SEBAGAIMANA sudah ia yakini sejak lama, ia akan mati hari ini, tepat
pukul sembilan pagi. Ia ingin segalanya berlangsung tenang dan nyaman.
Ia ingin menikmati detik-detik kematiannya dengan karib. Maka ia pun
mandi, merasakan air yang meresap lembut dalam pori-porinya dengan
kesegaran yang berbeda dari biasanya. Kulitnya terasa lebih peka. Ia
bisa merasakan gesekan yang sangat lembut pelan, ketika sebutir air
bergulir di ujung hidungnya. Bahkan ia bisa merasakan dingin yang
menggeletarkan bulu-bulu matanya. Betapa waktu yang berdenyut lembut
membuat perasaannya terhanyut. Dan ia memejam, mencoba merasakan segala
suara dan keretap cahaya yang masuk lewat celah ventilasi kamar mandi.
Ia merasa bersyukur, betapa ia telah lama mengetahui kematiannnya
sendiri, hingga bisa mempersiapkan segalanya tanpa tergesa-gesa. Ia
memotong kuku, mencukur cambang, dan merapikan kumisnya yang tipis. Ia
ingat, teman-temannya selalu bilang kalau ia terlihat lebih ganteng bila
berkumis tipis. Ia tersnyum. Ia ingin tampak ganteng saat mati pagi
ini. Ia menyisir rambuhnya belah tengah, mengoleskan minyak rambut
hingga tampak klimis, mengenakan pakaian terbaik miliknya, kemeja motif
batik, dan tentu ia tak lupa menyemprotkan minyak wangi. Sedikit di
bawah ketiak, di leher, di lengan dan menggosoknya pelan. Ia tak ingin
wangi yang berlebihan.
Ini akan jadi kematian yang menyenangkan, batinnya. Sungguh ia merasa
beruntung karena bisa menikmati kematian seperti ini. Ia tak perlu
susah-susah beli racun, lalu menenggaknya. Alangkah menyedihkan mati
seperti itu. Ia juga tak perlu repot-repot menyiapkan tali, dan
menggantung diri. Mati dengan cara seperti itu selalu menimbulkan
kerumitan tersendiri. Ia pun tak perlu menabrakkan diri ke laju kereta
api. Betapa tidak sedapnya mati dengan tubuh remuk terburai seperti itu:
merepotkan dan menjijikkan. Orang-orang mesti memunguti tetelan
tubuhnya yang berserakan di tanah dan lengket di bantalan rel kereta.
Sungguh beruntung ia tak harus mati dengan cara-cara mengenaskan seperti
itu. Ia tak perlu mati menderita lantaran usia tua atau penyakit
menahun yang menggerogoti tubuhnya. Ia merasa segar – bahkan jauh merasa
lebih segar dari hari-hari biasanya – hingga ia tak perlu merasa cemas
kalau-kalau kematian akan membuatnya merasa kesakitan.
Tinggal berbaring tenang di ranjang, dan membiarkan maut bersijengkat mendekatinya perlahan.
Ia merasakan waktu yang beringsut berdenyut, dan cahaya mengusapnya
lembut. Lihatlah, cahaya matahari seperti susu segar yang ditumpahkan ke
lantai, terasa kental. Cahaya yang terlihat begitu jernih dan bening
membuat semua benda lebih memancarkan warnanya. Permukaan meja kayu yang
sudah ia bersihkan makin terlihat kecoklatan dan begitu detail alur
serat kayunya. Barut tipis bekas paku pada cermin, nampak jelas.
Sepasang sandal kulit di pojok terlihat bersih, warnanya yang coklat
tampak lebih cerah. Detak jam begitu lembut. Kamarnya jadi terasa hangat
dan menenangkan.
Lewat jendela yang ia biarkan terbuka, ia bisa merasakan senyum
bunga-bunga. Ia bisa mendengar suara lembut gesekan kelopak-kelopak
bunga yang perlahan-lahan rekah. Ia mencium harum kambium meruap di
udara yang ranum. Harum yang sebelumnya tak pernah ia cium. Juga bau
aroma bawang goreng yang samar-samar mengambang di udara yang
bergeletaran pelan, membuat setiap aroma jadi terasa begitu kental dalam
penciumannya. Ia dengar suara sayap kupu-kupu yang terbang melintasi
pagar. Beginikah rasanya saat kematian makin mendekat? Segala terasa
melambat. Segala terasa lebih pekat dan hangat. Seperti ada yang
memeluknya. Menyelimutinya dengan kesunyian. Seperti ada yang ingin
membisikkan penghiburan di dekat telinganya. Dan ia merasakan ada yang
perlahan mendekat, seakan mengingatkan agar ia berkemas, meski tak perlu
bergegas. Biarkan segalanya berjalan sebagaimana yang direncanakan. Ia
akan mati dengan nyaman, tenang dan membahagiakan. Sungguh, bila
saat-saat menjelang kematian ini merupakan saat-saat yang paling syahdu
dalam hidupnya, ia ingin menghayati dan merasakan kesyahduan itu dengan
sempurna. Mati, barangkali memang tak lebih melankoli, seperti puisi
pucat pasi. Tapi ia ingin menghayati. Bukan untuk kenangan yang akan
dibikinnya abadi, tapi sekadar ingin mengerti bagaimana rasanya mati.
Ketika ia merasakan segalanya makin mendekat, ia pun segera menemui
tukang kebun itu. Seperti yang telah lama ia rencanakan, ia pun pamit
untuk penghabisan kali pada tukang kebun yang sudah menunggunya dengan
sabar.
“Ini sekadar biaya buat pemakaman. Maaf, bila saya merepotkan…”
Kemudian ia berbaring tenang, hingga detik terakhir kematiannya datang.
TEPAT pukul sembilan pagi, laki-laki itu pun mati. Alangkah
menyenangkan bisa mati dengan lembut seperti itu, batin tukang kebun
sembari memandangi jenazah yang terbaring tenang. Rasanya baru kali ini
ia melihat wajah jenazah yang begitu bahagia. Bahkan dalam mati pun
laki-laki itu tampak santun dan menyenangkan.
Lalu tukang kebun itu teringat pada saat laki-laki itu datang hendak
mengontrak kamar di rumah yang dijaganya. Laki-laki itu mengatakan, ia
akan tinggal di sini untuk menanti kematian. Di sebutnya hari dan jam
kapan ia akan mati. Tentu saja, ia – pada saat itu – menganggap
laki-laki itu hanya bercanda. Usianya masih muda dan terlihat segar.
Kematian memang tak bisa di duga, tetapi tukang kebun itu yakin
laki-laki itu masih akan hidup lama. Tidak, katanya, saya akan mati.
Dan, sekali lagi, disebutnya hari dan jam kapan persisnya ia akan mati.
Laki-laki tampan yang kesepian, tukang kebun itu membatin, sambil
menatap wajah tenang laki-laki itu. Mungkin dia hendak bunuh diri. Entah
kenapa, tukang kebun itu tiba-tiba saja merasa kasihan. Semuda dan
sebagus itu, tapi sudah putus asa dan memilih mati. Karena itulah,
dengan halus dan sopan tukang kebun, yang dipercaya pemilik rumah untuk
menjaga kamar-kamar kontrakan itu, menolak menerima laki-laki itu. Di
sini bukan tempat yang pantas untuk mati, Nak. Kalau kau ingin bunuh
diri, carilah tempat lain. Mati di kamar hotel yang sejuk pasti jauh
lebih menyenangkan. Kamu bisa memilih tempat yang paling pantas buat
kematianmu. Asal jangan di kontrakan ini.
Tidak, Pak. Saya tak hendak bunuh diri. Sungguh. Saya memang mau
mati, tetapi tak hendak bunuh diri. Sudah lama saya tahu, saya akan mati
di tempat ini. Di kamar kontrakan yang sederhana dan tenang. Ini
kematian yang telah saya pilih. Izinkan saya menentukan kematian saya
sendiri, Pak. Karna itulah satu-satunya kebahagiaan yang saya miliki
dalam hidup. Bukankah tak ada yang lebih menyenangkan selain kita tahu
kapan di mana dan bagaimana kita mati? Kita bisa mempersiapkan segalanya
sendiri. Kita bisa menantinya dengan tenang. Menyambutnya dengan cara
yang paling karib. Dan saya ingin mati dengan tenang di sini, Pak.
Bila itu lelucon, pastilah itu lelucon yang paling tak lucu. Tapi
laki-laki itu tampak tak sedang berkelakar. Matanya yang teduh membuat
tukang kebun itu terpesona dan mempercayai kata-katanya. Sepanjang ia
menjaga rumah kontrakan ini, ia sudah bertemu banyak orang yang terlihat
aneh, tertutup bahkan misterius, yang datang mengontrak kamar sebentar
kemudian pergi dan tak pernah kembali. Rasanya laki-laki inilah yang
paling aneh dan tak ia mengerti.
Bahkan kini pun ia tak kunjung bisa mengerti, kenapa laki-laki itu bisa
tahu dengan persis kapan ia mati. Ada rasa iri yang menyelusup ketika ia
pelan-pelan menutup jenazah laki-laki itu dengan selimut yang sudah
dipersiapkan. Rasanya memang tak ada yang lebih membahagiakan selain
mengetahui kapan kita akan mati. Karna dengan begitu tak ada lagi
rahasia yang menakutkan dalam hidup ini. Ah, betapa ia juga ingin mati
seperti laki-laki ini. Mati dengan tenang – bahkan terasa riang – dan
segalanya berlangsung dengan biasa dan sederhana.
DI warung kopi, sore itu, sahabatmu mendengar tukang kebun itu
bercerita tentang seseorang yang baru saja mati dengan tenang dan
bahagia, tadi pagi.
“Aku menyaksikannya sendiri, detik-detik ketika ia perlahan-lahan
mati,” tukang kebun itu bercerita, dan sahabatmu mendengarkan sembari
menyeruput kopi. “Aku merasakan cahaya yang perlahan jadi lanum. Seperti
ada yang perlahan mendekat, seperti langkah-langkah ringan yang
melompati jendela dan masuk ke dalam kamar di mana laki-laki itu
berbaring tenang. Aku bayangkan maut mengecup keningnya pelan, dan ia
tersenyum. Pada detik itulah aku merasakan ada cahaya kelabu lembut,
yang lebih tipis dari kabut, melayang terbang mengelangut serupa
senandung maut…”
Setiap sore, sahabatmu memang suka mampir ke warung kopi di sudut
jalan itu. Tak seperti sore-sore biasanya, yang gaduh dengan celoteh dan
percakapan, sore itu sahabatmu merasakan kemurungan yang luar biasa.
Kemurungan, yang sepertinya terbawa oleh cerita tukang kebun itu.
“Betapa aku ingin mati seperti laki-laki itu,” suara tukang kebun itu
terdengar gemetar dan hambar. “Aku sudah tua, aku sering membayangkan
aku akan mati kesepian. Tapi aku selalu cemas karena tak pernah tahu
kapan.”
Sembari terus diam mengetuk-ngetuk tepian cangkir dengan ujung-ujung
jari, pura-pura abai pada cerita tukang kebun itu, seketika sahabatmu
terkenang pada cerita yang sering kau kisahkan perihal seseorang, yang
pernah menjadi karib dalam hidupmu, tetapi kemudian memilih hidup
menyendiri untuk menanti mati. Biasanya, sahabatmu begitu betah
menghabiskan waktu di warung kopi itu. Tapi cerita kematian yang
dituturkan tukang kebun itu membuatnya ingin cepat-cepat bertemu
denganmu.
KAU hanya terdiam, saat sabahatmu bercerita.
“Begitulah yang kudengar dari tukang kebun itu, ia sudah mati dengan tenang dan bahagia pagi tadi, tepat jam sembilan pagi.”
Biasanya, menghabiskan waktu berjaga, kau dan sahabatmu akan bertukar
kelakar sembari bermain kartu, untuk mengusir kantuk dan jemu.
Bertahun-tahun menjadi penjaga malam di kamar mayat rumah sakit, kau
sudah teramat tahu, bahwa kematian terasa lebih menakutkan ketika
dipercakapkan pelan-pelan. Tapi kau sudah terbiasa dengan ketakutan
seperti itu. Ketakutan yang selalu muncul bersama bau yang membeku di
udara. Bau yang sepertinya sengaja ditinggalkan maut untuk sekadar
menjadi tanda. Kau selalu membayangkan bau itu seperti jejak – atau
tapak – kaki kucing yang mungil. Jejak yang melekat di lantai dan tembok
dan mengapung di udara. Kau sering melihatnya ada di mana-mana,
membuatmu seperti bocah pramuka yang sedang mencari jejak agar tak
tersesat. Kau bisa mencium bau kematian itu bergerak pelan, tetapi kau
tak pernah tahu pasti kapan kematian akan menjemputmu. Kau hanya merasa.
Tapi tak kuasa menduga. Dan itu selalu menakutkan. Mencemaskan. Tapi
juga selalu membuatmu penasaran.
Itulah sebabnya kenapa kau melamar – dan akhirnya diterima – jadi
penjaga malam di kamar mayat rumah sakit. Kau hanya mau giliran jaga
malam, karna kau percaya kematian akan jauh lebih terasa pada malam
hari. Seperti tinta hitam yang dituangkan ke kolam. Kau jadi seperti
bisa meraba dan menyentuhnya.
Kau suka sekali memandangi mayat yang terbaring beku dan pucat.
Memandanginya lama-lama. Menyentuh dan merasakan tilas hangat yang masih
tersimpan di bawah kulit. Sering kau merasakan denyut lembut yang masih
terasa merayapi otot mayat-mayat itu.
Dan malam ini, kau jadi makin mencintai bau kematian, saat sahabatmu
menceritakan kematianku tadi pagi. Kau ingin menangis – entah kenapa.
Yang pasti bukan karena kehilangan. Kau hanya merasa betapa
menyenangkannya bisa mengetahui kematian sendiri. Karena itu, kau pun
dulu tampak iri ketika aku bercerita betapa aku telah mengetahui kapan
aku mati. Kau merasa iri, karena aku kau anggap telah mampu memecahkan
teka-teki.
“Kau tahu,” ucapmu pelan pada sahabatmu yang bersandar di kursi, “aku
selalu menginginkan kematian yang tenang dan bahagia seperti itu.” Dan
kau pun mencoba membayangkan kelopak mataku yang tampak rapuh ketika
perlahan terkatup. Kau bayangkan sisa redup cahaya terakhir yang melekat
di retina mataku.
Kau ingin sekali bisa bertemu denganku. Kau ingin sekali bertanya,
bagaimana mengetahui kunci teka-teki kematian sendiri, dan mati dengan
begitu tenang. Begitu bahagia.
Ingin sekali kau tanyakan itu kepadaku yang telah mati jam sembilan pagi tadi.
Selesai. Thanks For Reading
Sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-kehidupan/secret-rahasia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar