Malam itu pertama kalinya aku melihat ibuku kesepian. Ia meringkuk di
kursi rotan yang lusuh, tangannya mendekap tubuhnya yang renta. Malam
kian larut, suara jangkrik dan kodok bersaut-sautan. Hawa dingin
memenuhi kekosongan rumah ini. Tak terasa air mataku mengalir dengan
derasnya bagai bendungan yang jebol karena tak kuat menahan beban yang
kian lama kian berat. Aku ingin menggapai tubuhnya lalu kupeluk tubuh
renta itu, namun itu semua hanya harapan kosong yang tak mungkin bisa
kulakukan.
“Ibu maafkan aku…maafkan aku Ibu.” Aku berkata dalam hati.
Tuhan
aku tak kuat meliahat kondisi ibuku, kulit mudanya berubah seiring
waktu yang berjalan, tubuhnya kini tak seperti dulu yang masih kuat
berjalan tanpa topangan apa pun, tapi kini berdiripun ia tak kuat
apalagi harus melakukan segalanya sendiri. Ibu, aku ingin menggapai
tanganmu lalu memapahmu, biarkan aku menjadi penopang hidupmu. Tapi, aku
tak bisa melakukannya. Mengapa tuhan? Mengapa aku tak bisa menggapai
Ibuku sendiri? Apa karena dosaku terlalu banyak hingga aku tak bisa
mengurangi beban orang yang telah melahirkanku dan merawatku.
Aku
ingin menjalani tugas seorang anak seperti anak lainnya. Tapi aku tak
bisa, aku hanya bisa duduk di sampingnya sambil memandangi wajahnya yang
lesu. Hatiku miris, melihat ibuku seperti ini.
“Tuhan apakah aku pantas dilahirkan di dunia ini?“ tanyaku dalam hati.
Aku
tahu ibu, aku adalah buah cinta ibu dengan seorang pria yang ibu cintai
sepenuh hati. Dan aku tahu ibu, aku adalah salah satu telur yang
terpilih dari ribuan telur yang menempel di janinmu. Aku pun tahu ibu,
aku adalah hasil dari ovummu yang dibuahi oleh sperma peria yang kau
cintai. Tapi, aku ragu dengan semua itu. Apakah aku benar-benar anak
yang kau damba-dambakan untuk lahir ke dunia ini, yang kau siapkan
sebuah nama sebelum aku lahir, dan kau jaga dengan baik selama aku di
dalam kandunganmu.
“Ibu, bu....ibu....ibuuuuuu!“
“Apa salahku
tuhan? Apa? Mengapa suaraku tak didengar olehnya, mengapa tuhan?
Mengapa? Apa yang terjadi? Ada apa dengan diriku dan ibuku? ”
Dengan
hati yang bertanya-tanya aku berjalan menuju sebuah cermin yang bisa
melihatku dari ujung rambut sampai ujung kaki, setelah aku berdiri tepat
di depan cermin, aku memasang mataku seperti elang yang mencari
mangsanya. Dengan ketajam mataku aku menyusuri tubuhku. Dan ketika ku
tersadar, aku terperanjat, aku tak percaya ini.
“Mengapa? Dimana? Di
mana sosok tubuh itu? Mengapa tak ada dicermin” sambil ku pandangi
cermin tersebut dan kuraba-raba. Tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk
dari balik pintu depan rumah. Orang itu menghancurkan kesunyian malam
menjadi berkeping-keping. Ibu pun beranjak dari kursi rotan dengan
perlahan, tangannya mencari-cari pegangan untuk menahan tubuhnya yang
renta itu. Ia berjalan tertatih-tatih menuju pintu dengan sebatang
tongkat yang terbuat dari kayu jati. Ketika pintu terkuak, ada sesosok
lelaki paruh baya yang muncul dari balik pintu.
“Selamat malam, apa benar ini rumah sodara Anggun?” kata lelaki tersebut.
“i...iya, ini memang rumah Anggun, saya ibunya. Memang ada apa ya pak?” ibu menjawab dengan terbata-bata.
“Perkenalkan saya pak Andi, bisakah ibu ikut dengan saya?” tanya lelaki tersebut.
“Memang ada apa pak? Kita mau kemana?” ibu menghujami lelaki tersebut dengan berbagai pertanyan.
Lelaki
tersebut berbisik ketelinga ibu sambil memapah ibu menju mobil sedan
yang diparkir di halaman rumah. Aku tak bisa mendengar apa yang lelaki
paruh baya itu bisikkan kepada ibu, hingga ibu percaya dan mengikuti
lelaki tersebut. Aku hanya bisa memandang raut wajah ibu yang berubah.
Aku
bingung dengan situasi ini, mengapa ibu percaya untuk ikut dengan
lelaki paruh baya tersebut? Apa ibu tidak curiga dengan lelaki yang tak
dikenalnya itu. Aku pun memutuskan untuk ikut menemani ibu.
Mobil
sedan hitam itu, membelah gelapnya malam. Roda-roda berputar searah
jarum jam, namun malam itu waktu seakan berhenti berputar, kebekuan
menyelimuti mobil ini. Aku hampir mati dan tak bisa bernafas oleh
kebekuan itu. Beberapa kali aku melihat ke arah ibu. Raut wajahnya yang
tua terlihat begitu cemas dan panik. Sebenarnya apa yang terjadi?
Mengapa ibu seperti itu, apa hubungan ibu dengan lelaki ini. Lelaki yang
tak dikenal dan tiba-tiba datang kehadapanku dan ibuku sampai akhirnya
merubah raut wajah ibuku. Tak terasa mobil sedan telah sampai ke tempat
yang di tuju.
Mobil ini memasuki halaman yang menurutku begitu luas.
Halaman itu terdapat taman yang begitu asri karena banyak pohon dan
tanaman yang tumbuh di taman itu. Walaupun malam semakin larut bukan
berarti semua tak bisa terlihat oleh gelapnya malam. Apa gunanya bulan
jika tidak menerangi dunia ketika malam hari. Oleh sebab itu aku masih
bisa mengenali mana yang indah dan mana yang tidak. Walaupun hanya
dengan bantuan secercah sinar bulan yang menerangi taman itu. Taman itu
membiusku dengan keindahannya dari kegundahan yang membelitku. Tapi,
biusan itu tak bertahan lama.
Moboil sedan berhenti di depan pintu
masuk bangunan yang megah itu, aku tersadar dari biusan yang dari tadi
menguasai tubuhku. Ibu dan lelaki paruh baya itu keluar dari mobil
dengan tergesa-gesa sampai aku dilupakannya. Ketika aku keluar dari
mobil aku terkejut dengan apa yang kulihat.
Mengapa ibu kesini?
Tempat apa ini? Tempat ini serba putih, dinding putih, orang-orang yang
berseragam putih, bau yang menyengat hidung, aku tak suka dengan tempat
ini. Tapi, aku harus menemani ibu. Ibu sudah jauh berjalan tanpa
menghiraukan ku yang terpaku akan keanehan tempat ini. Dengan
perlahan-lahan aku melawan rasa takutku akan tempat ini dan akhirnya aku
bisa mengendalikannya. Aku berjalan dengan tergesa-gesa karena aku
sudah tertinggal jauh dari ibuku. Dari kejauhan terlihat ibuku dan
lelaki paruh baya itu memasuki sebuah ruangan. Sesampainya aku di ambang
pintu, aku melihat wajah ibu berubah sedih sangat sedih, air matanya
tumaph ruah di kedua pipinya. Ada apa ini? Mengapa ibu menangis?
Perlahan
kudekati ibu, ingin kupeluk tubuhnya agar ia lebih tenang, tapi tunggu
ada yang aneh di sini. Siapa yang terbujur kaku di atas pembaringan itu?
Mengapa ibu menciumi wajahnya? Dengan hati yang berdebar-debar akhirnya
aku memberanikan diri untuk mendekati tubuh itu. Ku pandangi tubuh itu
lekat-lekat. Seketika aku terkejut dengan apa yang ku lihat sendiri.
Kusentuh wajah yang pucat itu, wajahnya dingin dan agak lebam. Tapi aku
masih bisa mengenali wajah yang pucat itu, air mataku mulai meggenangi
plupuk mata, dalam hati aku tak percaya ini.
Ternyata sosok yang
membuat ibu menangis itu adalah ... AKU! Aku yang membuat ibu meneteskan
air mata, mengapa? Apa dosaku tuhan hingga kau tempatkan aku di posisi
ini? Apa ini yang disebut dengan perpisahan? Mengapa kematian harus
datang pada setiap orang? Apa karena ada kehidup hingga semua orang
pasti akan mati. Aku tahu kalau itu semua kehendak yang di atas, tapi
mengapa kematian menjemputku begitu cepat?
Aku ingat dengan nasihat
ibu, ibu selalu berkata padaku bahwa hidup adalah kenyataan dan mati pun
adalah kenyataan, walaupun kenyataan itu pahit itu tetap kenyataan.
Selama dunia masih berputar maka selama itupula pahit dan manis akan
saling bergantian.
Seketika kakiku lemas, aku tersungkur kelantai,
air mataku mengalir begitu derasnya, aku tak percaya akan semua ini. Ku
pandangi tubuh itu tubuh yang tak bernyawa lagi direbahkan di
pembaringan. Aku masih tak percaya. Aku bingung harus berkata apa dan
harus bagaimana kepada ibu. Aku tak dapat meninggalkan ibu, membiarkan
ibu hidup sendiri di dunia ini. Ibu... apa kau sanggup menjalani semua
ini, kau sebatangkara ibu. “ibu maafkan aku karena aku sudah tak dapat
menemanimu, aku tak dapat menjadi penopang hidupmu, tapi aku akan tetap
ada di hatimu ibu. Agar aku bisa merasakan seperti apa yang kau rasakan”
Ibu
Matahari takkan membuatmu mengernyitkan dahi
Burungpun tak akan mau bernyanyi bila kau mengeluarkan suara tangis
Begitu pula kupu-kupu ia tak ingin membuatmy termenung sendiri
Terlebih lagi aku yang tak pernah ada arti di hadapanmu
Tetap tak ingin membuatmu sendiri
Sendiri dalam lara, sendiri dalam tangis
Ibu
Kau tahu?
Segalanya yang tuhan ciptakan juga tak ingin melihatmu mengeluarkan air mata
Apalagi meneteskannya dari matamu yang indah
Walaupun itu hanya satu tetes
Itu sangat berarti ibu
Sangat berarti!
Ibu
Suatu saat aku akan berlari menghampirimu
Mendekapmu dengan cinta
Dan aku, aku jadi yang pertama
Untuk mengecup keningmu dan berbisik
TERIMAKASIH IBU KARENA KAU SUDAH MENJAGAKU....
AKU SAYANG IBU....
Sumber : http://fitrianahusnulkhotimah.blogspot.com/2010/03/cerpen-ibu.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar