Hiruk pikuk manusia tumpah ruah di lapangan bulu tangkis ini. Sorak sorai dukungan terdengar dari tiap sudut luar lapangan. Yel—yel pun kian semarak didendangkan untuk setiap pemain yang bertanding.
Pertandingan bulu tangkis antar RT memang telah menjadi kegiatan rutin yang selalu diselenggarakan tiap tahunnya di lingkungan antar warga di daerah kami. Teriakan, nafas tertahan masih terdengar dari setiap pasang mata yang menyaksikan pertandingan yang bisa dibilang seru ini. Malam kian larut tapi manusia yang datang malah semakin mengerubut. Seperti tidak rela melewatkan pertandingan setahun sekali ini.
Namun sayang, aku tidak berada diantara mereka. Tidak ikut menyaksikan pertandingan bulu tangkis yang aku yakin memang seru. Aku sebenarnya ada diantara mereka (teknisnya begitu). Tapi sosokku tidak membaur dan terlindung dari tiap pasang mata.
Aku sedang berada dibalik rimbunnya pohon jambu biji bangkok yang saking rimbunnya menyerupai semak yang seperti membentuk sebuah kubah. Bagaimana aku bisa berada dibalik rimbunnya pohon jambu ini? Well, aku_tepatnya_kami, sengaja bersembunyi disini.
‘Dia’lah yang mengajakku bersembunyi. Entah mengapa. Namanya Dwi Putra Sugiantoro. Umurnya 7 (tujuh) tahun, Sedang aku, Rei, umurku 5 (lima) tahun waktu peristiwa ‘ini’ terjadi.
Dwi (begitu aku memanggilnya) mengajakku masuk kebalik rimbunnya pohon jambu tepat sebelum pertandingan bulu tangkis itu dimulai. Letak pohon itu dengan lapangan bulu tangkis lumayan dekat. Tapi dengan daun-daunnya yang padat merapat, kami terlindung dari mata-mata yang kurang awas. Lagipula siapa yang akan memperhatikan kami? Mereka akan lebih fokus pada jalannya pertandingan bukan?
Kami menonton dari balik daun yang hanya tersibak sedikit. Hanya sedikit. Seolah kami bukan menonton tapi ‘mengintip’. Dwi duduk dibelakangku. Kepalanya sejajar denganku. Pipi kami bertaut berbagi hangat. Kulit pipinya lembut ku rasakan.
Pertandingan bulu tangkis itu terbagi dalam 3 (tiga) babak. Dua pertandingan double dan satu pertandingan single. Urutannya double, single, dan ditutup dengan double lagi.
Sepanjang pertandingan pertama kami masih terus ‘mengintip’ dengan posisi yang sama, tidak berubah. Walau terkadang pipinya selalu bergerak lembut beradu dengan pipiku. Tapi posisi tubuh kami tetap terjaga. Aku di depan dan dia di belakangku. Walau kurasa posisinya makin erat merapat ketubuhku. Pertandingan pertama pun selesai. Wakil dari RT kami menang. Kami pun riang. Walau dengan suara tertahan.
Ketika pertandingan kedua kami bosan. Dia yang bosan tepatnya. Wajahnya dia tarik ke belakang. Aku meliriknya. Dia tersenyum manja. Entahlah. Tapi itu pikirku kala itu. Ketika aku berbalik ingin ‘mengintip’ pertandingan lagi, tangannya menggapai pipiku. Dialihkannya wajahku menghadap dirinya. Masih dengan senyum manjanya.
Selama beberapa detik yang terasa selamanya, kami hanya saling pandang berhadapan. Senyumnya mulai menerbitkan senyum diwajahku. Walau aku tak ada pikiran apa-apa, tapi aku bingung jika harus menghabiskan waktu hanya dengan pandangan mata saja. Lagi, kucoba mengalihkan wajahku ingin ‘mengintip’ lagi pertandingan yang mulai seru itu. Terdengar dari sorak-sorak dan jeritan-jeritan tertahan para suporter.
Dan lagi, diraihnya kembali wajahku. Sekarang kedua tangannya disamping pipiku. Dia tersenyum. Masih dengan senyum manjanya. Membuat bibirku tergelitik mengembangkan senyumku juga. Dalam detik itu dunia kami terpisah dengan orang-orang lainnya. Seolah hanya ada dia dan aku. hanya ada kami dibalik rimbunnya pohon jambu ini.
Dengan kedua tangannya yang masih diwajahku, tangan kanannya mulai menjelajah. Kali ini diusapnya rambutku pelan. Membuatku nyaman. Dan detik berikutnya nafasku tertahan.
Dalam gerakan kilat dia mencuri ciuman dari bibirku. Tapi tunggu, jangan bayangkan ciuman basah penuh desah. Itu hanya ciuman sekilas pertemuan dua bibir, bibirnya dan bibirku. Kalian tahu, hanya bersentuhan sepersekian detik dan dilepas. Hanya itu. Tapi karena itu nafasku tertahan. Entah karena apa. Aku 5 tahun waktu itu. belum mengerti apa-apa.
Ciuman kilat itu, ciuman pertamaku.
Setelah melakukan ‘ciuman kilat’ itu dia tersenyum dan menatapku sayu. Melihatku yang diam dengan nafas tertahan dia mengelus rambutku dan mendekatkan wajahnya padaku.
“Rei ga papa?” bisiknya lembut ditelingaku. Nafasku terlepas saat itu juga. Segera kuisi paru-paruku didetik berikutnya.
Aku menggeleng. Dia menarik wajahnya dan tersenyum (lagi).
Dalam senyumnya aku mulai tenang kembali. Dia mulai mengangsurkan wajahnya lagi kearahku. Semakin mendekat. Terlalu dekat. Aku memejamkan mataku cepat.
“Aku mau cium Rei lagi. Boleh?” Bisiknya sangat lembut padaku.
Riuh suara penonton diluar arena pertandingan seakan redup. Hanya terdengar dengung yang sedikit senyap. Suara bisikannya ditelingaku malah terdengar nyaring terdengar sampai terngiang. Dia. Mau. Cium. Aku. Diamauciumaku. Diamauciumaku. Lagi? (Okeeee.. Dulu aku tidak begini. Dulu aku hanya diam dan mengangguk saja).
Kami saling berpandangan (lagi). Senyumnya masih terkembang walau kurasa sedikit tegang. Aku balas nyengir kuda tak tahu harus berbuat apa. Wajahnya semakin mendekat, dekat sekali, amat sangat terlalu dekat sekali. Mataku lagi-lagi terpejam. Dalam pejam kurasakan bibirnya menyentuh bibirku lembut. Ditekannya bibirku. Aku bingung tak tahu harus apa. Jadi aku hanya memasang bibir saja. Beberapa saat yang terasa selamanya, bibirnya menekan bibirku. Entah kenapa, tapi kubuka mataku. Dan kulihat dia disana. Ada dia dengan mata yang terpejam berkonsentrasi menekan-nekan bibirnya dengan bibirku. Matanya mulai terbuka dan bibirnya terlepas perlahan dari bibirku. Senyumnya terkembang amat sangat lebar dan terlihat puas sekali. Seolah dia memenangkan medali emas untuk cabang bulutangkis.
Pandangan matanya bertatapan dengan mataku. Tatapannya sayu. Hatiku bergemuruh. Aku tak mengerti, tapi aku sangat senang sekali. Tatapannya terlihat penuh binar bahagia. Matanya seolah berkata ‘Terima kasih. Aku senang’. Terdengar mengada-ada memang. Tapi jelas itulah yang kurasakan.
Sorak-sorai pertandingan mulai terdengar kembali. Kali ini jelas dan keras terdengar. Kami masih saling tatap dan kualihkan pandangan tak kuasa ingin ‘mengintip’ pertandingan lagi. Dia paham. Diraihnya tanganku dan digenggamnya. Ditolehkannya wajahku dan disibakkannya sedikit daun untuk ‘mengintip’. Posisi kami kembali seperti awal lagi. Aku di depan dan dia di belakang. Bedanya tangan kanannya menggenggam tanganku erat. Dan pipinya makin terasa hangat dan rapat di pipiku. Dengan itu kami menghabiskan malam sampai pertandingan berakhir.
Dibalik rimbunnya pohon jambu itu bibirku tak lagi perawan. Pipiku hangat bukan buatan. Dan tangan kananku selalu terkepal, teringat genggamannya. Dalam malam itu pikiranku selalu terkenang. Di pohon jambu itu, malam itu, pipi itu, genggaman itu, dan yang pasti ciuman itu.. Hatiku tertawan dan sulit tuk lepas kawan.. Dan dimalam itu mimpi-mimpi kebersamaan kami selalu terulang. Sangat sering sekali terulang. Selalu terngiang-ngiang..
*
Sumber : http://boyzforum.com/discussion/16744975/memori-pohon-jambu-my-first-kiss-tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar