Umi Farida Blog

Selamat datang di blog ku

Jumat, 07 November 2014

Cerpen : Ibu

Malam itu pertama kalinya aku melihat ibuku kesepian. Ia meringkuk di kursi rotan yang lusuh, tangannya mendekap tubuhnya yang renta. Malam kian larut, suara jangkrik dan kodok bersaut-sautan. Hawa dingin memenuhi kekosongan rumah ini. Tak terasa air mataku mengalir dengan derasnya bagai bendungan yang jebol karena tak kuat menahan beban yang kian lama kian berat. Aku ingin menggapai tubuhnya lalu kupeluk tubuh renta itu, namun itu semua hanya harapan kosong yang tak mungkin bisa kulakukan.
“Ibu maafkan aku…maafkan aku Ibu.” Aku berkata dalam hati.
Tuhan aku tak kuat meliahat kondisi ibuku, kulit mudanya berubah seiring waktu yang berjalan, tubuhnya kini tak seperti dulu yang masih kuat berjalan tanpa topangan apa pun, tapi kini berdiripun ia tak kuat apalagi harus melakukan segalanya sendiri. Ibu, aku ingin menggapai tanganmu lalu memapahmu, biarkan aku menjadi penopang hidupmu. Tapi, aku tak bisa melakukannya. Mengapa tuhan? Mengapa aku tak bisa menggapai Ibuku sendiri? Apa karena dosaku terlalu banyak hingga aku tak bisa mengurangi beban orang yang telah melahirkanku dan merawatku.
Aku ingin menjalani tugas seorang anak seperti anak lainnya. Tapi aku tak bisa, aku hanya bisa duduk di sampingnya sambil memandangi wajahnya yang lesu. Hatiku miris, melihat ibuku seperti ini.
“Tuhan apakah aku pantas dilahirkan di dunia ini?“ tanyaku dalam hati.
Aku tahu ibu, aku adalah buah cinta ibu dengan seorang pria yang ibu cintai sepenuh hati. Dan aku tahu ibu, aku adalah salah satu telur yang terpilih dari ribuan telur yang menempel di janinmu. Aku pun tahu ibu, aku adalah hasil dari ovummu yang dibuahi oleh sperma peria yang kau cintai. Tapi, aku ragu dengan semua itu. Apakah aku benar-benar anak yang kau damba-dambakan untuk lahir ke dunia ini, yang kau siapkan sebuah nama sebelum aku lahir, dan kau jaga dengan baik selama aku di dalam kandunganmu.
“Ibu, bu....ibu....ibuuuuuu!“
“Apa salahku tuhan? Apa? Mengapa suaraku tak didengar olehnya, mengapa tuhan? Mengapa? Apa yang terjadi? Ada apa dengan diriku dan ibuku? ”
Dengan hati yang bertanya-tanya aku berjalan menuju sebuah cermin yang bisa melihatku dari ujung rambut sampai ujung kaki, setelah aku berdiri tepat di depan cermin, aku memasang mataku seperti elang yang mencari mangsanya. Dengan ketajam mataku aku menyusuri tubuhku. Dan ketika ku tersadar, aku terperanjat, aku tak percaya ini.
“Mengapa? Dimana? Di mana sosok tubuh itu? Mengapa tak ada dicermin” sambil ku pandangi cermin tersebut dan kuraba-raba. Tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk dari balik pintu depan rumah. Orang itu menghancurkan kesunyian malam menjadi berkeping-keping. Ibu pun beranjak dari kursi rotan dengan perlahan, tangannya mencari-cari pegangan untuk menahan tubuhnya yang renta itu. Ia berjalan tertatih-tatih menuju pintu dengan sebatang tongkat yang terbuat dari kayu jati. Ketika pintu terkuak, ada sesosok lelaki paruh baya yang muncul dari balik pintu.
“Selamat malam, apa benar ini rumah sodara Anggun?” kata lelaki tersebut.
“i...iya, ini memang rumah Anggun, saya ibunya. Memang ada apa ya pak?” ibu menjawab dengan terbata-bata.
“Perkenalkan saya pak Andi, bisakah ibu ikut dengan saya?” tanya lelaki tersebut.
“Memang ada apa pak? Kita mau kemana?” ibu menghujami lelaki tersebut dengan berbagai pertanyan.
Lelaki tersebut berbisik ketelinga ibu sambil memapah ibu menju mobil sedan yang diparkir di halaman rumah. Aku tak bisa mendengar apa yang lelaki paruh baya itu bisikkan kepada ibu, hingga ibu percaya dan mengikuti lelaki tersebut. Aku hanya bisa memandang raut wajah ibu yang berubah.
Aku bingung dengan situasi ini, mengapa ibu percaya untuk ikut dengan lelaki paruh baya tersebut? Apa ibu tidak curiga dengan lelaki yang tak dikenalnya itu. Aku pun memutuskan untuk ikut menemani ibu.
Mobil sedan hitam itu, membelah gelapnya malam. Roda-roda berputar searah jarum jam, namun malam itu waktu seakan berhenti berputar, kebekuan menyelimuti mobil ini. Aku hampir mati dan tak bisa bernafas oleh kebekuan itu. Beberapa kali aku melihat ke arah ibu. Raut wajahnya yang tua terlihat begitu cemas dan panik. Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa ibu seperti itu, apa hubungan ibu dengan lelaki ini. Lelaki yang tak dikenal dan tiba-tiba datang kehadapanku dan ibuku sampai akhirnya merubah raut wajah ibuku. Tak terasa mobil sedan telah sampai ke tempat yang di tuju.
Mobil ini memasuki halaman yang menurutku begitu luas. Halaman itu terdapat taman yang begitu asri karena banyak pohon dan tanaman yang tumbuh di taman itu. Walaupun malam semakin larut bukan berarti semua tak bisa terlihat oleh gelapnya malam. Apa gunanya bulan jika tidak menerangi dunia ketika malam hari. Oleh sebab itu aku masih bisa mengenali mana yang indah dan mana yang tidak. Walaupun hanya dengan bantuan secercah sinar bulan yang menerangi taman itu. Taman itu membiusku dengan keindahannya dari kegundahan yang membelitku. Tapi, biusan itu tak bertahan lama.
Moboil sedan berhenti di depan pintu masuk bangunan yang megah itu, aku tersadar dari biusan yang dari tadi menguasai tubuhku. Ibu dan lelaki paruh baya itu keluar dari mobil dengan tergesa-gesa sampai aku dilupakannya. Ketika aku keluar dari mobil aku terkejut dengan apa yang kulihat.
Mengapa ibu kesini? Tempat apa ini? Tempat ini serba putih, dinding putih, orang-orang yang berseragam putih, bau yang menyengat hidung, aku tak suka dengan tempat ini. Tapi, aku harus menemani ibu. Ibu sudah jauh berjalan tanpa menghiraukan ku yang terpaku akan keanehan tempat ini. Dengan perlahan-lahan aku melawan rasa takutku akan tempat ini dan akhirnya aku bisa mengendalikannya. Aku berjalan dengan tergesa-gesa karena aku sudah tertinggal jauh dari ibuku. Dari kejauhan terlihat ibuku dan lelaki paruh baya itu memasuki sebuah ruangan. Sesampainya aku di ambang pintu, aku melihat wajah ibu berubah sedih sangat sedih, air matanya tumaph ruah di kedua pipinya. Ada apa ini? Mengapa ibu menangis?
Perlahan kudekati ibu, ingin kupeluk tubuhnya agar ia lebih tenang, tapi tunggu ada yang aneh di sini. Siapa yang terbujur kaku di atas pembaringan itu? Mengapa ibu menciumi wajahnya? Dengan hati yang berdebar-debar akhirnya aku memberanikan diri untuk mendekati tubuh itu. Ku pandangi tubuh itu lekat-lekat. Seketika aku terkejut dengan apa yang ku lihat sendiri. Kusentuh wajah yang pucat itu, wajahnya dingin dan agak lebam. Tapi aku masih bisa mengenali wajah yang pucat itu, air mataku mulai meggenangi plupuk mata, dalam hati aku tak percaya ini.
Ternyata sosok yang membuat ibu menangis itu adalah ... AKU! Aku yang membuat ibu meneteskan air mata, mengapa? Apa dosaku tuhan hingga kau tempatkan aku di posisi ini? Apa ini yang disebut dengan perpisahan? Mengapa kematian harus datang pada setiap orang? Apa karena ada kehidup hingga semua orang pasti akan mati. Aku tahu kalau itu semua kehendak yang di atas, tapi mengapa kematian menjemputku begitu cepat?
Aku ingat dengan nasihat ibu, ibu selalu berkata padaku bahwa hidup adalah kenyataan dan mati pun adalah kenyataan, walaupun kenyataan itu pahit itu tetap kenyataan. Selama dunia masih berputar maka selama itupula pahit dan manis akan saling bergantian.
Seketika kakiku lemas, aku tersungkur kelantai, air mataku mengalir begitu derasnya, aku tak percaya akan semua ini. Ku pandangi tubuh itu tubuh yang tak bernyawa lagi direbahkan di pembaringan. Aku masih tak percaya. Aku bingung harus berkata apa dan harus bagaimana kepada ibu. Aku tak dapat meninggalkan ibu, membiarkan ibu hidup sendiri di dunia ini. Ibu... apa kau sanggup menjalani semua ini, kau sebatangkara ibu. “ibu maafkan aku karena aku sudah tak dapat menemanimu, aku tak dapat menjadi penopang hidupmu, tapi aku akan tetap ada di hatimu ibu. Agar aku bisa merasakan seperti apa yang kau rasakan”
Ibu
Matahari takkan membuatmu mengernyitkan dahi
Burungpun tak akan mau bernyanyi bila kau mengeluarkan suara tangis
Begitu pula kupu-kupu ia tak ingin membuatmy termenung sendiri
Terlebih lagi aku yang tak pernah ada arti di hadapanmu
Tetap tak ingin membuatmu sendiri
Sendiri dalam lara, sendiri dalam tangis
Ibu
Kau tahu?
Segalanya yang tuhan ciptakan juga tak ingin melihatmu mengeluarkan air mata
Apalagi meneteskannya dari matamu yang indah
Walaupun itu hanya satu tetes
Itu sangat berarti ibu
Sangat berarti!
Ibu
Suatu saat aku akan berlari menghampirimu
Mendekapmu dengan cinta
Dan aku, aku jadi yang pertama
Untuk mengecup keningmu dan berbisik
TERIMAKASIH IBU KARENA KAU SUDAH MENJAGAKU....
AKU SAYANG IBU....

Sumber : http://fitrianahusnulkhotimah.blogspot.com/2010/03/cerpen-ibu.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar