Umi Farida Blog

Selamat datang di blog ku

Selasa, 11 November 2014

Cerpen : Hujan Itu Berkah

Langit pagi ini muram. Guntur bergejolak. Awan kehitaman bergantung. Angin berhembus menyibakkan rambut seorang gadis yang sedang duduk dibangku taman rumahnya. Sudah 1 jam ia duduk terdiam disana dengan menggunakan mantel hujan berwarna hijau. Menutupi seluruh badan, kecuali wajahnya. Ia mengganti posisi duduk sesekali. Sabar.  Sedang menunggu sesuatu yang datang

Tes. Air langit  jatuh mengenai pipi putihnya. Ia tersenyum. Sesuatu itu akhirnya datang!

Hujan deras turun. Ia berdiri sambil berputar pelan. Tertawa bahagia. Merentangkan tangannya dan mendongakkan kepalanya ke langit. Merasakan setiap sensasi dingin yang mengenai reseptor pada kulitnya. Jee bersyukur atas rahmat Nya. 10 menit kemudian ia menggigil. Memeluk badannya dengan kedua tangannya. Kembali ke kamar.

Kakak kandungnya, Kay , terpaut 3 tahun dengan adikknya mengamati gadis cantik ini dari teras rumah. Kay yang merawat Jee tidak dapat menahan. Ia tak tega. Pernah suatu saat ketika Kay melarangnya. Jee meraung-raung. Memberontak selama 5 jam tanpa henti. Menangis. Kemudian kelelahan. Tertidur. Terbangun dan menangis lagi.

Ujung mata kanan nya selalu berkedut jika hujan akan turun. Tepat sekali. Kedutan itu tidak pernah salah prediksi sejak setahun ini. Sehingga ia tidak pernah ketinggalan menyambut hujan. Interval kedutan matanya dengan waktu turunnya hujan hanya berselang  kurang lebih 1 jam. Nyaris tak pernah lewat.

**

Dirumah  besar itu, Jee tinggal dengan Kay dan Bi Suma yang baik hati. Tidak ada siapa-siapa lagi. Setahun yang lalu pernah ramai sekali. Rumah itu suram tak bercahaya. Seolah-olah penuh kutukan  walaupun Bi Suma selalu merawat rumah itu. Tapi Jee tidak tahu dan tidak peduli. Ia mempunyai kakak yang selalu mendengar ceritanya.

“Hari ini kau melihat apa, Sayang? “

Kay memberikan handuk. Jee meletakkannya begitu saja diatas kepalanya.

“Aku melihat cahaya, Kak. Mungkin itu pelangi? Eh , kayaknya aurora deh? Pokoknya indah sekali. Aku juga melihat Ibu, ia masih terlihat cantik. Ia tampak muda. Lagi-lagi ia bersama anak kecil yang bongsor itu. Badannya pasti berat  sekali. Ibu pasti keberatan meggendongnya. Seharusnya kan dia berjalan saja. Huh” kesal Jee. Lantas memonyongkan bibirnya  dan mulai mengeringkan rambut  lurus yg telah kuyup itu.

“Ibu menitipkan anak itu dengan seorang wanita tetapi tidak begitu jelas wajahnya. Ibu pergi bersama burung-burung. Melambaikan tangannya dan menghilang”

“Anak itu kira-kira siapa ya, Kak?”

“Haha” Kay tertawa. Menyeka bulir air matanya.

“Sepertinya itu dirimu, Jee. Aku waktu kecil imut menggemaskan tapi tidak bongsor deh”

“Ah, aku gak bongsoooor! “  Kesal Jee. Kay tertawa.

**

Setahun yang lalu rumah itu pernah ramai sekali. Rumah itu suram tak bercahaya seolah-olah penuh kutukan semenjak kejadian mengenaskan itu terjadi. Langit pagi itu muram. Kilat dan guntur susul-menyusul memekakkan. Awan kehitaman bergantung dan hujan pun berhasil mengguyur bumi dengan deras. Bukan kepalang bahagianya keluarga itu. Ayah mendapat kabar sudah tersedia pendonor untuk Jee. Ayah dan ibu mencium khidmat kening anak kesayangan mereka.

“Jee, kita pergi kerumah sakit sekarang ya, Nak” Ayah antusias.

“Tapi kan sekarang hujan deras,Yah”

Meski ia bahagia. Ia tak memaksakan untuk berangkat sekarang karena hari hujan.

“Hujan itu berkah, anakku. Niat baik harus disegerakan. Selagi pendonor tidak merubah pikirannya”. Ibu membelai lembut kepala Jee. Jee mengangguk-angguk tanda mengerti . Ia anak yang patuh. Kebetulan hari itu minggu. Mereka sekeluarga bersiap dan masuk kedalam mobil.

Ayah menyetir. Kay duduk di samping ayah. Sedangkan Ibu dan Jee dibelakang. Jee gugup. Ia senang tapi ada sesuatu yang mengganjalnya. Ntah apa itu.

Sesungguhnya hari itu mereka tak tau malaikat maut sedang mengintai mereka dari kejauhan. Siap mencabut. Baik dengan keras atau lembut. Tak ada yang tahu.

Mobil melaju santai. Jarak pandang hanya 50 meter. Masih aman. Sebelum sebuah truk melaju kencang dari arah depan. Tak terkontrol. Serong kanan dan kiri. Remnya amblas! Ayah berusaha cepat menepi. Mengerem untuk menghindari adu badan. Takdir memang. Truk menghantam bagian permukaan depan mobil. Seketika seisi mobil panik . Pasrah menerima ajal.

“Ibuu.. Ayah, Kak Kay” Teriak jee. Tak ada suara. Tangannya meraba-raba dan berhasil menyentuh muka Ibu.

“Ibu.. ibu tidak apa-apa?” isak Jee panik.

“Anakku, hujan bukan musibah buatmu, hujan tetap berkah dari Tuhan” ibu berbisik pelan.

“Aku selalu ada untuk mu disaat berkah turun dari langit” suara ibu melemah.

Jee menyeka air mata nya. Terisak semakin kuat. Mencari pertolongan. Sementara ia bingung harus berbuat apa

**
Karena ia tahu hujan adalah berkah. Ia menyukainya. Menunggunya. Selalu. Karena Hujan memiliki kemampuan untuk menghipnotis  seseorang untuk meresonansikan ingatan masa lalu. Jee pun memutar kenangannya. Matanya memang indah, tapi sejak berumur 5 tahun ia buta. Bila yang selama ini ia hanya memandang gelap. Saat hujan ia menemukan suatu cahaya terang bagai layar proyeksi yang terpapar jelas di kepalanya. Itulah ingatan visual ketika ia kecil. Tak terekam wajah keluarga dalam ingatannya. Namun rindu itu terlampiaskan setiap turun hujan. Karena di dalam hujan, ada lagu yang hanya bisa didengar oleh mereka yang rindu.
Ya! Karena hujan adalah berkah janganlah kita lalai mensyukuri nikmat Nya ” Ya Allah, jadikanlah hujan ini hujan yang membawa manfaat”

Sumber : https://capucinnocincau.wordpress.com/2014/10/21/cerpen-hujan-itu-berkah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar