Setengah lagi hati menggantung manis di lehernya.

Apa lagi yang kau cari, Gibran… apa lagi? Tidakkah seorang Mimbar saja sudah cukup? Tidakkah lelaki baik ini sudah memenuhi semua inginmu? Lihatlah kebesaran cintanya untukmu!

Aku sudah melihatnya…

Lalu atas dasar apa kau merasa perlu dan sanggup menyakitinya dengan satu saja kata penolakan?

Tidak, aku tidak sanggup menyakiti Mimbar. Tidak setelah dia menunjukkan kemurnian cintanya.

Memangnya siapa yang kau harapkan kini? Cowok yang bahkan tak kau ketahui seperti apa hatinya, yang sudah punya pacar jauh di suatu tempat? Berhenti bermimpi Gibranessa, bangun. Pelatihmu tidak sepertimu, meski pun iya, dia sudah punya pacar. Jangan menghibur diri dengan mengesampingkan fakta itu…

Perang batin yang kumenangkan sendiri.

Maka, ketika lengan kokoh Mimbar merengkuhku ke dalam dekapnya, saat kepalaku berada di dadanya, aku sadar bahwa baru saja membuat keputusan. Aku sudah memutuskan bahwa Mimbarlah yang akan memilikiku. Detak jantungnya yang bagai genderang kemenangan seakan menerobos masuk melewati gendang telingaku, berdentang-dentang di dalam kepalaku sebelum turun dan bersinergi bersama detak jantungku sendiri.

Aku pernah menginginkan Mimbar dengan amat sangat. Maka begitulah yang akan terjadi kini. Ketika Mimbar membingkai wajahku dengan dua tangannya, aku segera sadar, bahwa inilah saatnya.

Aku tak berusaha untuk memejamkan mataku ketika bibir Mimbar mendekat dalam gerak perlahan dan menempeli bibirku dengan begitu lembutnya. Seperti yang pernah terjadi dengan Danil dulu, aku kaku. Bibirku menegang. Namun dengan lembutnya Mimbar menggerakkan bibirnya sendiri, gerakannya tak menuntut, tenang dan manis di saat yang sama. Aku masih tetap kaku dengan mata terbuka sepenuhnya ketika Mimbar meraih pinggangku sama lembut dengan gerakan bibirnya di atas bibirku yang tetap diam. Secara naluriah, aku menumpukan kedua tanganku di dadanya. Hanya itu yang kulakukan, menyentuh dadanya. Namun ketika beberapa saat kemudian Mimbar membebaskan bibirku diikuti senyuman, aku segera tahu bahwa dengan Mimbar, tak peduli sekaku apapun bibirku, tak peduli sehambar apapun rasanya meski serupa kulit bola voli, itu tak akan menyurutkan tekadnya untuk memilikiku. Cintanya tidak mensyaratkan apapun kemampuan bibirku, cintanya bagai tak punya syarat, dan harusnya memang begitu. Bukankah dia sudah bilang kalau tak akan menuntut apapun? Cukup dengan mengetahui kalau aku mencintainya.

Tapi sekarang aku kembali bertanya pada diriku sendiri, sungguhkah aku mencintainya? Sungguhkah Mimbar yang kuinginkan sebagaimana aku yang diinginkan olehnya?

Aku mencari-cari ke semua celah hatiku, dan terkejut ketika tak lagi menemukan nama Fardeen Mimbar Fahrenheit di sana…

***

Aku tiba di Griya Indah tepat ketika rintik hujan pertama jatuh dari langit. Kuputuskan untuk memenuhi sesi latihanku ketika setengah jam lalu Mimbar menghubungi kalau dia tak bisa menjemputku karena hujan yang mengguyur atap rumahnya merusak agenda malam Minggu pertama—sejak kami berstatus pacaran—yang sudah direncanakannya. Sore tadi saat Mimbar menelepon, setengah hati aku sudah memutuskan untuk bolos sesi latihanku lagi kali ini demi bermalam Minggu dengannya. Sebenarnya secara otomatis sejak Mimbar menciumku kemarin, aku tak perlu lagi melanjutkan sesi belajarku, bahkan jika dilihat dari cinta Mimbar yang tidak mengharuskan aku untuk pandai mencium, dari awal pun sesi latihan itu memang tidak perlu. Aku saja yang terlalu paranoid. Tapi aku harus menyelesaikan apa yang sudah kumulai. Dalam bimbang aku punya niat untuk menjadikan sesi latihan malam ini adalah yang penghabisan.

Ketika agenda malam Mingguku dan Mimbar sudah dipastikan batal, maka sebelum hujan juga mengguyur tanah kosanku, kuputuskan untuk berkendara ke Griya Indah. Dan sialnya, sampai di sini aku langsung disambut hujan.

Tergesa aku memasang standard motor setelah mengunci stang dan berlari cepat ke lobi Asrama. Hujan sempat menjamah punggungku. Pakaianku lembab di beberapa bagian. Kulirik jam, pukul dua puluh lewat empat puluh tiga menit. Terlambat empat puluh tiga menit. Aku menaiki anak tangga menuju lantai dua. Baru setengah jalan, mendadak semua gelap, listrik padam. Aku mengumpat karena bertepatan dengan padamnya listrik, guntur juga bergemuruh kuat memekakkan telinga. Dibantu cahaya dari hape aku meneruskan langkah menuju kamar Mister Trainer.

Pintunya segera terbuka setelah tiga kali ketukan pertama. Keadaannya nyaris sama seperti kunjungan pertamaku sebulan lalu.

“Aku sudah yakin kamu gak bakal datang saat tak muncul jam delapan… jadi kuputuskan tidur lebih awal karena cuaca juga mengerikan.”

Detak jantungku langsung ribut ketika mendapatinya dalam keadaan bertelanjang dada, cuma memakai celana pendek sedengkul berbahan jeans. Kamarnya berpenerangan sebatang lilin yang nyala apinya meliuk-liuk gemulai dipermainkan angin. Aku melewatinya, masuk ke dalam kamar. Di belakangku dia menutup pintu.

“Listrik baru saja padam…,” ujarnya ketika aku memerhatikan lilin di lantai. “kamu basah?” dia menyentuh punggungku sekilas saat berjalan meninggalkan pintu menuju bagian tengah kamar, kini berdiri dua langkah di depanku.

“Sedikit…”

“Hemm… jadi, apa menurutmu malam ini kita bisa meneruskan sesi latihan?”

“Mimbar sudah menciumku.” Kalimat itu melucur begitu saja.

Dia terdiam, dalam remang aku sempat melihat matanya membundar sebelum dia tertawa pendek, “Waow…” dia tertawa lagi, sama pendek dan canggung dengan yang sebelumnya. “Padahal latihan kali ini aku baru mau bilang kalau seharusnya kamu yang mencium lebih dulu, jangan jadi pihak yang pasif, tapi aktif. Kamu lebih punya peluang dengan mendahului mencium, jangan menunggu dicium. Karena dari yang kulihat kemarin ketika kamu melakukannya pada patung itu, kamu lebih meyakinkan jika menjadi pihak yang memu…”

Aku menghentikan repetannya. Godaannya begitu kuat, menyerangku dari segala sudut bertubi-tubi. Pertahananku ambruk seketika. Aku menyambar bibirnya, membuat sosoknya sedikit condong ke belakang. Kulakukan padanya persis seperti apa yang kulakukan Kamis kemarin pada patung yang memakai bajunya. Aku tak peduli dengan reaksinya, aku siap menerima kemarahan sehebat apapun. Tapi entah mengapa aku yakin tak akan mendapat kemarahannya. Dan itu benar.

Detik ketika aku memagut bibirnya dengan mulutku, dia menerima pinggangku dengan kedua tangannya. Meski tak melakukan sebarang reaksi balasan dengan bibirnya pada bibirku, aku yakin dia menerimanya, tanpa amarah. Maka saat dia diam tanpa menunjukkan reaksi menolak, aku kian terbakar. Tanpa melepaskan bibirku dari bibirnya, kedua tanganku menyeberang ke belakang, mencengkeram punggungnya tepat di lekuk tulang belakangnya, merapatkan diriku ke badannya yang polos. Aku sadar sepenuhnya ketika lengannya yang memegang kedua sisi pinggangku bergerak maju, kini mengunci pinggangku dengan lengannya yang saling bertaut di belakangku. Saat aku merasa kehabisan napas dan hendak memundurkan wajahku, saat itulah dia mengambil alih. Mulutnya yang tadi diam kaku menerima setiap gerak bibirku kini melakukan tindakan balasan. Dia menyapu bibirku dengan ujung lidahnya. Aku tak menolak ketika dia memaksa masuk.

