Mbak Rumi akan pulang. Suasana rumah yang biasa senyap, tiba-tiba tersibak suaranya hingga ke lawang-pintu tetangga. Ya, semua yang berpendengaran mengetahui berita Mbak Rumi akan pulang. Entah terbawa angin dari laut, terbawa pasir yang berada di tepi pantai ini, atau lambaian nyiur di sepanjang kampung. Mereka tak pernah bosan meliuk.
Sambil belanja pagi itu, Ibu mengedarkan cerita singkatnya semalam, lewat telepon, mbak Rumi terisak-isak menginginkan kembali. Tapi kisah isakan ini tentu tidak diceritakan ibu. Tidak. Isakan sebagai penutup penyesalan yang tak terungkap. Isakan yang telah menembus hati putih ibu dengan perkataan dan lajak liar anak sulungnya, mbak Rumi. Isakan yang terlambat.
"Rara, mbakmu akan pulang, Nak," gusar ibu menutup telepon kabel dengan nada tak percaya. Senyumnya kembali setelah beberapa lama tersimpan dalam lesungnya yang pipih. Senyum yang membuat hatiku cemburu. Aku menanggapi dengan gusar pula, tapi dengan kegusaran yang terjepit kesal. Bagai lawa-lawa tersibak uap panas dari perapian yang membara. Tak tentu arah.
"Rara, kamu tidak senang Mbakmu pulang?" todong ibu menyapu wajahku.
Senang? Dengan kembalinya seseorang yang membuatku terganjal? Hingga selama usia tak akan pernah mengenyam tingkat hidup kualifikasi tinggi?! Setelah kesedihan itu, dia ingat juga untuk pulang? Kutatap ibu, sementara keluhku mencari jawaban yang pantas, agar kumpulan aksara dendamku dengan kepedihan melihat ibu gembira, tidak telontar. Merambat panjang bagai gelombang transversal kosakataku mencari celah.
"Apa.Mbak Rumi pulang, Bu? Kapan?" akhirnya jawabku menampik curiga ibu.
"Minggu ini Ra. Alhamdulillah, akhirnya kakakmu kembali. Kita harus menyambutnya, Ra.Rara, dengan kembalinya dia nanti, ibu harap hubungan kalian dapat hangat kembali," itu selalu yang didengungkan padaku jika kami berbicara tentang Rumi. Kakak perempuanku itu.
Kiranya selama ini aku menganggap biasa saja wacana kepergiannya. Ternyata setelah beberapa tahun, menjadi topik hangat pembicaraan di rumah, baik saudara, sepupu, maupun bibi sayur. Segala persiapan dilakukan ibu. Mulai dari kamar depan, diperlukan ibu untuk membenahnya, mengganti sprai dan horden dengan warna kesukaan Rumi. Untung saja dipan dan lemari -karena masih baru mungkin, tidak berganti rupa. Lalu lanjut ke halaman belakang, di balai-balai, di mana tempat Rumi senang mengokang kaki sambil menikmati rujak buatan ibu. Ibu pun mulai rajin menyibak kalender. Selalu menegurku bila lupa mengerjakan pekerjaan rumah, dan rutin berbelanja.
Angin pantai Rebo yang kering, sepertinya senang mengusik ibu. Kerap mereka membawa butiran pasir ke balai-balai dan rumah yang sedari pagi telah kami bersihkan. "Rara, sapu ruangan ini, ya," pinta ibu yang ketiga kali. Di hari Minggu, biasanya hariku beristirahat, akhirnya kugunakan juga untuk menemani ibu berbenah. Kurasa, sibuk sekali ibu.
Saat aku pulang pada setengah jam malam, kulihat masih ibu mengerjakan ini itu. Sementara badanku benar-benar letih hari ini. Pekerjaan kuli, sebagai buruh harian di sebuah toko kelontong milik ako Afong, telah kujalani dua tahun. Ya. Semenjak kejadian itu, impian yang telah kupatri tinggi, menjadi patah. Tak sempat lagi aku membayangkan sesuatu yang indah, hayalan tentang keberhasilan dalam berkarier harus selesai, berganti dengan bongkahan karungan gula atau kardus-kardus minuman yang harus kuangkut.
Aku tidak tertawa karena melihat guru besar mengangguk senang dengan kajianku, tapi aku harus tertawa dalam melayani para pembeli. Aku juga tidak berpikir guna menganalisis masalah yang datang dari buku-buku tebal, aku justru harus mangatasi masalah bila buku tebal Ako Afong tak berisi.
Tak pernah menjadi seorang yang diperhitungkan, meraih gelar, dan menjadi kebanggaan. Semua harus pupus. Tanpa banyak hambatan, tanpa banyak ujian, semua simpananku dan tabungan ibu habis tak bersisa untuk menutupi keegoisan Rumi.
Wajahku memang tidak seelok dia. Mungkin, jika harus diperhitungkan dalam masalah ini, wajah adalah hal yang kesekian jika dikalkulasikan dengan segala sifat dan lakunya. Kemolekan parasnya menjadi tak sebanding. Bagai buah yang busuk. Aku tidak mengatakan ini sebagai rasa kecewaku terhadap ciptaan Tuhan, bukan, hanya saja aku sangat menyayangkan, saudaraku sendiri memperlakukan dirinya tak layak. Mengizinkan orang lain membodohi dirinya. Tapi mungkin benar, setiap orang menjadi cantik bila punya semangat, bakat, dan harga diri. Karena kecantikan adalah kepribadian, dan kita harus memberikan dan menjaga yang terbaik untuk itu. Dan itulah yang tidak dimiliki Rumi, kepribadian.
Tak kurasa ibu telah berdiri di pintu kamar. Ia tak menyunggingkan senyuman seperti dulu. Senyuman yang dulu selalu dihantarkannya bila aku pulang bekerja. Dari bibirnya yang hampir kelu itu, pernah dulu tersebut bahwa aku adalah penyelamat hidup keluarga ini. Dua adikku yang sekarang bersekolah di SMA walau sekarang mengungsi ke rumah saudara, adalah berkat usahaku. Aku dianggap ibu sebagai tulang punggung keluarga. Sebagai anak, tentulah aku sangat mengerti kesedihan ibu. Tapi kini, kegusaran hati menimpaku. Merasa tersingkir, aku tak tahu harus bagaimana lagi menunjukkan baktiku padanya.
"Ra, pesanan ibu untuk bahan-bahan membuat kue, sudah kau bawa?"
Aku terkejut. "Aa..., iya," dan aku benar-benar lupa dengan titipan itu. Begitu banyak pembeli tadi, jadi aku sama sekali tidak mengingatnya.
"Nah. Kamu pasti lupa kan?! Apa sebegitunya kamu, tidak menyukai kepulangan kakakmu, hingga apa yang ibu suruh, juga kau tak ingat, Ra?" nada ibu mendelik.
"Ibu, maaf, benar-benar Rara lupa, banyak pekerjaan tadi, Bu," aku terduduk di ranjangku. Kepenatan tubuh ini terasa semakin menjadi.
"Kamu cukup katakan saja jika tidak mau Ra, tidak perlu berlagak begitu.," ibu nampak kecewa.
"Ibu, bukan.," kataku terpotong, ibu telah membalikkan tubuhnya. Aku terdiam. Kami tak pernah saling membesarkan volume suara. Dan aku yakin berbagai macam tuduhan telah melekat di pikirannya tentangku. Ibu, mengapa langit menjadi kelabu kini?
Telah dua hari ini aku didiamkan. Entah apa yang merasuki, aku pun tak mau memulai. Aku takut dengan lontaran kata-kata ibu yang akan menambah remuk hatiku. Segala sesuatu berjalan dengan dingin, tapi ibu tetap ceria bila bercerita dengan para tetangga, sedikit-sedikit tersungging rasa bahagianya. Hingga terserak pada tumpukan baju-baju Rumi yang akan dicuci.
"Bu, biarlah pakaian itu," cegahku akhirnya, sewaktu melihat ibu hendak meraup tumpukan itu ke tempat pencucian. Maksudku, biarlah aku yang akan mencucinya sepulang kerja.
Tapi, ibu menatapku. Mencari kata seolah aku adalah orang asing.
"Rara, ibu tahu, selama ini engkau memang telah menjadi tumpuan hidup ibu. Terima kasihlah ibu telah memilikimu dengan segala kebaikan. Tapi kali ini biarlah ibu meminta padamu untuk lebih menghargai ibumu ini, ibu ingin anak ibu kembali. Biarlah ibumu ini mencuci pakaian saudara kandung yang kau benci itu, tak perlu kau melarang. Bila tak ingin lagi engkau terbebani dengan kedatangannya kelak, biarlah ibu yang akan menanggung.ibu akan bekerja pula, sekarang pergilah engkau bekerja," dengan tenangnya orang tua yang telah tiga perempat abad itu berkata. Orang tua yang aku kasihi.
Bagai terlempar ribuan ngengat, dadaku terasa ramai. Hatiku tercabik-cabik, jantungku seakan terhempas keluar menindih kedua kaki. Kata-kata ibu begitu dalam, hingga tak berujung menembus jantung. Air mataku membendung, bibirku bergetar, kepalaku terasa dihujam dari belakang. Sangat menyesakkan. Aku tak kuat.
Sambil terhuyung, yang kulakukan adalah berlari sejauh mungkin, hingga limbung pada hamparan pasir pantai. Debur ombaknya keras menampar. Suara tangisanku beradu. Tapi kali ini, aku tidak hanya bercerita untuk menguapkan rasa. Pada hamparan putih ini, benar-benar, air mataku tumpah.
Kuharap butiran pasir dapat membawa rasaku ke hadapan ibu.
Sumber : http://belitung.tribunnews.com/2014/04/20/cerpen-ibu-dengarlah-pasir-berbisik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar