Umi Farida Blog

Selamat datang di blog ku

Jumat, 07 November 2014

Cerpen : Menjemput Kematian

Sudah berpuluh hari aku terkapar di tempat sunyi ini. Di rumah asing bertembok tebal, putih, aroma obat-obatan menebar dimana-mana. Segala desah dan jerit rintih terdengar di seberang tembok-tembok ruangan. Perlahan-lahan derap langkah kematian mendekati setiap penghuni ruangan di bangunan ini. Mengintip dan merekahkan senyum yang sedikit menakutkan. Sudah sekian tahun panyakit mendera ragaku satu persatu, mengambil sedikit demi sedikit kebugaran yang ku punya. Biarlah. Tapi bosan melandaku. Dulu tubuhku tak pernah rapuh. Namun, sekian zaman karena ditarik umur, segala yang tersimpan , tenaga, telah tersita. Tersita oleh tangan Tuhan. Sedemikian segala sakit kian menyiksa. Hingga pada akhirnya ku tawarkan raga pada siapa mereka yang mengintip mendekati raga-raga yang berputus asa ini.
Tarik nafasku dari bumi.
Sakit ini terlalu pedih
Biarlah aku mati
Biar tak lagi, dunia membodohi
Mungkin aku akan tentram
Di balik lenganmu aku bersemayam
Tak perlu kau kuatkan
Hamba yang semakin bungkam
Ahh,, Tuhan dan Tuhan!
Putuskan nadiku
Letih menggangguku
Biar ku menghilang bersama ruhku
Jeritan hatiku mengeras tak tertahan dan tak bersuara. Menggumam tak ada harapan. Seketika aku langsung terlempar di tempat pengasingan. Perlahan ku buka mataku, perlahan dan perlahan. Teramati, segala tempat sunyi yang ku kenali pasti. Yahh.. batinku berteriak.
Inilah kematian. Aku berbahagia. Padang pasir, sunyi, dan putih. Sepercik udara tak lagi kurasakan. Kumencari dan mencari. Kediaman Tuhanku. Mengabulkan segala pekikku. Yah.. aku berbahagia
Sekali lagi kupandangi setiap keliling yang tak bersudut, mencari lagi dimana letak eden yang abadi. Sekian lama tak ada yang kudapati. Hanya pasir putih tak berdebu, tak berangin, tak berair, tak berudara. Tapi aku ada didalamnya. Benarkah ini kematian? Benarkah ini aku? . Tapi mana Izroil? Mana Ridwan dan Malik? Tak ada pintu disini. Pintu surga atau neraka yang ku lalui?. Mulai aku terkulai dalam kekalutan, tak bisa terbendung lagi kesedihan. Menyesakkan. Tuhan berkhianat. Mematahkan semangatku menjemput kematian. Jauh sudah kucari sudut ruang ini. Tak ada awan tak ada burung terbang, air, api ataupun bintang. Aku haus, kering dan lusuh. Keringat mengucur di sekujur tubuh. Lunglai aku di tempat itu, ku tertidur lelap,tanpa tikar yang mengalasiku. Sesaat ada tangan dingin mengusap keningku, aku tersentak, mimpikah aku?
“nak, bangun!” Seorang kakek tua membangunkanku. Aku terbangun.
“minumlah ini!” Segelas air putih langsung disodorkan ke mulutku, seakan kakek itu tahu aku sedang letih disini.
“ Ini bukan tempatmu, pulanglah, cepat, pulanglah” Belum sepat aku bertanya siapa dia ucapan kakek tua mengagetkanku, suaranya terdengar keras, seruannya menderu-deru.
“tidak, ini tempatku, aku ingin menjemput kematian di sini. Tuhan yang mengirimku ke sini. Apa kau Tuhanku itu? Atau Izroil, malaikat Tuhanku?” bantahku tak ingin meninggalkan gerbang kematian sembari memastikan di mana keberadaan Tuhanku.
“aku bukan Tuhanmu. Sudah jangan banyak bicara. Pulang!!”, kali ini nada seruan kakek itu memang benar-benar mengusir, aku masih tak berdaya. Di lubuk hati masih ingin bersembunyi,mencari di mana Tuhan ini. Akhirnya kuputuskan untuk kalah.
“baiklah, aku pergi. Keluarkan aku dari sini, akan ku jemput kematian di dimensi yang lain.”Sahutku.
“larilah sekencang mungkin ke arah sana, jangan pernah menoleh ke belakang, lari dan terus larilah sekuatmu dan jangan berhenti!”. Jawab kakek tanpa menanggapi apa yang terlontar dari mulutku.
Seketika itu aku langsung berlari dan berlari. Tak juga ku temui sudut pasir ini sejauh pelarianku. Aku tak ingin berhenti dan terus berlari. Tenagaku habis sudah. Aku lemas dan pingsan bersimbah keringat di sekujur tubuh.lelah. Sesaat hampir saja ku tersadar, tapi belum bisa membuka mata. Kudengar alunan ayat-ayat al Quran sedang dibacakan. Sayup-sayup kudengar ingin kumemastikan apa yang kualami. Perlahan kubuka mata. Aku masih di tempat sunyi , di dimensi lain, lain dari tempat yang tadi, tempat aku berlari, meninggalkan kakek tua yang kutak tahu siapa namanya, aku bisa melihat ruang berhias dinding-dinding putih. Bukan di pasir putih. Sepi. Hanya suara lantunan ayat Tuhan yang menyeringai di bilik lubang telinga. Pelantun  ayat Tuhan mendapatiku terbuka mata,mendekatiku dan aku tersadar. Ia pun menangis pelan tanpa air mata.
“Allah masih menginginkanmu menjadi salah satu penggenggam dunia.” Ucapnya pelan tapi pasti. Dia merunduk. Sepertinya juga bersyukur. Mendapatiku di sini.
Aku masih disini. Tersadar. Ku tatap pilar-pilar yang merenda langit hingga menjadi seni angkasa. Aku termenung sejenak. Masih jauh jalan yang akan ku tempuh. Aku belum bisa menjemput kematian. Karena takdirku bukan mati hari ini. Aku bersyukur. Berkesempatan meraih cinta Illahi.

Sumber : http://ilmipenulis.wordpress.com/2011/10/29/menjemput-kematian/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar