AKHIR-akhir ini hatiku dibuat gelisah dan gundah. Aku merasa bayangan
kematian sedang mengintaiku. Membuntuti ke mana pun aku pergi. Aku tak
tahu pasti, sejak kapan perasaan ini hadir. Mungkin sejak aku terhindar
dari tabrakan maut yang hampir merenggut jiwaku beberapa waktu lalu.
Ceritanya, sore itu aku baru saja pulang dari berjualan bakso. Aku
mendorong gerobak bakso menuju ke rumah. Ketika sampai di sebuah
tikungan, tiba-tiba aku kebelet pipis. Aku meninggalkan gerobak bakso di
pinggir jalan, menuju ke balik semak-semak dan menunaikan hajat.
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh keras sekali mirip suara ledakan. Aku
terkejut dan bergegas kembali. Kulihat gerobak bakso sudah terguling.
Tak jauh dari gerobak bakso sebuah sepeda motor dan mobil pick up tampak
berciuman mesra. Pengendara motor tewas seketika dan pengemudi pick up
patah kakinya terjepit batang kemudi. Aku shock bukan main menyaksikan
peristiwa mengerikan ini.
Entah, apa jadinya jika saat itu tidak terbit keinginan untuk pipis,
mungkin aku sudah jadi korban. Posisi mobil pick up persis berada di
tempat gerobak bakso berdiri. Rupanya saat bertabrakan dengan sepeda
motor, pengemudi mobil pick up sempat membanting setir ke kiri dan
menghantam gerobak baksoku. Kondisi gerobak bakso sudah tak bisa
digambarkan lagi. Ringsek!
Aku jadi trauma dengan kejadian itu. Selama lima hari aku berhenti
berjualan bakso. Aku masih terbayang-bayang oleh kejadian itu. Tapi hal
ini tak berlangsung lama. Jika aku berhenti berjualan, bagaimana dengan
istri dan anakku. Mau makan apa mereka? Aku tak memiliki ketrampilan
selain berjualan bakso. Berdagang bakso sudah kulakoni sejak masih muda.
Tapi, kenangan buruk nyaris menjadi korban tabrakan maut membuat
hatiku jadi was-was dan gelisah. Aku merasa diriku sedang diintai
kematian. Bayangan kematian mengikuti ke mana pun aku pergi. Ia seperti
sosok gaib yang tak terlihat wujudnya, tapi bisa dirasakan kehadirannya.
Ia serupa udara yang berhembus menembus pori-pori kulit. Ia bagaikan
lukisan wajah di atas air. Begitu jelas dan kentara, namun sulit diraba.
Bayangannya akan hilang begitu kita menyentuhnya.
Aku tak berani menceritakan perasaanku ini pada orang lain, terlebih
pada istriku, karena mereka pasti akan menganggapku naif. Aku bisa
dikira gila. Yang namanya mati itu sudah pasti. Hanya kapan datangnya,
itu yang tak bisa diprediksi. Sementara aku menganggap kematian itu
begitu dekat. Sebegitu dekatnya sampai aku bisa merasakan kehadirannya.
Dia seakan berdiri persis di belakangku, siap mencabut nyawaku di kala
lengah.
Tuhan kadang memang suka bercanda. Nasib manusia bisa dirubah-Nya
dalam waktu sekejap. Seseorang yang tadinya sudah berada di ujung
tanduk, di pinggir jurang, bahkan di lambung kematian, tiba-tiba selamat
tanpa suatu luka sedikit pun. Sebaliknya, di tengah tawa, canda ria,
dan binar kebahagiaan, tiba-tiba serbuan musibah datang meluluhlantakkan
dan menghancurkan semuanya. Maut bisa datang tanpa perlu mengetuk pintu
apalagi membunyikan bel alarm.
Aku bukan cenayang, juga bukan peramal. Aku hanya seorang pedagang
bakso yang buta pengetahuan. Aku menjalani hidup sebagaimana orang awam
pada umumnya. Tak banyak yang kutahu tentang takdir. Yang kutahu bahwa
orang harus bekerja agar bisa makan, orang harus berusaha untuk
menggapai mimpinya. Tak ada yang namanya keajaiban, apalagi mukjizat.
Mukjizat hanya milik Rasul. Maka, sungguh sulit bagiku mengharap
mukjizat, jika maut benar-benar datang menjemputku!
Semenjak bayangan kematian menguntitku, sikap dan perilaku diriku pun
mulai berubah. Aku yang biasanya tidak teliti dan ceroboh mulai
menjalankan pola hidup teratur, cermat, dan disiplin. Sikap kewaspadaan
kujadikan pedoman. Setiap kali akan melangkah atau menjalankan sesuatu
aku perlu memperhitungkan dan mempersiapkan dengan matang. Tak
terkecuali untuk urusan kecil seperti menyalakan kompor. Sebelum memasak
bahan untuk membuat bakso aku perlu melihat dulu kondisi kompor. Apakah
layak digunakan dan tidak bocor.
Begitu pun saat akan berangkat menjajakan bakso, aku memeriksa
gerobak terlebih dahulu, terutama kedua rodanya. Apakah as-nya masih
bagus atau perlu diberi pelicin. Jangan sampai ada yang aus atau kendur
engselnya. Sementara untuk memastikan bahwa rute yang akan kutempuh
dalam keadaan aman aku tak lupa mencatat jam-jam sibuk kendaraan, jadwal
kereta api lewat di perlintasan, daerah rawan kejahatan, jalanan naik,
jalanan turun, bahkan bila ada aksi demonstrasi. Aku tak mau mengambil
resiko berada dalam kondisi dan situasi yang memungkinkan terjadi
kecelakaan.
Selain pengamanan diri yang sifatnya teknis, aku juga membuat
perlindungan yang sifatnya abstrak. Aku mulai rajin menjalankan ibadah.
Ya. Aku yang biasanya tak pernah shalat kini jadi rutin shalat. Bukan
hanya shalat fardlu, tapi juga sunnah. Aku rajin mengikuti pengajian di
mushola yang dibimbing oleh seorang ustaz muda. Kupikir. Tuhan yang
punya kuasa menentukan takdir manusia, maka sudah semestinya aku meminta
perlindungan pada-Nya. Lebih dari itu, jika sampai ajal benar-benar
menjemputku, alangkah ruginya bila aku tak bawa bekal apa-apa yang bisa
menyelamatkanku dari api neraka.
Mungkin ini hikmah yang bisa kuambil dari perasaan diikuti bayangan
kematian. Aku jadi lebih tertib dan disiplin. Lebih hati-hati dan
waspada. Lebih sholeh dan tawaduk. Perubahan ini tentu saja membuat
keluargaku senang, terutama istriku. Dia sampai memuji diriku. “Wah,
sampeyan sekarang benar-benar jadi orang alim. Aku bangga punya suami
seperti sampeyan. Kenapa tidak dari dulu sampeyan begini?”
Aku hanya tersenyum tipis. Sanjungan istriku membuatku jadi terharu.
Ya, kenapa tidak dari dulu aku melakukan hal seperti ini? Andai bayangan
kematian tidak mengintaiku, mungkinkah aku akan berubah?
Selama ini aku terbiasa melakukan perbuatan kotor dan nista. Aku suka
menipu dan berbohong. Aku tak percaya bila kejujuran dan kesolehan bisa
mendatangkan keuntungan. Karena kulihat banyak orang mendapat untung
dari menipu dan korupsi. Berapa banyak pejabat yang bisa kaya hanya
dengan mengandalkan gaji? Berapa banyak pedagang yang bisa kaya dengan
mengandalkan kejujuran? Mereka bisa kaya karena menipu dan korupsi. Hal
sama pernah kulakukan ketika menjual bakso dari daging tikus, babi, atau
dicampur formalin. Keuntungannya lebih besar dari menggunakan daging
sapi!
Aku juga terbiasa mengecap kesenangan duniawi yang berbau dosa.
Berjudi, mabok, dan berzinah kuanggap sebagai kesenangan duniawi yang
pantas dinikmati. Aku tak peduli bila hal itu melanggar norma susila dan
moral agama. Karena kulihat banyak orang melakukannya. Apalagi dengan
dasar pemikiran selagi muda memanfaatkan kesenangan sepuasnya nanti bila
sudah tua baru bertobat. Kupikir, kematian lebih akrab dengan kaum
jompo dan manula. Tapi kenyataannya, pengendara motor yang mati itu
usianya masih sangat muda. Maut tak memandang umur dalam mengincar
mangsa!
Hatiku bergidik bila mengingat hal itu. Hadirnya bayangan kematian
yang menguntit ke mana pun aku pergi membuatku tak berani lagi main-main
dan berspekulasi. Aku tak ingin berbuat dosa yang lebih banyak lagi.
Karena aku sadar, malaikat maut sewaktu-waktu bisa datang menjemputku.
Godaan dari teman-teman yang mencoba membujukku kembali ke jalan sesat
kutampik keras.
“Ayolah, Dan. Jangan munafik begitu. Kita main dulu sebentar. Si
Arman kan tidak ada. Ayo, kamu gantikan tempatnya biar genap,” ajak
Sarju siang itu saat kami, para pedagang kaki lima yang biasa mangkal di
emperan trotoar, sedang istirahat.
Seperti biasa, bila dagangan sudah habis atau sedang sepi pengunjung,
para pedagang kecil ini menggelar judi kecil-kecilan di balik gerobak
milik salah seorang pedagang. Kami menamakannya judi iseng.
Sebelum ini, aku tak pernah melewatkan waktu bercengkerama dengan
teman-teman mengadu untung di arena judi. Selain sebagai hobi dan
kesenangan, judi juga bisa mendatangkan keuntungan. Tak jarang aku
menang, tapi tak jarang pula keuntungan berjualan bakso seharian ludes
digulung teman. Tapi hal itu tak membuatku kapok. Bermain judi memang
bikin orang keasyikan dan ketagihan. Mempertaruhkan uang untuk
mendapatkan uang yang lebih besar dalam waktu singkat menjadi daya tarik
utama.
Tapi sekarang, aku tak berani melakukannya lagi. Meski sifatnya hanya
kecil-kecilan dan sekadar mengisi waktu senggang, tapi bagiku tetaplah
dosa. Wajah kematian sudah mengintip di belakangku. Dengan nada halus
aku menolak ajakan Sarju. “Tidak, Ju. Aku tidak mau main lagi.”
“Kenapa, Dan? Kamu takut sama istrimu ya?” celetuk Jumadi.
“Bukan.”
“Lalu…?”
“Aku takut mati!” Pengakuanku yang jujur ini malah bikin mereka tertawa. Dipikirnya aku sedang bercanda.
“Aku tahu, Dan. Kamu sekarang sudah jadi orang alim. Tapi jangan
gitu-gitu amat, dong. Masak cuma main gaple saja bisa bikin mati. Lagian
ini kan kecil-kecilan. Nanti habis main gaple, kamu pergi ke masjid.
Sholat, biar dosa kecilnya bisa segera dihapus!” ujar Samsuri dengan
entengnya.
Aku tersenyum kecut. Mereka pikir, dosa buat mainan. Tuhan dianggap
sebagai karet penghapus. Bukankah dosa yang dilakukan dengan sengaja dan
penuh kesadaran tidak bakal dapat ampunan?
Aku pandangi wajah temanku satu persatu. Kuyakinkan bahwa apa yang
mereka ucapkan hanya sekadar bercanda. Karena ucapan mereka sangat
melukai Tuhan. Jika Tuhan murka, siapa sanggup menahan? Apa pun bisa
dilakukan Tuhan, tak terkecuali memberi kematian. Dan bicara tentang
kematian, hatiku tiba-tiba jadi bergidik. Kulihat bayangan kematian
hadir di belakang teman-temanku. Sungguh, aku tak percaya. Aku melihat
bayangan sama seperti yang sering menguntitku di belakang Sarju,
Samsuri, Jumadi, dan bahkan yang lainnya.
Tiba-tiba aku sadar, bayangan kematian ternyata tidak hanya mengintai
dan mengikuti diriku, tapi juga siapa saja. Tapi yang kulihat pada diri
Sarju, Jumadi, dan Samsuri sungguh amat mengerikan. Belum pernah aku
melihat bayangan kematian seburuk itu. Sulit digambarkan dengan
kata-kata. Bahkan jika ia menampakkan sosoknya dengan lebih jelas,
mungkin aku bisa pingsan dibuatnya. Aku hanya bisa mengucap istighfar
dan memalingkan muka. Badanku terasa gemetar hebat seperti diguncang
gempa.
Tiba-tiba terdengar suara azan memanggilku dari masjid tak jauh dari
tempat kami. Aku segera bergegas. Kutinggalkan teman-teman yang tak mau
ikut. Sesampai di masjid, aku segera mengambil air wudhu dan memasuki
rumah Allah. Kulihat beberapa orang berdiri tafakur dalam kekhusukan.
Dan kulihat pula bersama mereka bayangan kematian. Namun bayangan
kematian tak seburuk yang kulihat tadi. Bahkan kurasakan bayangan
kematian tampak indah menawan. Seperti telaga kautsar membentangkan
jalinan sutra nan lembut hingga orang yang jatuh ke dalamnya tak
merasakan sakit. Aku tertegun dan menangis haru!
Usai shalat berjamaah aku bergegas kembali ke tempatku. Tapi kulihat
banyak orang berkerumun. Sebuah truk tronton terlihat nyungsep ke
emperan trotoar. Tapi yang membuatku terhenyak dan pucat, moncong truk
mencium ketiga orang temanku: Sarju, Samsuri, dan Jumadi. Entah,
bagaimana kejadiannya? Bagaimana sebuah truk tronton besar tiba-tiba
bisa salah jalan dan menabrak deretan gerobak pedagang kaki lima.
Menewaskan tiga orang temanku yang sedang asyik bercengkerama menggelar
permainan setan. Tapi bagiku semuanya sudah jelas. Kematian tak bisa
ditawar dan diajak bercanda! (*)
Sumber : http://osine85.wordpress.com/2010/01/18/bayangan-kematian/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar