Kyai Zamahsari. Orang bilang ruhnya berada di antara langit dan bumi. Wujudnya manusia, wataknya seperti makhluk langit. Perjalanan hidupnya seumpama manusia suci di jaman nabi. Kyai Zamah menjadi pelita bagi umat yang butuh cahaya. Lelaki tua berperawakan kurus kering itu seumpama benang penyambung bagi layang-layang yang putus tali.
“seyogyanya-lah kita terus mengingat penggalan kata lillahi ta’ala. Cukuplah dengan itu”
“mengapa bisa demikian, Kyai?” lawan bicaranya seringkali bertanya
“meresapi kata lillahi ta’ala berarti kita mengenakan baju keberanian. Kita tak perlu takut apapun. Tuhan bersama kita,”
Dengan wajah yang bercahaya, selalu gembira, seakan mencium bau surga –pesan bijak Kyai Zamah membuat hati sekeras batu memancarkan mata air.
“ketakutanlah menjadi sumber petaka. Takut menjalani hidup, takut miskin, takut dikalahkan, takut kesakitan, takut kehilangan, takut mati. Apalah kiranya yang benar-benar milik kita di dunia ini ” Kyai Zamah mengajak berpikir.
“harta kita kah ? keluarga kita ? dan bahkan kehendak jantung berdetak pun tidak kita kuasai. Sekali Tuhan meminta kembali yang dititipkan, tak ada yang bisa dipertahankan. Tuhan tak meminta ramah-tamah dari kita. Hanya saja –Tuhan minta dituhankan. Tuhan memberi kita mata untuk mengenali kebesaranNya, memberi telinga untuk menangkap keagunganNya.”
“dengan mendasari lillahi ta’ala di tiap tindakan, kita telah ridha dengan segala yang dianugerahkan Tuhan. Jadi kita tak perlu takut kehilangan karena hakekatnya kita tak memiliki apa-apa, bahkan hidup sekalipun.”
Kalimat-kalimat teduh Kyai Zamahsari mengalir jernih. Kyai tua itu membalik logika manusia akhir jaman yang serba materialis –yang serba mengukur kebahagiaan bersumber kelimpahan harta benda.
Satu dari murid Kyai Zamahsari yang disayanginya adalah Hardiman, lelaki berusia 35 tahun yang belum menikah. Hardiman selalu mengikuti kemana pun Kyai Zamahsari mengisi majelis taklim. Hardiman selalu duduk di deretan terdepan. Kyai Zamahsari selalu menghampirinya acapkali selesai mengisi materi. Hingga suatu ketika –
“Kyai Zamah, kumohon terangkan padaku, mengapa Tuhan membutakan aku. Padahal seperti kata-kata Kyai, Tuhan memberi kita mata untuk mengenali kebesaranNya. Aku tak pernah tahu seperti apa warna langit. Aku tak tahu seperti apa hijau dedaunan,” dengan santun Hardiman bertanya. Kyai Zamah memandang Hardiman dengan tatapan sayang.
“Hardiman, kau tidak buta, Nak. Mata batinmu terbuka. Dengan batinmu kau bisa merasakan kehadiran Tuhan lebih dekat. Kau bisa meraba dan menyentuh kasih sayangNya melebihi siapapun. Mata penglihatan seringkali menipu. Tapi mata batin tidak. Putih yang dilihat mata, belum tentu putih ketika tertangkap mata hati,”
Seketika beresonansi dada Hardiman mendengar jawaban lembut Kyai Zamah. Hardiman tersenyum.
“berdoalah semoga Tuhan senantiasa menajamkan mata batinmu. Itu jauh lebih berharga,”
“amin, Kyai. Amin. Matur nuwun, Kyai Zamah,” Hardiman mengangguk hormat penuh terima kasih. Lelaki tuna netra itu mencium ta’dzim tangan Kyai Zamahsari.
Maka sejak itu, Hardiman selalu memanjatkan doa agar Tuhan menajamkan mata batinnya. Tiap sehabis sholat, di waktu dhuha, maupun di sepertiga malam terakhir. Dipanjatkannya doa “pembuka mata hati” ini berminggu-minggu –berbulan-bulan. Hingga kemudian di suatu malam kudus –ketika Hardiman usai menunaikan shalat tahajud, tiba-tiba dari kegelapan matanya muncul setitik sinar. Perlahan-lahan titikan sinar itu membesar –kian membesar hingga sirna-lah kegelapan tergantikan bentangan alam.
Hardiman terkejut. Di samping kiri dan kanannya tersenyum dua sosok malaikat pencatat perbuatan. Hardiman ketakutan. Tubuhnya menggigil. Hardiman memilih berlari ke luar rumah, namun –bukannya mendapat ketenangan, Hardiman malah menyaksikan gambaran aneh hingga nyaris menghentikan detak jantungnya.
Jutaan malaikat terbang berputar-putar di langit. Sayap-sayapnya terkembang bebas sambil tak henti-henti mendengungkan lafadz tasbih. Subhanallah-Subhanallah-Subhanallah-Wahamdulillah.
Hardiman jatuh terduduk. Ia menangis. Mendadak dari atas langit melesatlah sesosok malaikat bersayap empat berwarna putih. Malaikat itu mengepak-ngepakkan sayapnya sebelum akhirnya kakinya memijak bumi. Malaikat berwajah cerah itu menghampiri Hardiman dan memegang tangan kanannya.
“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh,”
Hardiman tercengang mendengar sapaan sang malaikat. Mulutnya ternganga. Kerongkongannya tercekat.
“jangan gentar, Hardiman. Aku dan kau sama-sama makhluk Tuhan. Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh,” malaikat itu mengulang sambil menjabat tangan Hardiman lebih erat.
“wa..wa .. waalaikum salaam wa wa..warahmatullahi .. wabbarakaatuh,”
Kalimat Hardiman terbata-bata. Bola matanya melotot lebih lebar.
“aku malaikat Kasyaf. Empat puluh tingkat derajatnya di bawah Jibril dan Muqarrabuun. Kedatanganku kemari membawa kabar dari Tuhan jika doamu telah dikabulkan. Mulai sekarang, meskipun mata fisikmu gelap, mata batinmu terbuka seterang-terangnya. Meskipun alam dunia beranjak malam, tetapi mata batinmu mampu melihat berbagai kerahasiaan seterang pagi hari,”
Hardiman terpaku. Tak mampu menimpali.
“sampaikan pula salamku kepada gurumu Kyai Zamahsari. Katakan kepadanya, Insya Allah aku akan berkunjung beberapa hari lagi. Assalamualaikum Warahmatullahi wabarakaatuh,”
“wa..wa .. waalaikum salaam wa wa..warahmatullahi .. wabbarakaatuh,”
Sekejap setelah menyelesaikan kata-katanya, malaikat Kasyaf melesat terbang dan menghilang di langit –bergabung dengan jutaan malaikat lain yang terus terbang berputar-putar melantunkan tasbih.
Hardiman jatuh terduduk. Tubuhnya menggigil. Keringat dingin bercucuran dari kening dan tubuhnya. Bibir Hardiman tak lepas beristighfar. Lelaki itu sujud tak bangun-bangun hingga menjelang fajar subuh.
Sampailah fajar pecah di langit timur, Hardiman bergegas menuju masjid sambil membawa tongkat penuntunnya. Sepanjang perjalanan tak ditemuinya makhluk lain selain sepasang malaikat pencatat perbuatan yang bersibuk menoreh aksara persaksian. Hardiman berhenti di gerbang masjid. Dirinya yakin jika kali ini dirinya-lah yang tiba pertama kali di masjid –mendahului Kyai Zamahsari. Dan benar saja, lima menit kemudian, Hardiman merasakan kehadiran Kyai Zamah lewat bunyi terompah kayu yang terantuk di jalanan.
“Assalamualaikum, Kyai Zamahsari”
“waalaikum salaaam warahmatullah. Alhamdulillah, Hardiman. Kau sudah disini rupanya,berlimpahlah rahmat Allah atasmu,”
Kyai Zamah tersenyum dan memandang lembut. Hardiman mampu membaca ketulusan Kyai Zamahsari lewat mata batinnya. Ketika itu dipandangnya malaikat pencatat kebaikan menorehkan catatan panjang di rapot Kyai Zamahsari.
“saya ingin menyampaikan amanat buat Kyai Zamah. Amanat itu saya terima beberapa jam yang lalu,”
“amanat ? dari siapa ?” kening Kyai Zamahsari berkerut
“dari makhluk Allah yang mengaku sebagai malaikat Kasyaf,”
“subhanallah !” Kyai Zamahsari melonjak jantungnya
“beliau malaikat Kasyaf berniat mengunjungi Kyai Zamah dalam beberapa hari ke depan,”
“subhanallah, Hardiman ! subhanallah ! benarkah perkiraanku jika mata batinmu sudah terbuka ? benarkah kau bisa menyaksikan kehadiran malaikat beterbangan di langit ?”
“demi Tuhan, Kyai. Bahkan malaikat di samping Kyai –saya bisa melihatnya. Mereka tersenyum mendengar percakapan kita,”
“subhanallah ! subhanallah !” Kyai Zamahsari berujar takjub. Dadanya beresonansi.
Hardiman kemudian menceritakan peristiwa yang dialaminya –mulai awal hingga akhir. Kyai Zamah sesekali menggeleng takjub, sambil bibirnya tak lepas mengucap takbir.
Terbitnya fajar shadiq di ufuk timur seraya menambah kesyahduan bagi mereka yang mengalami peristiwa ghaib. Hingga ketika subuh tiba, Kyai Zamahsari dan Hardiman menunaikan shalat subuh berjamaah dengan hati yang lebih khusu’.
Seusai mendengar kabar dari Hardiman tentang kedatangan malaikat Kasyaf, detik demi detik dilalui Kyai Zamahsari dengan gelisah. Bibirnya tak lepas beristighfar. Hatinya tak lupa mengagungkan kebesaran Tuhan. Hingga di malam ke sepuluh yang berikutnya, di sepertiga malam yang terakhir, angin yang sebelumnya tenang tiba-tiba berhembus kencang di sekitaran Kyai Zamahsari yang tengah berdzikir. Samar-samar terdengar lantunan ayat suci, samar-samar pula tercium aroma wangi yang menyejukkan.
“Assalamualaikum, Kyai Zamahsari. Semoga berlimah rahmat Allah atasmu,” suara lembut mengalir tenang –menyentuh kesadaran Kyai Zamahsari. Saat lelaki tua itu membuka mata, muncul sosok lelaki berwajah tampan.
“Waalaikum salam warahmatullah. Apa benar saya tengah dikunjungi malaikat Allah bernama Kasyaf ?”
“Shadaqta. Kau benar, Kyai. Aku datang kepadamu atas perintah Tuhan. Aku berwujud demikian karena kau melihat dengan mata dunia. Sedangkan saudaramu Hardiman melihat wujudku dengan mata batinnya. Terpujilah Tuhan yang telah memuliakan Hardiman dan memberikannya derajat kewalian,”
“Subhanallah .. Alhamdulillah,” batin Kyai Zamahsari ta’dzim dan tunduk.
“Tuhan menyampaikan salam kepadamu, Kyai. Sekalian meminta keridhaanmu,” Malaikat Kasyaf kembali berkata-kata.
“apapun itu, Malaikat Kasyaf. Bahkan nyawaku pun bukan milikku,” Kyai Zamahsari menimpali lembut.
“Syukurlah kalau begitu, Kyai” Malaikat Kasyaf mengangguk. “bagaimana pendapatmu seandainya Tuhan mengambil pengihatan fisikmu ? hal yang demikian tentunya permintaan yang berat,”
Kyai Zamahsari sedikit terkejut –tetapi –sedetik kemudian lelaki tua itu menyiapkan kata-kata. Kyai Zamahsari lantas memandang Malaikat Kasyaf dan menarik nafas panjang.
“jika Tuhan menghendaki yang demikian, demi Allah, saya ridha lahir dan batin,”
Usai menyelesaikan kalimatnya, cahaya yang tertangkap penglihatan Kyai Zamahsari berangsur-angsur menyurut. Semakin lama semakin menyurut, hingga –
Gelap. Semua di sekelilingnya berubah kelam gulita. Untuk sesaat Kyai Zamahsari membayangkan gambaran mata batin Hardiman yang mampu menangkap kehadiran para malaikat, tetapi –ternyata hanya kegelapan merajalela. Tak tertangkap satu makhluk pun seumpama malaikat-malaikat langit seperti yang diceritakan Hardiman. Kyai Zamahsari akhirnya sadar. Bukan hanya mata fisiknya yang buta, tetapi juga mata batinnya.
“Assalamualaikum, Kyai. Semoga Allah merahmatimu,”
Ucapan salam dari Malaikat Kasyaf mengakhiri perjumpaan keduanya. Kyai Zamahsari menangis dan berharap semoga Tuhan menguatkan keridhaannya.
Malam berganti pagi. Maka gemparlah seantero penjuru jika Kyai Zamahsari mendadak kehilangan penglihatannya. Perlahan-lahan aktifitas Kyai Zamahsari di majelis taklim terganggu. Murid-muridnya yang selama ini setia menanti mutiara kata-katanya –berangsur-angsur menyurut.
Ujian kehilangan penglihatan dirasa begitu berat bagi Kyai Zamahsari –terutama di sepertiga malam menjelang subuh. Saat mengambil air wudhu, saat meraba-raba mencari terompahnya untuk ke masjid, Kyai Zamahsari seringkali jatuh terjengkang lantaran terpeleset. Kyai tua itu seraya lupa petuahnya kepada Hardiman –bahwa dengan mata batin –kehadiran Tuhan bisa lebih nyata dirasakan.
Kyai Zamahsari terus berjuang menata hati. Kyai Zamahsari ingin sepenuhnya menjaga keridhaan dan keikhlasan dalam menerima ketetetapan Tuhan. Namun sekuat-kuatnya batin ditata –ternyata –di hatinya timbul perasaan bahwa memiliki penglihatan fisik tentunya lebih baik dari kondisinya saat ini.
Seketika angin berhembus menebar aroma wangi. Angin sejuk itu seraya membawa ketenangan dalam batin Kyai Zamahsari.
“Assalamualaikum, Kyai Zamahsari”
Bersamaan ucapan salam –tiba-tiba pulihlah penglihatan fisik Kyai Zamahsari. Cakrawala matanya terbentang lebar. Segalanya nampak kembali.
“waalaikum salam warahmatullah, Malaikat Kasyaf,” Kyai Zamahsari membalas salam dengan lirih. Lelaki tua itu lantas menunduk sedih.
“adakah yang ingin kau sampaikan kepadaku, Kyai. Adakah sesuatu merisaukan batinmu hingga Tuhan mengutusku menemuimu,”
“Astaghfirullahal adziiim, Tuhan yang Maha Tahu atas yang nampak dan yang tersembunyi, yang tak sepergerakan batin pun tak berada dalam pengetahuanNya.” Kelopak mata Kyai Zamahsari menghangat. Membasah.
“kurasakan keikhlasanku telah ternodai. Muncul dalam hatiku semacam keluhan atas kondisiku,” bulir-bulir air mata menitik di kerutan pipi Kyai Zamahsari.
“Jangan kau berputus asa dari rahmat Tuhan, Kyai. Tuhan Maha Pengampun dan Penyayang. Ketahuilah, Tuhan mengutusku menemuimu untuk sekedar mempertanya –apakah kau ingin Tuhan mengembalikan penglihatanmu ?”
Kyai Zamahsari terdiam mendengar pertanyaan Malaikat Kasyaf. Sang malaikat kemudian meraih tangan Kyai Zamahsari dan memegangnya lembut.
“katakan, Kyai. Apa kau ingin Tuhan mengembalikan penglihatanmu ?”
Tiba-tiba bibir Kyai tua itu bergetaran. Demikian pula dadanya. Kyai Zamahsari menangis tersedu-sedu. Air matanya deras bercucuran.
“jika di akhir takdir aku beroleh kebaikan, semoga Allah mengabulkan yang demikian, semoga Allah memulihkan penglihatanku,”
“baiklah kalau begitu. Tuhan lebih mengetahui apa yang terbersit di hatimu. Assalamualaikum Warahmatullah,”
“waalaikumussalam warahmatullah wabarakaatuh,”
Malaikat Kasyaf kemudian undur diri. Sebelum pergi, malaikat berwajah tampan itu menjabat tangan Kyai Zamahsari.
Di kala tatap mata Kyai tua itu mengikuti gerakan Malaikat Kasyaf yang lenyap di balik dinding, tiba-tiba –
Blap !!
Malam yang masih gelap tiba-tiba tergantikan alam lain. Dinginnya udara malam tergantikan kehangatan matahari pagi.
Kyai Zamahsari memasuki alam lain. Sepanjang matanya memandang –yang terlihat hanyalah padang rumput maha luas yang tanpa tepi. Di saat matanya menoleh ke sisi lain, Kyai Zamahsari terkejut bukan kepalang. Tak jauh darinya –Hardiman tersenyum menyambutnya. Sementara di belakang Hardiman –berderet-deret puluhan lelaki dan perempuan dari segala bangsa. Wajah mereka terlihat bahagia –seolah-olah mereka telah berhasil memahatkan nama di dinding sorga.
“Assalamualaikum, Kyai Zamahsari,” sontak seluruh lelaki-perempuan mengucap salam.
Namun Kyai Zamahsari gugup. Tubuhnya menggigil. Hardiman kemudian bergegas menghampiri dan menaut tangan kanan Kyai Zamahsari.
“Rahmat Allah atasmu, Kyai,” sambut Hardiman. Terlihat bahwa penglihatan Hardiman pulih tanpa cela.
“terpujilan Tuhan yang Maha Baik, Kyai. Sisi lemah kemanusiaanmu menjadikan derajatmu setingkat lebih tinggi di hadapan Allah. Mata penglihatamu telah pulih, mata batinmu dibukakan Allah,”
Kyai Zamahsari tak mampu menimpal sedikitpun.
“dan ternyata, Tuhan tak menghendaki kita bersifat seperti malaikat agar dekat denganNya. Tuhan menghendaki kita untuk tetap seperti manusia dengan sisi kelemahannya. Yang merasa sedih, merasa putus asa, dan terkadang lupa. Sehingga akhirnya dengan itu semua –menyadarkan kita bahwa manusia tetaplah manusia, dan yang Tuhan harus tetap berada di posisi yang dituhankan. Bukan begitu, Kyai ?”
Sementara Hardiman mempertanya, Kyai Zamahsari tak mengeluarkan kata sedikit pun. Air matanya mengalir deras –sebagaimana kederasan rasa syukurnya kehadirat Tuhan yang Maha Baik.
Tiba-tiba saja jutaan malaikat terbang melintas di langit. Kepakan sayap-sayapnya membuat sinar yang jatuh ke bumi terhalang timbul tenggelam.
Bangil, 05/03/2011
Sumber : http://emilwe.wordpress.com/2012/05/01/cerpen-mata-hati-kyai-zamahsari/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar