Umi Farida Blog

Selamat datang di blog ku

Jumat, 07 November 2014

Cerpen : Bayangan Kematian

AKHIR-akhir ini hatiku dibuat gelisah dan gundah. Aku merasa bayangan kematian sedang mengintaiku. Membuntuti ke mana pun aku pergi. Aku tak tahu pasti, sejak kapan perasaan ini hadir. Mungkin sejak aku terhindar dari tabrakan maut yang hampir merenggut jiwaku beberapa waktu lalu.
Ceritanya, sore itu aku baru saja pulang dari berjualan bakso. Aku mendorong gerobak bakso menuju ke rumah. Ketika sampai di sebuah tikungan, tiba-tiba aku kebelet pipis. Aku meninggalkan gerobak bakso di pinggir jalan, menuju ke balik semak-semak dan menunaikan hajat. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh keras sekali mirip suara ledakan. Aku terkejut dan bergegas kembali. Kulihat gerobak bakso sudah terguling. Tak jauh dari gerobak bakso sebuah sepeda motor dan mobil pick up tampak berciuman mesra. Pengendara motor tewas seketika dan pengemudi pick up patah kakinya terjepit batang kemudi. Aku shock bukan main menyaksikan peristiwa mengerikan ini.
Entah, apa jadinya jika saat itu tidak terbit keinginan untuk pipis, mungkin aku sudah jadi korban. Posisi mobil pick up persis berada di tempat gerobak bakso berdiri. Rupanya saat bertabrakan dengan sepeda motor, pengemudi mobil pick up sempat membanting setir ke kiri dan menghantam gerobak baksoku. Kondisi gerobak bakso sudah tak bisa digambarkan lagi. Ringsek!
Aku jadi trauma dengan kejadian itu. Selama lima hari aku berhenti berjualan bakso. Aku masih terbayang-bayang oleh kejadian itu. Tapi hal ini tak berlangsung lama. Jika aku berhenti berjualan, bagaimana dengan istri dan anakku. Mau makan apa mereka? Aku tak memiliki ketrampilan selain berjualan bakso. Berdagang bakso sudah kulakoni sejak masih muda.
Tapi, kenangan buruk nyaris menjadi korban tabrakan maut membuat hatiku jadi was-was dan gelisah. Aku merasa diriku sedang diintai kematian. Bayangan kematian mengikuti ke mana pun aku pergi. Ia seperti sosok gaib yang tak terlihat wujudnya, tapi bisa dirasakan kehadirannya. Ia serupa udara yang berhembus menembus pori-pori kulit. Ia bagaikan lukisan wajah di atas air. Begitu jelas dan kentara, namun sulit diraba. Bayangannya akan hilang begitu kita menyentuhnya.
Aku tak berani menceritakan perasaanku ini pada orang lain, terlebih pada istriku, karena mereka pasti akan menganggapku naif. Aku bisa dikira gila. Yang namanya mati itu sudah pasti. Hanya kapan datangnya, itu yang tak bisa diprediksi. Sementara aku menganggap kematian itu begitu dekat. Sebegitu dekatnya sampai aku bisa merasakan kehadirannya. Dia seakan berdiri persis di belakangku, siap mencabut nyawaku di kala lengah.
Tuhan kadang memang suka bercanda. Nasib manusia bisa dirubah-Nya dalam waktu sekejap. Seseorang yang tadinya sudah berada di ujung tanduk, di pinggir jurang, bahkan di lambung kematian, tiba-tiba selamat tanpa suatu luka sedikit pun. Sebaliknya, di tengah tawa, canda ria, dan binar kebahagiaan, tiba-tiba serbuan musibah datang meluluhlantakkan dan menghancurkan semuanya. Maut bisa datang tanpa perlu mengetuk pintu apalagi membunyikan bel alarm.
Aku bukan cenayang, juga bukan peramal. Aku hanya seorang pedagang bakso yang buta pengetahuan. Aku menjalani hidup sebagaimana orang awam pada umumnya. Tak banyak yang kutahu tentang takdir. Yang kutahu bahwa orang harus bekerja agar bisa makan, orang harus berusaha untuk menggapai mimpinya. Tak ada yang namanya keajaiban, apalagi mukjizat. Mukjizat hanya milik Rasul. Maka, sungguh sulit bagiku mengharap mukjizat, jika maut benar-benar datang menjemputku!
Semenjak bayangan kematian menguntitku, sikap dan perilaku diriku pun mulai berubah. Aku yang biasanya tidak teliti dan ceroboh mulai menjalankan pola hidup teratur, cermat, dan disiplin. Sikap kewaspadaan kujadikan pedoman. Setiap kali akan melangkah atau menjalankan sesuatu aku perlu memperhitungkan dan mempersiapkan dengan matang. Tak terkecuali untuk urusan kecil seperti menyalakan kompor. Sebelum memasak bahan untuk membuat bakso aku perlu melihat dulu kondisi kompor. Apakah layak digunakan dan tidak bocor.
Begitu pun saat akan berangkat menjajakan bakso, aku memeriksa gerobak terlebih dahulu, terutama kedua rodanya. Apakah as-nya masih bagus atau perlu diberi pelicin. Jangan sampai ada yang aus atau kendur engselnya. Sementara untuk memastikan bahwa rute yang akan kutempuh dalam keadaan aman aku tak lupa mencatat jam-jam sibuk kendaraan, jadwal kereta api lewat di perlintasan, daerah rawan kejahatan, jalanan naik, jalanan turun, bahkan bila ada aksi demonstrasi. Aku tak mau mengambil resiko berada dalam kondisi dan situasi yang memungkinkan terjadi kecelakaan.
Selain pengamanan diri yang sifatnya teknis, aku juga membuat perlindungan yang sifatnya abstrak. Aku mulai rajin menjalankan ibadah. Ya. Aku yang biasanya tak pernah shalat kini jadi rutin shalat. Bukan hanya shalat fardlu, tapi juga sunnah. Aku rajin mengikuti pengajian di mushola yang dibimbing oleh seorang ustaz muda. Kupikir. Tuhan yang punya kuasa menentukan takdir manusia, maka sudah semestinya aku meminta perlindungan pada-Nya. Lebih dari itu, jika sampai ajal benar-benar menjemputku, alangkah ruginya bila aku tak bawa bekal apa-apa yang bisa menyelamatkanku dari api neraka.
Mungkin ini hikmah yang bisa kuambil dari perasaan diikuti bayangan kematian. Aku jadi lebih tertib dan disiplin. Lebih hati-hati dan waspada. Lebih sholeh dan tawaduk. Perubahan ini tentu saja membuat keluargaku senang, terutama istriku. Dia sampai memuji diriku. “Wah, sampeyan sekarang benar-benar jadi orang alim. Aku bangga punya suami seperti sampeyan. Kenapa tidak dari dulu sampeyan begini?”
Aku hanya tersenyum tipis. Sanjungan istriku membuatku jadi terharu. Ya, kenapa tidak dari dulu aku melakukan hal seperti ini? Andai bayangan kematian tidak mengintaiku, mungkinkah aku akan berubah?
Selama ini aku terbiasa melakukan perbuatan kotor dan nista. Aku suka menipu dan berbohong. Aku tak percaya bila kejujuran dan kesolehan bisa mendatangkan keuntungan. Karena kulihat banyak orang mendapat untung dari menipu dan korupsi. Berapa banyak pejabat yang bisa kaya hanya dengan mengandalkan gaji? Berapa banyak pedagang yang bisa kaya dengan mengandalkan kejujuran? Mereka bisa kaya karena menipu dan korupsi. Hal sama pernah kulakukan ketika menjual bakso dari daging tikus, babi, atau dicampur formalin. Keuntungannya lebih besar dari menggunakan daging sapi!
Aku juga terbiasa mengecap kesenangan duniawi yang berbau dosa. Berjudi, mabok, dan berzinah kuanggap sebagai kesenangan duniawi yang pantas dinikmati. Aku tak peduli bila hal itu melanggar norma susila dan moral agama. Karena kulihat banyak orang melakukannya. Apalagi dengan dasar pemikiran selagi muda memanfaatkan kesenangan sepuasnya nanti bila sudah tua baru bertobat. Kupikir, kematian lebih akrab dengan kaum jompo dan manula. Tapi kenyataannya, pengendara motor yang mati itu usianya masih sangat muda. Maut tak memandang umur dalam mengincar mangsa!
Hatiku bergidik bila mengingat hal itu. Hadirnya bayangan kematian yang menguntit ke mana pun aku pergi membuatku tak berani lagi main-main dan berspekulasi. Aku tak ingin berbuat dosa yang lebih banyak lagi. Karena aku sadar, malaikat maut sewaktu-waktu bisa datang menjemputku. Godaan dari teman-teman yang mencoba membujukku kembali ke jalan sesat kutampik keras.
“Ayolah, Dan. Jangan munafik begitu. Kita main dulu sebentar. Si Arman kan tidak ada. Ayo, kamu gantikan tempatnya biar genap,” ajak Sarju siang itu saat kami, para pedagang kaki lima yang biasa mangkal di emperan trotoar, sedang istirahat.
Seperti biasa, bila dagangan sudah habis atau sedang sepi pengunjung, para pedagang kecil ini menggelar judi kecil-kecilan di balik gerobak milik salah seorang pedagang. Kami menamakannya judi iseng.
Sebelum ini, aku tak pernah melewatkan waktu bercengkerama dengan teman-teman mengadu untung di arena judi. Selain sebagai hobi dan kesenangan, judi juga bisa mendatangkan keuntungan. Tak jarang aku menang, tapi tak jarang pula keuntungan berjualan bakso seharian ludes digulung teman. Tapi hal itu tak membuatku kapok. Bermain judi memang bikin orang keasyikan dan ketagihan. Mempertaruhkan uang untuk mendapatkan uang yang lebih besar dalam waktu singkat menjadi daya tarik utama.
Tapi sekarang, aku tak berani melakukannya lagi. Meski sifatnya hanya kecil-kecilan dan sekadar mengisi waktu senggang, tapi bagiku tetaplah dosa. Wajah kematian sudah mengintip di belakangku. Dengan nada halus aku menolak ajakan Sarju. “Tidak, Ju. Aku tidak mau main lagi.”
“Kenapa, Dan? Kamu takut sama istrimu ya?” celetuk Jumadi.
“Bukan.”
“Lalu…?”
“Aku takut mati!” Pengakuanku yang jujur ini malah bikin mereka tertawa. Dipikirnya aku sedang bercanda.
“Aku tahu, Dan. Kamu sekarang sudah jadi orang alim. Tapi jangan gitu-gitu amat, dong. Masak cuma main gaple saja bisa bikin mati. Lagian ini kan kecil-kecilan. Nanti habis main gaple, kamu pergi ke masjid. Sholat, biar dosa kecilnya bisa segera dihapus!” ujar Samsuri dengan entengnya.
Aku tersenyum kecut. Mereka pikir, dosa buat mainan. Tuhan dianggap sebagai karet penghapus. Bukankah dosa yang dilakukan dengan sengaja dan penuh kesadaran tidak bakal dapat ampunan?
Aku pandangi wajah temanku satu persatu. Kuyakinkan bahwa apa yang mereka ucapkan hanya sekadar bercanda. Karena ucapan mereka sangat melukai Tuhan. Jika Tuhan murka, siapa sanggup menahan? Apa pun bisa dilakukan Tuhan, tak terkecuali memberi kematian. Dan bicara tentang kematian, hatiku tiba-tiba jadi bergidik. Kulihat bayangan kematian hadir di belakang teman-temanku. Sungguh, aku tak percaya. Aku melihat bayangan sama seperti yang sering menguntitku di belakang Sarju, Samsuri, Jumadi, dan bahkan yang lainnya.
Tiba-tiba aku sadar, bayangan kematian ternyata tidak hanya mengintai dan mengikuti diriku, tapi juga siapa saja. Tapi yang kulihat pada diri Sarju, Jumadi, dan Samsuri sungguh amat mengerikan. Belum pernah aku melihat bayangan kematian seburuk itu. Sulit digambarkan dengan kata-kata. Bahkan jika ia menampakkan sosoknya dengan lebih jelas, mungkin aku bisa pingsan dibuatnya. Aku hanya bisa mengucap istighfar dan memalingkan muka. Badanku terasa gemetar hebat seperti diguncang gempa.
Tiba-tiba terdengar suara azan memanggilku dari masjid tak jauh dari tempat kami. Aku segera bergegas. Kutinggalkan teman-teman yang tak mau ikut. Sesampai di masjid, aku segera mengambil air wudhu dan memasuki rumah Allah. Kulihat beberapa orang berdiri tafakur dalam kekhusukan. Dan kulihat pula bersama mereka bayangan kematian. Namun bayangan kematian tak seburuk yang kulihat tadi. Bahkan kurasakan bayangan kematian tampak indah menawan. Seperti telaga kautsar membentangkan jalinan sutra nan lembut hingga orang yang jatuh ke dalamnya tak merasakan sakit. Aku tertegun dan menangis haru!
Usai shalat berjamaah aku bergegas kembali ke tempatku. Tapi kulihat banyak orang berkerumun. Sebuah truk tronton terlihat nyungsep ke emperan trotoar. Tapi yang membuatku terhenyak dan pucat, moncong truk mencium ketiga orang temanku: Sarju, Samsuri, dan Jumadi. Entah, bagaimana kejadiannya? Bagaimana sebuah truk tronton besar tiba-tiba bisa salah jalan dan menabrak deretan gerobak pedagang kaki lima. Menewaskan tiga orang temanku yang sedang asyik bercengkerama menggelar permainan setan. Tapi bagiku semuanya sudah jelas. Kematian tak bisa ditawar dan diajak bercanda! (*)

Sumber : http://osine85.wordpress.com/2010/01/18/bayangan-kematian/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar