Sudah berpuluh hari aku terkapar di tempat sunyi ini. Di rumah asing
bertembok tebal, putih, aroma obat-obatan menebar dimana-mana. Segala
desah dan jerit rintih terdengar di seberang tembok-tembok ruangan.
Perlahan-lahan derap langkah kematian mendekati setiap penghuni ruangan
di bangunan ini. Mengintip dan merekahkan senyum yang sedikit
menakutkan. Sudah sekian tahun panyakit mendera ragaku satu persatu,
mengambil sedikit demi sedikit kebugaran yang ku punya. Biarlah. Tapi
bosan melandaku. Dulu tubuhku tak pernah
rapuh. Namun, sekian zaman karena ditarik umur, segala yang tersimpan ,
tenaga, telah tersita. Tersita oleh tangan Tuhan. Sedemikian segala
sakit kian menyiksa. Hingga pada akhirnya ku tawarkan raga pada siapa
mereka yang mengintip mendekati raga-raga yang berputus asa ini.
Tarik nafasku dari bumi.
Sakit ini terlalu pedih
Biarlah aku mati
Biar tak lagi, dunia membodohi
Mungkin aku akan tentram
Di balik lenganmu aku bersemayam
Tak perlu kau kuatkan
Hamba yang semakin bungkam
Ahh,, Tuhan dan Tuhan!
Putuskan nadiku
Letih menggangguku
Biar ku menghilang bersama ruhku
Jeritan hatiku mengeras tak tertahan dan tak bersuara. Menggumam tak
ada harapan. Seketika aku langsung terlempar di tempat pengasingan.
Perlahan ku buka mataku, perlahan dan perlahan. Teramati, segala tempat
sunyi yang ku kenali pasti. Yahh.. batinku berteriak.
Inilah kematian. Aku berbahagia. Padang pasir, sunyi, dan putih. Sepercik udara tak lagi kurasakan. Kumencari dan mencari. Kediaman Tuhanku. Mengabulkan segala pekikku. Yah.. aku berbahagia
Sekali lagi kupandangi setiap keliling yang tak bersudut, mencari
lagi dimana letak eden yang abadi. Sekian lama tak ada yang kudapati.
Hanya pasir putih tak berdebu, tak berangin, tak berair, tak berudara.
Tapi aku ada didalamnya. Benarkah ini kematian? Benarkah ini aku? . Tapi
mana Izroil? Mana Ridwan dan Malik? Tak ada pintu disini. Pintu surga
atau neraka yang ku lalui?. Mulai aku terkulai dalam kekalutan, tak bisa
terbendung lagi kesedihan. Menyesakkan. Tuhan berkhianat. Mematahkan
semangatku menjemput kematian. Jauh sudah kucari sudut ruang ini. Tak
ada awan tak ada burung terbang, air, api ataupun bintang. Aku haus,
kering dan lusuh. Keringat mengucur di sekujur tubuh. Lunglai aku di
tempat itu, ku tertidur lelap,tanpa tikar yang mengalasiku. Sesaat ada
tangan dingin mengusap keningku, aku tersentak, mimpikah aku?
“nak, bangun!” Seorang kakek tua membangunkanku. Aku terbangun.
“minumlah ini!” Segelas air putih langsung disodorkan ke mulutku, seakan kakek itu tahu aku sedang letih disini.
“ Ini bukan tempatmu, pulanglah, cepat, pulanglah” Belum sepat aku
bertanya siapa dia ucapan kakek tua mengagetkanku, suaranya terdengar
keras, seruannya menderu-deru.
“tidak, ini tempatku, aku ingin menjemput kematian di sini. Tuhan
yang mengirimku ke sini. Apa kau Tuhanku itu? Atau Izroil, malaikat
Tuhanku?” bantahku tak ingin meninggalkan gerbang kematian sembari
memastikan di mana keberadaan Tuhanku.
“aku bukan Tuhanmu. Sudah jangan banyak bicara. Pulang!!”, kali ini
nada seruan kakek itu memang benar-benar mengusir, aku masih tak
berdaya. Di lubuk hati masih ingin bersembunyi,mencari di mana Tuhan
ini. Akhirnya kuputuskan untuk kalah.
“baiklah, aku pergi. Keluarkan aku dari sini, akan ku jemput kematian di dimensi yang lain.”Sahutku.
“larilah sekencang mungkin ke arah sana, jangan pernah menoleh ke
belakang, lari dan terus larilah sekuatmu dan jangan berhenti!”. Jawab
kakek tanpa menanggapi apa yang terlontar dari mulutku.
Seketika itu aku langsung berlari dan berlari. Tak juga ku temui
sudut pasir ini sejauh pelarianku. Aku tak ingin berhenti dan terus
berlari. Tenagaku habis sudah. Aku lemas dan pingsan bersimbah keringat
di sekujur tubuh.lelah. Sesaat
hampir saja ku tersadar, tapi belum bisa membuka mata. Kudengar alunan
ayat-ayat al Quran sedang dibacakan. Sayup-sayup kudengar ingin
kumemastikan apa yang kualami. Perlahan kubuka mata. Aku masih di tempat
sunyi , di dimensi lain, lain dari tempat yang tadi, tempat aku
berlari, meninggalkan kakek tua yang kutak tahu siapa namanya, aku bisa
melihat ruang berhias dinding-dinding putih. Bukan di pasir putih. Sepi.
Hanya suara lantunan ayat Tuhan yang menyeringai di bilik lubang
telinga. Pelantun ayat Tuhan mendapatiku terbuka mata,mendekatiku dan
aku tersadar. Ia pun menangis pelan tanpa air mata.
“Allah masih menginginkanmu menjadi salah satu penggenggam dunia.”
Ucapnya pelan tapi pasti. Dia merunduk. Sepertinya juga bersyukur.
Mendapatiku di sini.
Aku masih disini. Tersadar. Ku tatap pilar-pilar yang merenda langit
hingga menjadi seni angkasa. Aku termenung sejenak. Masih jauh jalan
yang akan ku tempuh. Aku belum bisa menjemput kematian. Karena takdirku
bukan mati hari ini. Aku bersyukur. Berkesempatan meraih cinta Illahi.
Sumber : http://ilmipenulis.wordpress.com/2011/10/29/menjemput-kematian/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar