Umi Farida Blog

Selamat datang di blog ku

Jumat, 14 November 2014

Cerpen : Pernikahan Ku

Aku pandang nanar baju kebaya dengan brokat warna perak indah yang tergantung di belakang pintu kamar. Kuhela nafas dalam-dalam, tapi sesak di hati tak jua hilang.

Harum bunga sedap malam yang diletakkan dalam toples bening di pojok kamar merebak memenuhi ruangan. Aku duduk di pinggir tempat tidur. Sprei warna kuning keemasan terhampar di tempat tidur yang baru dibeli seminggu lalu. Seluruh dinding tertutup kelambu berhias bunga. Seperangkat  make up lengkap telah berjejer di meja rias. Entah siapa yang menyiapkan ini semuanya?

Sebulan lalu Abah dan Umi datang menjengukku di pesantren. Seperti santri lainnya, mendapat kunjungan keluarga adalah hal paling membahagiakan. Meski sebenarnya aku heran, mengapa keduanya datang seminggu lebih awal dari jadwal biasanya.
“Abah kangen awakmu Nduk.” Jawab Abah ketika kutanya.

Setelah setengah jam berbincang, Abah memintaku kembali ke asrama, karena Abah dan Umi hendak membicarakan hal penting dengan Kyaiku. Memang, hubungan Abah dan Kyai sangat dekat. Mungkin karena satu perguruan dan sama- sama memiliki pesantren, jadi suka bertukar pengalaman.

Sehari setelah kedatangan orang tuaku, Kyai memanggilku ke  ndalem. Mendapat panggilan khusus dari Kyai merupakan kehormatan bagi santri. Aku pun bergegas ke ndalem sambil tak henti bertanya dalam hati, ada apa Kyai memanggilku?
“Khumaira, kau sekarang kelas berapa?” tanya Kyai padaku sambil duduk di kursi, sedang aku duduk bersimpuh di lantai.
“Kelas tiga Aliyah Kyai,” jawabku pelan tanpa menengadahkan kepala. Sebab, bisa dicap menyalahi adab bila santri sepertiku memandang wajah Kyai.
“Wis gede ternyata awakmu Nduk.” Kyai tertawa kecil. Aku hanya tersenyum.
“Kemarin Abahmu mengamanatkan padaku untuk bicara hal ini denganmu.” Kyai diam sejenak. Aku makin sibuk bertanya-tanya dalam hati.

Tapi tiba-tiba kepalaku seperti dipukul palu, saat Kyai memberitahukan kalau Abah telah menerima lamaran dari putra Kyai Zakaria yang tidak lain adalah keponakan dari Kyaiku sendiri. Dan yang membuatku semakin kaget, ternyata tanggal pernikahan telah ditetapkan, sebulan persis dari hari ini. Atau tepatnya dua hari setelah nanti kuterima Ijazah Aliyahku.

Mataku panas. Pelan, air mataku jatuh. Aku coba menahannya hingga tubuhku berguncang. Ku usap air mataku dengan ujung jilbab.
“Abahmu berusaha mencari yang terbaik untukmu. Yakinlah pilihannya sudah melalui pertimbangan yang matang. Sebagai anak yang baik, kamu harus patuh.”
Aku hanya mampu merunduk dalam dengan tangis yang tak henti ketika Kyai menasehatiku. Apa yang bisa dikatakan seorang anak dan santri bila keputusan telah dibuat, selain mengikuti semuanya.

***

Esok adalah hari pernikahanku. Aku pulang ke rumah dua hari sebelum hari H. Ketika aku datang, semua penghuni rumah telah sibuk. Ada yang membuat kue, menyiapkan tenda, pelaminan dan juga memasak. Aku tidak tahu-menahu dengan persiapan pernikahan ini. Bahkan baju pengantin yang akan kupakai, kulihat dua jam setelah kakiku masuk rumah.

Santri-santri Abah juga tidak kalah sibuk. Mereka membersihkan pesantren karena akan ada banyak tamu yang datang. Menurut Pakde Halim waktu akad Nikah, hari Jumat pagi akan ada 200-an undangan. Sedang untuk resepsi sehabis Shalat Jumat,  Pakde Halim telah menyebarkan undangan sekitar 1000.

Gus Adnan, adalah nama calon suamiku. Selama ini aku hanya mendengar namanya dari obrolan antar santri di pondok. Memang keponakan Kyai ini sangat terkenal di kalangan santri, katanya selain berwajah tampan, ia juga terkenal yang paling nakal di keluarga Kyai Zakaria. Cap playboy sering ditujukan padanya. Salah seorang primadona pondokku pernah jadi korban dari cinta main- mainnya. Semua saudara Gus Adnan mengenyam pendidikan pesantren, hanya dia yang tidak mau mondok, bahkan dia sekolah SMA di luar pesantren orang tuanya. Pesantren Gus Adnan memang berbeda kabupaten dengan pesantren yang kutempati. Tapi  menurut  mbak-mbak yang jadi khadam di ndalem, Gus Adnan sering datang ke pesantren  paklik-nya ini.

Track record Gus Adnan yang tidak putih, sebenarnya membuatku gamang dengan pernikahan ini.  Terlebih belum pernah sekalipun kami bertemu. Walau aku putri seorang Kyai, wajahku tidaklah cantik. Menurut cerita teman- teman, selera Gus Adnan sangat tinggi, bahkan dia pernah menggaet juara Putri Daerah di tempatnya. Aku merasa sedikit minder. Tapi menurut Umi, Gus Adnan telah melihat foto-fotoku dan dia setuju menikah denganku.
“Umi dulu menikah dengan Abahmu juga tidak pernah bertemu sebelumnya, toh ternyata hingga sekarang baik-baik saja.” Umi menghiburku.

Tamu-tamu sudah mulai berdatangan. Grup musik  hadrah pesantren telah mulai melantunkan shalawat di masjid. Sejak subuh tadi aku sudah mulai dirias. Aku pasrah, walau hati menderu tidak karuan.
Akad nikahku akan dilangsungkan 09.30 WIB. Keluarga pengantin laki-laki dijadwalkan datang 08.30 WIB atau paling lambat jam 9. Walau beda kabupaten, tapi jarak rumahku dengan rumah Gus Adnan bisa ditempuh hanya dengan dua jam.

Jarum jam sudah mendekati 09.00 WIB. Tapi rombongan pengantin laki-laki tak kunjung datang. Aku mengintip dari jendela kamar pengantinku, sepertinya semua orang panik.  Pakde Halim mondar-mandir sambil HP-nya terus menempel di telinga. Umi duduk menyendiri di pojok tenda dengan wajah tegang.

Aku pun terus menanti dengan hati dag dig dug.
“Ya Allah….!!”
Aku dengar suara dari Umi lalu diiringi dengan tangis. Aku tidak berani keluar kamar. Menurut pesan panitia dan perias, aku hanya boleh keluar kamar bila pengantin laki-laki sudah datang. Tapi aku ingin sekali keluar, melihat apa yang terjadi.
Dari jendela kulihat Abah sedang menangis dalam pelukan Pakde Halim. Dari ruang tamu terdengar tangis beberapa orang, sepertinya itu suara Umi dan Bulik Ana.

Aku menangkap ketidakberesan dari rencana pernikahan ini. Apalagi bunyi hadrah dari masjid tiba-tiba berhenti. Tapi  kepada  siapa  aku harus bertanya.  Tak seorangpun datang menjelaskan padaku. Periasku pun sudah sejak tadi meninggalkan kamarku.

Waktu Dzuhur datang. Gus Adnan belum datang juga. Aku masih diam. Duduk sendiri di kamar dengan riasan pengantin lengkap.
Usai Dzuhur yang harusnya adalah acara resepsi, hanya ada beberapa tamu yang datang. Itupun langsung pergi setelah bercakap sebentar. Aku hanya bisa mengikuti semuanya dari jendela kamar.
“Ada apa sebenarnya?” Jeritku dalam hati.

Aku makin gelisah ketika malam datang. Tak ada tanda-tanda pengantin lelaki datang. Keluargaku? Entah, tak satupun dari mereka masuk kamar dan mengatakan sesuatu padaku. Aku? Masih setia dengan pakaian pengantin dan sanggul yang berat ini.
Waktu Isya’ datang. Akhirnya ada juga yang membuka pintu kamarku. Aku langsung berdiri menyambut.  Bulik Ana masuk membawa sepiring nasi. Matanya sembab.
“Nduk, makan dulu.” Suara Bulik bergetar. Piring diletakkan di meja rias.
“Sebentar  Bulik.” Sebelum  Bulik bergegas keluar kamar, aku berhasil menarik tangannya. “Ada apa sebenarnya ini  Bulik?”

Ia menunduk. Bukan jawaban yang kuterima, malah tangisannya.  Bulik Ana menubrukku dalam pelukannya. Tangisnya tiba-tiba pecah.
“Sabar yo Nduk. Gus Adnan semalam minggat dari rumahnya dan tidak ditemukan hingga sekarang.”
Aku tegang. Tidak menangis. Tidak menjawab apa-apa. Hingga Bulik Ana keluar kamar. Aku masih coba cerna apa yang dikatakannya. Aku mematung.

Seluruh kesendirianku sepertinya tersedot habis di perut bumi, hingga aku limbung dan jatuh terduduk di kursi. Akhirnya seluruh beban di dada yang kusimpan selama sebulan ini mencapai puncaknya sudah. Air mataku deras mengalir.
Sejam kemudian, saat aku sadar tidak ada lagi yang bisa diperbuat dengan semua ini, aku mulai mencopoti satu persatu pakaian pengantinku. Ingin rasanya segera melepas semuanya seperti halnya aku ingin membuang jauh segala sakit hati.

Sekarang aku sudah berada di kereta. Aku kembali ke pesantren untuk mewujudkan mimpiku menghafalkan Alquran. Aku berusaha tegar dengan kejadian kemarin. Aku tidak mau lagi mimpiku
terkoyak hanya karena perjodohan konyol seperti ini.



Catatan:
  Nduk: Panggilan untuk anak perempuan
  Pakde: Paman dari kakak ayah atau ibu
  Paklik/Bulik: Paman/bibi dari adik ayah atau ibu
  Ndalem: Rumah kyai
  Wis gede: Sudah besar
  Khadam: Santri yang juga melayani di rumah kyai
  Track record: Sepak terjang seseorang
  Awakmu:  Dirimu


Sumber : http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=527:cerpen-edisi-29--pernikahanku-&catid=46:cerpen&Itemid=309

Tidak ada komentar:

Posting Komentar