Bagai kuas pelukis yang bergerak di atas kanvas,

 demikianlah gerak lidahnya di dalam mulutku

Bagai ikan yang menyerbu butiran pellet di permukaan kolam, demikianlah gerak bibirnya di luar mulutku

Kuas pelukis di mulut ikan,

demikianlah ciuman…

Segala tentang Mimbar terlupakan. Yang ada hanya cowok ini, hanya dia dan lumatannya, hanya dia dan tubuhnya yang kudekap erat, hanya dia dan gelombang cinta yang seakan bergulung-gulung di sekeliling kami. Di luar, hujan dan guruh membabi buta bagai amarah tak tertahankan seorang raja yang sedang dilamun murka. Di dalam sini, hasrat juga sedang menunjukkan murkanya bagai singa jantan di musim senggama.

Dan terjadi sudah. Hasrat memenangi dan memegang kendali sepenuhnya atas aku dan dia. Kemejaku sudah lolos dari badanku sebelum dia berbaring di tempat tidur sempit dan aku merangkak ke atasnya. Tak perlu waktu lama untuk kami saling melepaskan kaitan celana setelah itu.

Mimbar, entah tenggelam di mana saat ini. Aku tak punya waktu memikirkan hubungan LDRnya, biar orang yang dikhianatinya menjadi urusannya sendiri.

Setan sedang tertawa keras sambil mengangkang di satu sudut.

Demikianlah, satu ciuman pertama yang terjadi antara aku dan orang yang mengajariku bagaimana caranya berciuman ini menjadi awal momentum panas setelahnya. Hanya satu ciuman, untuk pertama kali, dan efeknya sungguh membinasakan.

Di lantai, sambil membakar diri, lilin menyaksikan tubuhku yang saling berpagutan dengan tubuh seseorang yang hanya kukenal sebagai Mister Trainer…

***

Terbangun karena cahaya yang menembus kelopak mata, aku kesulitan membuka mata. Keadaannya terlalu terang di sini. Aku mengintip lampu yang berpijar di langit-langit kamar. Entah jam berapa sekarang. Kutundukkan wajah dan kutemukan satu lengan melingkari perut polosku. Kesadaran berikutnya adalah, ada bibir yang menempel di tengkukku dan hembus teratur udara di area yang sama di belakang kepalaku itu. Seseorang sedang bernapas damai di sana. Selanjutnya, aku merasakan detak jantung di punggungku, detak yang sama teraturnya dengan hembus nafas di tengkukku. Ada paha yang menindih sisi pinggulku, menangkup tungkaiku bagian atas.

Aku terlelap dalam pelukan seseorang.

Selimut menutupi kami seadanya. Aku bisa melihat paha polos kami ketika memaksa melirik lebih ke bawah. Perlahan-lahan, segala sesuatu yang terjadi sebelumnya terjalin lengkap di kepalaku, bagai kepingan puzzle yang merekat dan menampilkan gambaran utuh. Kusiagakan semua inderaku, tak ada lagi hujan, tak ada bahana guruh, pun tak ada kilatan petir. Hening. Dan benderang. Cahaya lampu sudah menggantikan nyala lilin, entah sejak kapan dari lenaku. Aku tak tahu.

Perlahan kuangkat kepalaku dari lengan yang menjadi bantalku, beringsut ke pinggir tempat tidur. Sosok yang kutinggalkan di atas tilam menggumam lalu bergerak menelentang begitu aku bisa membebaskan diri dari belitannya. Selimut hampir tersingkap seluruhnya, dia nyaris polos. Kutatap wajahnya, dia begitu damai dalam lenanya. Tuhan, aku mencintai makhluk ini, bukan yang lain…

Kubungkukkan badanku, kucium puncak hidungnya sebelum kutarik selimut hingga sebatas pinggangnya. Tanpa membuat keributan, aku mengenakan celana dalamku. Kuraih jeans-ku di lantai dekat kaki tempat tidur. Baru setelah mengenakan pakaian bawahku, aku melirik jam. Pukul lima lewat lima belas. Sudah cukup pagi untuk terjaga. Aku melihat kerak lilin di lantai, celana pendeknya yang hampir berada di kolong tempat tidur, kemejaku yang tergeletak begitu saja, dan celana dalamnya di dekat kemejaku.

Ini gila.

Ya, ini kegilaan yang indah.

Tak tahu harus melakukan apa—karena tak mungkin untuk naik kembali dan berdesakan dengannya di atas tempat tidur sempit itu, aku beringsut ke meja laptop, di mana beberapa buku seperti modul atau makalah kulihat menggelatak.

PAPER 3: MESIN PENGGILING SAGU

DISUSUN OLEH : MAHARDIKA HALKANDY

UNIT : 1b

SEMESTER : II

Cukup membaca itu saja di sampul salah satu makalah, aku segera mengerti. Ingatanku kembali ke beberapa hari lalu saat sedang berada di bendungan dengannya.

‘Aku kenal seseorang…Dia sama sepertimu. Namanya Halkandy…’

‘Dia kerap mengeluh padaku kalau dia merasa sendiri, tak punya teman serupa yang mengerti perasaan satu sama lain…’

‘Jika kamu jadi aku, apa yang akan kamu jawab untuknya?’

Segalanya jelas kini. Dia sedang menceritakan dirinya sendiri saat di bendungan. Tingkah canggung dan beberapa reaksinya selama aku bersamanya kini juga terjelaskan. Aku ingat yang paling terakhir adalah reaksinya ketika malam tadi aku memberitahukan bahwa Mimbar sudah menciumku, bagaimana dia terlihat kaget dan berusaha menutupi keterkejutannya dengan tawa canggung dan penjelasan cepat tentang aku yang harusnya mencium lebih dulu. Juga mengapa dia tak menolak ketika aku menciumnya malam tadi yang kemudian berakhir di tempat tidurnya. Aku seperti melihat semua dari awal sejelas-jelasnya. Dan satu fakta lagi, dia baru kuliah semester dua, teknik mesin, artinya dia setahun di bawahku.

Antara senang dan marah. Senang karena kami serupa, dan marah karena aku merasa ditipu mentah-mentah.

Apa lagi yang kamu tutupi tentang dirimu, Ken?

Aku memeriksa tumpukan bukunya di lantai, tak ada apapun. Beralih ke ranselnya yang tampak penuh, hanya berisi modul dan buku cetak serta beberapa peralatan khas mahasiswa Teknik Sipil serta sebuah buku catatan berupa binder ukuran kwarto. Aku membuka catatannya. Tulisan tangannya tidak terlalu rapi, tapi berkarakter. Tak ada yang bisa kutemukan dalam buku catatan yang hanya berisi tulisan-tulisannya untuk setiap mata ajar. Terdapat beberapa gambar juga yang tidak mungkin dimengerti mahasiswa Fakultas Ekonomi sepertiku. Aku nyaris menyerah mengobok-obok buku catatannya saat ekor mataku tak sengaja menangkap deretan tiga huruf G yang ditulis besar-besar di satu halaman di lembar-lembar akhir buku catatannya. Deretan huruf ini tak akan kutemukan seandainya aku langsung menutup buku catatannya begitu sampai pada halaman kosong. Halaman ini tak hanya berisi tiga huruf G.

‘Berawal dari sebuah keisengan, aku menemukan seseorang yang sanggup menggetarkan hatiku setiap kali dia ada di sekitarku…’

“Tripel G…”

Aku hanya sempat membaca dua baris ketika namaku dipanggil. Kaget aku langsung menutup buku dan menoleh ke belakang. Dia sudah duduk di tepi tempat tidur, kedua kakinya bertumpu di lantai. Kain selimut melilit sebatas pinggangnya.

Kami bertatapan.

“Aku harus memberitahumu sesuatu.” Dia berucap dengan tenangnya sambil mendekatiku, diambilnya buku di tanganku dan diletakkan di atas meja lalu kembali duduk di tempat tidur. Aku diam tak bereaksi. “Aku bukan orang yang punya kemampuan untuk mengajari seseorang bagaimana caranya berciuman, postingan di blog itu hanya keisenganku saja, juga link pada kolom komen page efbe itu. Ketika kamu mengirimi email menanyakan tentang postingan tersebut, jujur aku kaget ada orang yang merespon. Kepalang basah, aku pikir untuk meneruskan  keisenganku. Jadi, aku berikan alamatku dan paginya kucetak satu stiker untuk pintu…”

Sekarang aku tahu, yang punya blog tak jelas di mana aku membaca iklan jahanam itu adalah dia sendiri.

Lalu dia melirik tumpukan makalah dan modulnya di atas meja. Dia mendesah dulu sebelum berkata, “Itu punyaku…” ditunjuknya paper tugas di meja. “Maaf aku tidak jujur memperkenalkan diri padamu, aku tak punya keberanian yang cukup untuk membuka diri. Jadi, kubelokkan identitasku untuk orang lain saat kita di bendungan. Seharusnya aku tidak berbuat demikian…”

“Kamu menipuku.”

“Ya, aku menipumu. Aku menipumu sejak awal. Aku bohong tentang LDR-ku, aku bohong tentang apel malam mingguku, aku tidak benar-benar menelepon malam minggu itu. Aku bohong dengan semua sesi belajarmu, aku bohong tentang semuanya…”

“Aku hanya proyek keisenganmu.”

Dia menunduk, menatap lantai.

“Aku harus menunda aktivitas lain agar bisa kemari, aku harus membaca tulisan-tulisan itu, aku harus mencium cermin bahkan patung…”

“Aku…”

“Dibohongi itu sakit, Ken… tapi lebih sakit lagi saat kamu tahu bahwa kamu dipermainkan.” Aku menahan diri agar emosi tidak membuat suaraku bergetar, tapi gagal. Bibirku bahkan bergetar. “Tapi pasti kamu tidak tahu bagaimana rasanya karena bukan dirimu yang ada di posisiku, kamu yang jadi orang brengseknya, kamu yang memainkan skenario kebohongan terhadapku…”

“Tapi aku tidak main-main dengan apa yang terjadi antara kita semalam…”

“ITU KESALAHAN!” aku berteriak. “Itu ketololanku… Tuhan, kenapa aku bisa sebodoh ini…” aku bangun dan mengambil kemejaku. “Seharusnya aku cukup pintar untuk melihat kalau kamu memang seorang penipu sejak awal…”

“Semalam aku tidak menipu.”

“Harusnya aku tak ke tempat sialan ini semalam…”

“Jangan membohongi diri sendiri Tripel G…”

“Berhenti menyebutku dengan nama sialan itu!” aku tergesa-gesa mengancingkan kemeja.

“Kamu tak akan menciumku jika tidak memiliki sedikitpun perasaan untukku, kamu tak mau lenganku memelukmu jika kamu tidak menginginkanku. Kamu tak akan berada di tempat tidurku malam tadi jika kamu tidak mencintaiku. Kita sama-sama menikmatinya. Jangan bohongi dirimu sendiri, Tripel G…”

PAMM

Tanganku melayang memberinya sebuah tamparan. Dia menerima, tidak membuat sebarang gerakan mengelak atau mencekal lenganku sebelum menghampiri wajahnya. Dia hanya diam. “Aku berdosa pada Mimbar, ya Tuhan… aku berdosa besar padanya…”

“Maafkan aku, aku menyesal Tripel G…”

“Kamu tak tahu apapun tentang kata maaf, Brengsek! Seharusnya kamu menyesal sejak kunjungan pertamaku kemari.” Tergesa kubuka dompetku, kulempar empat lembar uang seratus ribuan ke lantainya. “Aku sudah selesai dengan penipu. Congrats untuk permainanmu yang mengesankan…”

Pintu kamarnya kubanting hingga berdebam kuat, kurenggut stiker jelek di sana dan kuremas sebelum kubaling ke lantai lorong.

***

Ini tentang hati yang sakit

Tentang rasa hampa yang menyayat

Tentang dilema

Kebohongan adalah kesakitan hati

Problema rasa yang tak dapat dipungkiri adalah kehampaan

Dan menjalani kisah dengan setengah hati adalah dilema

Empat belas hari. Sudah selama itu aku melewati hariku dalam ombang-ambing perasaan bersalah, kecewa, merindu, dan berdosa setiap kali Mimbar memberiku senyum tulusnya. Aku tak pantas mendapatkan cinta semurni itu dari Mimbar. Hatiku yang kotor tak pantas bersanding dengan hatinya yang putih bersih. Aku adalah pengkhianat. Aku tidak benar-benar berada bersama Mimbar, tidak bila hanya ragaku di sini sementara jiwaku di tempat lain, jiwaku berada di salah satu kamar di Griya Indah. Ya, aku tak dapat memungkiri kenyataan bahwa aku merindukan Ken—si Penipu kurang ajar itu. Sehebat apapun sakit yang sudah disebabkannya padaku, seperti katanya, aku tidak dapat menipu perasaan bahwa aku memang menginginkannya. Aku tak dapat menipu diriku bahwa aku mencintainya.

Kutatap Mimbar yang sedang sibuk memungut kulit kerang di bibir pantai. Haruskah aku menipunya lebih lama lagi? Haruskah aku berpura-pura mencintainya di saat sebenarnya hatiku tidak lagi memiliki sedikitpun cinta buatnya? Haruskah aku mengikat Mimbar dengan cinta palsuku di saat sebenarnya dia bisa menemukan seseorang lain di luar sana yang benar-benar akan mencintainya, membalas perasaannya dengan jujur?

Mimbar berhak mendapatkan kebahagiaan yang sebenarnya, bukan denganku, tapi dengan seseorang yang lain. Dan aku… aku juga berhak mendapatkan kebahagiaanku…

“Bar…”

Mimbar berhenti dari aktivitasnya bersama kulit-kulit kerang dan menolehku yang duduk di pasir. “Iya, Bran…”

“Ada seseorang lain…”

Cukup tiga kata itu saja. Mimbar menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Dia menjatuhkan kulit-kulit kerang dari telapak tangannya kembali ke pasir. “Apa dia anak yang kita papasi di lobi direktorat hari itu?”

Aku mengangguk, “Namanya Halkandy…”

“Dibanding aku, dia memang lebih sempurna…”

“Jangan seperti ini, Bar. Tolong…” aku bangun dan berdiri di depannya, kupegang kedua lengannya. “Yakinkan dirimu bahwa bukan kamu yang kurang sempurna dan tak pantas buatku, tapi aku yang tak pantas buatmu. Kamu berhak mendapatkan seseorang yang lebih baik dariku. Percayalah, kamu akan menemukannya esok…”

Mimbar tersenyum lemah. “Ayo kita pulang…”

Begitu saja. tak ada amarah, tak ada tuntutan penjelasan dengan kata tanya ‘mengapa’. Kebaikan dalam diri seorang Fardeen Mimbar Fahrenheit demikian memesonanya untuk membuat kata putus sebagai sebuah jalan keluar paling baik untuk kami. Aku tahu dia terluka, tapi dia akan lebih terluka lagi jika kebohongan ini kubiarkan lebih lama lagi.

“Kamu tak perlu mengembalikan itu, Bran…” Mimbar berujar ketika aku hendak melepaskan kalung hati setengah dari leherku saat kami sampai di gerbang kosanku.

Aku menatapnya. “Kamu bisa memberinya ke seseorang lain kelak…”

“Keep it… itu hadiah.”

Aku tak jadi melepaskan kalungnya. “Kita akan tetap berteman, kan?”

“Ya Tuhan, aku tak seburuk itu, Bran. Apa kamu pikir aku cukup tolol dengan membenci orang yang tak bisa mencintaiku? Tentu saja kita akan tetap berteman.” Dia tersenyum saat menyentuh bahuku, “Kita teman, fakta itu tak akan berubah.”

Aku mengangguk, kagum dengan pribadi lelaki ini.

“Aku pulang dulu, sampai ketemu…”

Seperti biasa, aku baru masuk ke kosanku ketika deru mesin motor Mimbar sudah tak terdengar lagi.

***

Bagaimana cinta bekerja memang tak bisa diprediksi.

Suatu ketika kau berjumpa seseorang dan mengira bahwa ia adalah tujuan hidupmu selamanya, tak ada yang lain, satu-satunya yang kau inginkan untuk menjalani kisah luar biasa.

Namun hati itu rumit, Kawan… cinta itu demikian sensitif, sampai kau menyadari bahwa selama ini prediksimu salah. Bahwa ada orang lain yang lebih kau inginkan… dan ketika saat itu tiba, keputusan ada di tanganmu… mengambil? Atau membiarkan.

Dalam kasusku, aku memutuskan untuk mengambilnya…

Kutemukan dia sedang bersila di lantai menikmati makan malamnya ketika pintu kamar kudobrak tanpa mengetuk lebih dulu. Bungkus nasi beralas piring terbuka di depannya, juga segelas air. Dia batal menyuap nasi ke mulutnya, potongan ayam goreng dalam sendok diletakkan semula ke piring.

“Kamu mengagetkanku, Tripel G.”

Aku rindu panggilan itu. “Kamu berhutang satu sesi latihan lagi padaku, Penipu!” kututup pintu di belakangku.

Dia tersenyum, mendorong piring dan gelasnya menjauh lalu meluruskan kedua kakinya di lantai. Punggungnya bersandar di rangka tempat tidur. “Kamu tak perlu belajar lagi, Tripel G… kamu sudah membuktikan kalau dirimu cukup mahir malam itu di sini…” kedua tangannya merentang di tepi tempat tidur, seakan menegaskan kata ‘di sini’ yang baru saja diucapkannya sambil menyeringai.

Aku tak mau membuang waktu dengan membuka alas kakiku. Segera saja aku melintasi jarak dan menghambur ke arahnya yang menerimaku sambil tertawa. aku duduk di pangkuannya, meluruskan kedua kakiku ke bawah kolong tempat tidur dan tanpa menunggu segera menciuminya, bertubi-tubi. Dia merangkul pinggangku dengan satu lengan sedang tangan yang lain bergerak di rahang dan leherku, mengimbangi ciuman kami yang hebat. Aku lumer bersama lumatannya di bibirku, lebur dalam sentuhannya di kulitku. Rasanya diriku utuh seketika.

“Aku merindukanmu Tripel G…” itu bisiknya ketika bibir kami berjarak.

“Bibirmu rasa ayam goreng,” mengabaikan pengakuan rindunya, aku balas berbisik sambil menyentuh bibir bawahnya dengan jemariku.

Dia tertawa.

“Aku jujur pada Mimbar.”

“Tentang?”

“Tentang aku yang amat sangat mencintaimu.”

“Ah, Tripel G… kamu membuatku terkesan jahat padanya…”

“Kamu memang penjahat. Sialnya, aku malah jatuh cinta padamu.”

Dia tertawa lagi. “Jadi, apa kita harus meneruskan ini dulu…” dia melirik ke bawah, ke bagian bawah perutnya yang kududuki, “atau bersabar sampai aku menghabiskan makanku dulu?”

Wajahku memerah tanpa bisa kucegah, “Dasar mesum…” aku bergerak turun dari pangkuannya. “Aku belum sempat makan saat berkendara kemari, Ken…”

“Well, artinya kamu akan mengurangi setengah jatah makan malamku hari ini. Suka nasi goreng?” dia meraih kembali piringnya, “Asal tahu saja, ini kubeli pakai honor darimu…” dia menyendok, “Jujur, Bran… pagi itu saat kamu melempar uang ke lantaiku, rasanya bagai aku baru saja menjadi pekerja seks komersil pria…”

“Maafkan aku…”

“Lalu aku berfikir, sepertinya ada cara lebih mudah untuk mendapatkan uang ketimbang membuat iklan iseng tentang les ciuman. Yaitu menjadi PSK pria…”

Aku melongo, “Kamu… kamu…” bayangan kalau selama dua minggu ini dia benar-benar merealisasikan pemikirannya menghantuiku.

“Kamu tak masalah kan, punya pacar yang hak kepemilikannya berada di tangan umum?” aku pucat. “Habisnya aku berfikir kalau kamu gak akan kembali ke sini, jadi kuambil saja keputusan itu.”

Ya Tuhan, apa ini karmaku karena meninggalkan orang sebaik Mimbar? Seluruh sendi tubuhku lemas seketika. Lalu aku melihat wajahnya yang seperti menahan tawa.

“Got yaa…” dia terbahak. “Aku belum gila untuk memasang tarif atas kemampuanku di tempat tidur, Tripel G…”

“Sialan, Ken… aku ingin menghajarmu.” Aku bernafas lega ketika tahu kalau anak ini hanya menakut-nakutiku, sedang dia masih terus tertawa.

“Tapi sepertinya jadi PSK enak deh, buktinya kayak malam itu aku langsung dapat empat ratus ribu darimu saat pagi, padahal tak ada kegiatan siapa memasuki siapa malamnya, cuma saling membuat lengket di perut satu sama lain…”

Aku mencubit pinggangnya. “Itu bayaran les-ku, bukan buat membayar anumu!” aku kesal.

Dia mengelus pinggangnya yang kena cubit. “Kalau aku jadi gigolo, kamu ma…”

“Aku akan membunuhmu kalau sampai melakukan itu!” tak kubiarkan dia menyelesaikan kalimat.

Berhenti berkata jail, dia menyendok nasi goreng dan mendekatkan sendok ke mulutku. “Katanya lapar, tapi malah merepet terus…”

Aku memilih diam dan membuka mulutku menerima suapannya. Kami saling menyuapi hingga bungkus nasi itu licin. Kami juga berbagi gelas. Ken menatapku dengan mata berbinar selama aku mengosongkan gelas.

“Aku tak percaya bisa memilikimu, Tripel G. Mereka yang menyia-nyiakanmu dulu sungguh begitu bodoh… Danil tolol karena melepaskan peluang memilikimu, padahal dia orang pertama yang mendapatkan peluang itu.”

Aku tersenyum simpul. Jemariku bergerak untuk membuka kancing-kancing kemejaku sendiri lalu naik ke tempat tidur. “Aku ingin bermalam…” ujarku lirih.

Dan dengan begitu, Ken meninggalkan lantai untuk menyusulku.

Jangan mengira cintaku hanya hasrat. Jangan berpikir cintaku hanya manifestasi dari iblis dalam diriku. Jika kalian tak tahu seperti apa kisahnya, jika kalian tak tahu bagaimana jalan ceritanya, maka berhenti menganggap cintaku nafsu. Karena kalian tak melihat matanya yang memandangku seperti akulah satu-satunya alasan mengapa dia memiliki inderanya itu. Karena kalian tak melihat bagaimana dia menyentuhku seperti akulah alasan utama indera perasanya berfungsi. Karena kalian tak melihat bagaimana dia mendekapku seperti aku diciptakan hanya untuk mengisi dekapnya.

Demikian sebaliknya…

Mungkin bagi kalian yang belum pernah bertemu dengan yang namanya Cinta Sejati, akan terdengar berlebihan jika kukatakan bahwa Mahardika Halkandy adalah alasan hidup seorang Giffari Gustav Gibranessa. Tapi ketahuilah, saat ini bagiku … itu tidak berlebihan.

Sekarang, mari kita kembali ke awal sejenak. Apa yang akan terjadi jika aku tidak membaca komen di page efbe itu? apa yang terjadi padaku jika aku berbalik pulang saat ragu menyuruhku agar tidak mengetuk pintu Ken saat mencari alamat? Jawabannya adalah, aku tak akan menemukan cinta sejatiku. Aku akan terperangkap bersama Mimbar yang kupikir adalah cinta sejatiku padahal bukan.

(Tolong matikan musik latarnya!)

Jadi begitulah, temanku… berawal dari sebuah keisengan orang lain, aku menemukan cintaku yang sebenarnya, cinta yang langsung terjabarkan lewat satu ciuman pertama. Jalan yang dipilih oleh cinta untuk menemukan orang yang tepat memang tak terprediksi kan, Teman…

See you!

Sumber : https://algibrannayaka.wordpress.com/2013/11/13/one-first-kiss/comment-page-1/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar