Cerpen Divin Nahb
Aku merebahkan tubuh di atas genting rumah
sambil menatap lurus ke atas langit yang hitam. Angin-angin memanjakan
bulu roma. Aku bersidekap, menyembunyikan rasa dingin di balik jaket
merah yang kupakai. Jariku mulai bergerak. Aku hitung jumlah kematian
yang menghampiri orang-orang sekelilingku lalu mengandaikan tiap bintang
yang menempel di langit sana adalah mereka.
Kakekku mengawali
rambahan sunyi dalam ruang hati. Lalu sahabat kecilku. Berikutnya nenek
yang belum lama mengecup tanah kubur. Aku usap dada membiarkan udara
menyusup ke dalamnya. Mengenang mereka adalah sesuatu yang kerap aku
lakukan tiap malam. Betapapun sakit ditinggal mereka, namun aku mencoba
untuk memaknai kematian bukan hanya dengan air mata saja. Padahal aku
paham, jika ayah atau ibu yang dipanggil Tuhan pasti air mataku akan
terus mengalir. Dua orang itulah, orang tuakulah yang paling sulit untuk
aku lepaskan dalam hidup ini.
Tuhan… apa yang harus kukatakan untuk
meminta kepada-Mu agar mengambil nyawaku terlebih dahulu dari pada
mereka. Bagaimana mungkin aku sanggup tegar dalam hidup ini tanpa
mereka.
Tak terasa malam inipun aku menggulirkan air mata
kembali. Menerobos kehampaan seorang diri saat siluet kematian ayah dan
ibu mendatangi pelupuk mata. Aku seka air mata di pipi, yang berikutnya
kembali aku dihadapkan dengan bayangan kematian kakek, sahabat kecil,
dan nenekku.
“Kakek selalu memanggil namamu di detik-detik terakhirnya,” suara ibu terngiang di telinga.
“Tubuhnya wangi sekali,” suara kembali terngiang di hari kematian sahabat kecilku.
“Kematian
nenek begitu mudah. Lihatkan?! Wajah nenek yang tersenyum?” saat itu,
ayah memandang wajah adikku yang sembab melihat mayat nenek yang
tergeletak di atas kasur.
Aku membayangkan pertemuan-pertemuan
indah dengan mereka yang masih terekam dalam ingatan. Bagaimana kakek
memanjakanku dengan semua pemberiannya. Bagaimana sahabat kecilku
bercerita dengan serunya saat aku bersamanya. Lalu bagaimana nenek
menemani tiap malam tidurku ketika hidup. Bayangan-bayangan tersebut
berubah menjadi hari-hari kematian mereka.
Tubuhku semakin
kupeluk dengan kedua tangan. Merasakan sakit yang tak mungkin hilang
karena kehilangan mereka. Hari-hari di mana aku harus melihat mereka
terbujur kaku di bawah kain batik tanpa napas. Begitu mudahnya Tuhan
memutuskan kehidupan dan memanggil mereka. Dalam telinga, aku masih
dapat mendengar tawa mereka satu persatu. Aku masih dapat melihat senyum
mereka walau hanya membayang di langit hitam.
Hidup ternyata hanya
sebuah sandiwara belaka. Semua orang memainkan peran sesuai aturan
naskah hidup. Tuhan yang mengatur segalanya, saat Dia menyuruh
orang-orang balik ke belakang panggung saat itulah peranannya dalam
kehidupan di bumi berakhir. Lalu Tuhan pula yang menentukan peran-peran
baru. Merekalah anak-anak yang baru dilahirkan ke dunia ini. Dan suatu
saat itu pula mereka akan kembali ke belakang panggung.
Tak
lebihnya seperti aku yang menunggu kematian malam ini. Karenanya, tiap
malam aku selalu menunggu malaikat pencabut nyawa di atas genting. Dan
itu hanya dikarenakan aku ingin tahu siapa lagi yang akan menghadap
Tuhan. Mungkin saja aku. Toh jika itu terjadi aku bisa meminta pada
malaikat untuk menjaga orang-orang yang kusayangi, terutama ayah dan
ibuku.
“Wulan! Wulan! Di mana kau nak?!”
Hah… itu suara ibu.
Ada apa ibu memanggilku? Segera saja aku bangun dari rebah dan perlahan
berjalan ke jendela. Aku tidak ingin mati konyol jatuh dari genting ini.
Bisa-bisa malaikat pencabut nyawa menertawakan diriku begitu tahu aku
meninggal terjengkang jatuh dari genting. Ah… sudahlah, yang jelas
tubuhku sudah berada di tepi jendela melihat ibu yang mengernyit keras
ke arahku.
“Kau sedang apa di luar sana Wulan?” ibu mendekatiku dan membantu memasukkan tubuhku ke kamar.
“Menunggu
kematian,” jawabku sambil menyibakkan rambutku yang panjang dan aku
gulung-gulung membuat konde dengan menyematkan kayu seperti sumpit mie.
“Apa yang kau bicarakan nak?”
“Bu…
kematian itu bukan sesuatu yang perlu kita takuti kan? Makanya aku
menunggu malaikat di atas genting. Mungkin aneh kedengarannya, tapi
meninggal di malam hari itu lebih memiliki seni tersendiri loh.”
Jawabanku
semakin membuat ibu mengernyit lebih dalam. Tentu saja, tidak ada
kematian yang memiliki seni. Kematian adalah perintah Tuhan! Kapanpun ya
terserah Tuhan, manusia hanya wajib mengiyakan saja. Kalaupun manusia
tidak mau meninggal saat itu, namun Tuhan menginginkan kematian kita,
maka yang tetap akan terjadi adalah kehendak Tuhan. Manusia hanya
sebutir yang tiada daya di mata Tuhan.
“Oya, ada apa ibu memanggilku?”
“Kita menjumpai kematian.”
“Apa?”
“Malam ini kamu akan bertemu dengan kematian.”
“Kematian? Bagaimana ibu tahu aku akan bertemu kematian?” aku semakin bingung dengan ucapan ibu.
Aku
ditarik ibu untuk duduk di tepi ranjang. Berikutnya ibu mulai
bercerita, bahwa memang malam ini ada kematian yang mendekatiku. Namun
tentu saja bukan kematianku sendiri. Dalam bahasa sendunya, ibu
memberitahukan bahwa teman akrab ayah—yang selalu kusebut om ganteng si
baik hati, telah meninggal dunia sewaktu dinas ke luar kota.
Saat itu
pula air mataku menetes. Betapapun aku memahami akan kematian sebagai
jalan abadi menuju jalan pertemuan manusia dengan Tuhan. Namun rasanya
kematian memang membuat kesedihan terdalam. Bagaimana kita akan bahagia
jika kita kehilangan satu orang yang ada di sekeliling kita. Seperti
tersulut api dari sebatang korek, aku benar-benar merasakan sakitnya api
menjilati dada—entah di jantung atau di tempat yang lainnya. Namun aku
sungguh merasakan sakit.
Laki-laki yang sering kusebut om ganteng
adalah om Bagus. Baru tiga hari yang lalu aku bertemu dengannya dan
berbincang mengenai kesediaannya menjadi donatur utama untuk menyokong
kegiatan sosial yang aku lakukan bersama dengan kawan-kawan di LSM. Saat
itu keadaannya segar bugar, wajahnya tidak menampakkan bahwa dia sakit.
Dia sehat-sehat saja. Tapi nyatanya itu tidak membuat takdir
kematiannya dimundurkan oleh Tuhan.
“Kita ke sana sekarang bu?” tanyaku yang telah menyeka air mata.
“Ya. Ayah langsung ke sana dari kantor.”
“Sungguh takjub kematian itu ya bu. Aku baru saja bertemu om Bagus tiga hari yang lalu.”
“Ya.
Dan ayahmu dengan om Bagus baru saja pergi bersama kemarin sore. Lalu
malam ini om Bagus sudah tidak ada.” Ibu menghela napas sejenak. “Tapi
seperti inilah kehidupan. Kita hanya sebentar ada di dunia ini.”
Ibu bangun dari tepi tempat tidur sambil sekali lagi mengingatkan bahwa aku ditunggunya di bawah.
Aku
menyematkan tubuh dengan balutan pakaian hitam kembali. Mengingatkan
pada kejadian-kejadian yang telah lalu, tentang kematian mereka yang
namanya baru saja aku letakkan bersama bintang di alam bebas malam ini.
***
“Subhanallah.
Om Bagus meninggal dengan cara khusnul khatimah. Saat ingin menunaikan
shalat. InsyaAllah dialah ahli surga,” ayah merangkulku sambil melihat
tubuh om Bagus yang terbaring di atas ranjang dalam rumahnya.
Senandung
Al-Qur’an menggema tiada henti di sekeliling rumah itu. Kawan-kawan om
Bagus tiada henti berdatangan, dari orang-orang yang terlibat satu
organisasi—baik organisasi yang sifatnya keagamaan sampai ke politik.
Atau teman kantor dan para tetangga, yang jelas kerumunan orang tiada
henti berdatangan!! Om Bagus sudah seperti selebritis yang dikenal
banyak kalangan. Bagaimana tidak demikian? Jika sifat om Bagus sendiri
sangat aku kagumi sebagai sosok yang ramah dan bersahaja.
Sementara
kepiluan merasuki sisi rumah itu, di luar sana tampak hujan merintik
dengan angin yang berhembus kencang. Aku merapatkan jaket karena suasana
dingin menyatu dengan kepiluan di rumah itu.
Tante Bagus beserta
ketiga anaknya yang semuanya adalah perempuan tampak begitu sedih. Wajah
mereka memerah melihat orang yang dicintainya terbujur kaku di bawah
kain batik berwarna coklat. Tatapan mata mereka seakan kosong.
Seperti
itukah jika aku harus kehilangan orang yang sangat aku cintai di dunia
ini? Sama seperti yang dirasakan tante Bagus dan ketiga putrinya?
Tatapanku kualihkan pada paras wajah ayah yang masih berada di
sebelahku, lalu melengos ke arah ibu yang sedang bersama ibu-ibu
lainnya. Kedua orang itulah yang tidak akan pernah bisa digantikan
siapapun.
Tuhan aku menyayangi mereka.
Kupeluk pinggang ayah
dan meletakkan kepalaku pada dadanya. Sekujur tubuhku terasa hangat.
Cukup malam ini, aku dipertemukan dengan kematian om Bagus. Aku memohon
pada Tuhan untuk tidak mengetukkan palu kematian yang lain di malam ini.
Karena sebenarnya aku tidak cukup sanggup untuk memaknainya. Aku begitu
cengeng!
Saat malam terus beranjak, tubuhku yang kini telah
terbaring di atas tempat tidur kembali membayangkan wajah om Bagus yang
tersenyum dalam kepucatannya. Satu bintang kembali berkilau dan aku
memejamkan mata perlahan.
***
Kesunyian mendenting pilu di malam
berikutnya. Aku yang telah tenang dan mampu menerima kenyataan bahwa om
Bagus telah tiada kembali menerobos keluar jendela untuk memandang
langit. Aku merebahkan tubuh di atas genting lagi menunggu tanda-tanda
kematianku sendiri. Walau kemarin Tuhan tidak berkehendak menjemputku,
bukan berarti hari ini aku bisa lepas dari kuasa-Nya.
Katakanlah
jika aku membuang waktu tiap malamku. Namun paling tidak aku sudah
memasrahkan diri pada kehendak-Nya untuk dibawa ke alam yang lebih abadi
dari pada di bumi ini. Walau aku pun sering merasakan tidak memiliki
kekuatan jika aku harus menghadapi beberapa kematian pada satu hari.
Dingin
malam ini mulai menusuk tulangku. Aku rapatkan jaket berwarna biru muda
dan memandang bintang-bintang yang bertebaran di langit hitam.
Tuhan…
jika kemarin adalah kematian om Bagus. Maka kematian siapa lagi yang
akan kau ambil malam ini? Kematian bagi-Mu memang kapan saja, karena itu
adalah kehendak-Mu. Namun aku begitu pasrah terhadap kematian pada tiap
malam saja. Entahlah, namun rasanya malam itu bagai suasana yang hening
untuk bertemu Kau. Dan aku serasa siap untuk Kau jemput. Tuhan
berikanlah aku petanda, apakah ada kematian hari ini? Dan lagi-lagi aku
mohon, jangan biarkan ayah dan ibu untuk mendahuluiku.
Malam
semakin beranjak. Suasana semakin hening dan hiruk pikuk tidak terdengar
lagi. Ibu yang telah mengetahui keberadaanku tiap malam menyuruhku
untuk segera masuk ke dalam kamar.
“Wulan, ini sudah larut!”
“Iya. Sepertinya kematian di sekeliling kita tidak datang malam ini.”
Ibu
mengecup keningku dan menutup pintu kamar. Aku letakkan seluruh tubuhku
ke atas kasur. Namun ketika baru saja ingin memejamkan mata, terdengar
suara samar dari luar pintu.
“Kita semua harus ke sana sekarang. Gaos meninggal karena tabrakan. Ibu bangunkan Wulan ya.” Aku tahu itu adalah suara ayah.
Sekujur
tubuhku bergetar. Malam ini Tuhan menentukan om Gaos untuk meninggalkan
kami. Orang-orang di sekelilingku telah menghadap-Nya, lalu kapankah
giliranku Tuhan?
Sumber : http://supervyanpion.blogspot.com/2010/04/malam-ini-aku-menunggu-kematian.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar