ngin mengakhiri hidup, itulah yang ingin ia lakukan. Dalam pekat malam ia berjalan tak tau arah. Yang ingin ia temukan adalah sebuah inspirasi bagaimana cara yang elegan untuk memisahkan ruh dari jasatnya. Aku tak mau mati konyol, aku takut jasatku diketemukan dalam keadaan yang memalukan. Bagaimanapun, kematian juga harus mengangkat harga diri, batinnya. Ia lebih takut malu daripada takut mati.
Aku tak mau gantung diri. Nanti jasadku ditemukan dalam keadaan menggantung, dengan lidah terjulur dan mata melotot. Ngeri. Apalagi kalau bakar diri, nanti jasadku gosong tidak dapat dikenali. Eman-eman kulitku yang indah ini. Karena ku ingin mati dalam keadaan utuh, terhormat dan dikenang. Mungkin seperti kematian Alda Risma yang misterius. Wah… keren. Ah… tapi kematiannya tidak elegan.
“Malaikat maut… beri tau aku bagaimana cara mengakhiri hidup yang elegan itu.” teriaknya pada malam. Ia terus berjalan tanpa arah sambil tersenyum. Melompat dari atas Monas… ah… rasanya tidak mungkin. Apa kata infotaiment nanti “Seorang pejabat sekaligus aktor ternama ditemukan bunuh diri dengan keadaan yang sangat mengeskan. Seluruh organ tubuhnya remuk dan darah muncrat kemana-mana.” Menjijikkan. Aku takut ketinggian. Aku tak mau sebelum mati nanti harus senam jantung duluan ketika meluncur.
Mungkin dengan racun. Beberapa gram shabu-shabu masih ada dirumah, sayang kalau tidak dipakai. Tapi… aku telah menyangkal ke infotaiment bahwa aku sudah tidak mengkonsumsi obat-obatan itu lagi. Nanti ketahuan kalau aku berbohong. Aku tak mau sebelum mati harus merasakan sakaw dan kejang-kejang. Nanti kalau jasadku ditemukan dalam posisi pas nungging kan malu. Belum lagi keluar busa dari mulutku. Cih…
Ia tampak berfikir keras. Ia seperti orang linglung, berjalan tertatih-tatih. Tanpa sadar ia berjalan terlalu ke tengah jalan. Hampir ia terserempet pengendara motor yang melintas. Sambil membunyikan klakson pengendara itu menumpat “Wong edan, Nggak punya otak”. Lelaki itu justru mendapatkan ide. Menabrakkan diri ke mobil atau kereta api gimana? Tapi… ya kalau mati, kalau engga’, uda sakit malu lagi. Tolol.
Mungkin mati dengan tenang diatas kasur rumah sakit akan lebih elegan. Para kekasihku dan para wartawan tolol itu menungguiku dengan terisak disampingku dan berkata “Bertahanlah.” Dan aku akan menjawab “Ini sudah takdirku, jangan kau tangisi. Tolong hartaku nanti sebagian disumbangkan ke anak yatim piatu.” Ha… ha… ha… anak panti asuan? Cuih. Perduli apa dengan mereka, hanya ku jadikan kedok wajah manisku saja. Aku juga anak yatim piatu, tapi sebelum aku terkenal siapa yang perduli denganku? Ia tertawa getir.
Kemudian senyum itu lenyap lagi. Tapi… aku tidak mengidap penyakit yang mematikan. Aku rajin fitnes, aku merasa sehat. Oh mungkin aku punya. AIDS. Pernah ku berhubungan seks dengan pelacur yang mengaku positif AIDS. Tapi, dulu aku pakai kondom. Oh pelacur itu, belum pernah aku bertemu tubuh seindah itu, memandangnya saja membuat birahi, apalagi bersetubuh… ugh… berhari-hari bersetubuh dengan dia pun aku sanggup. Tapi sayang… tarifnya lumayan mahal, kena AIDS pula. Ia sejenak berfantasi. Ia membanyangkan adegan dengan beberapa nama wanita dan waria yang pernah ia “pakai”. Oh ya Afian, waria itu… Dia mampus beberapa bulan lalu. Dia mampus karena AIDS. Aku dulu pernah bertukar jarum suntik dengannya. Senyumnya mengembang kembali. Kemudian memudar lagi. Dasar tolol, kalaupun kena AIDS sekarang, mampusnya kan butuh waktu. Aku mau mati sekarang.
“WARTAWAN SIALAN.” teriaknya pada malam. Ia mengumpat-ngumpat, melampiaskan kekesalan. Wartawan-wartawan sialan yang selalu usil, kalau aku korupsi emang kenapa, itu juga bukan uang embahmu. Dasar bawel. Trus kalau aku biseksual juga kenapa? Begitu saja dipermasalahkan. Kalau aku kasar dengan bawahan juga kenapa? Mereka yang keterlaluan. Dan kau pelacu keparat. Kenapa juga menuntutku bertanggungjawab atas janinmu. Kita kan melakukan itu atas dasar suka sama suka. Digugurkan juga bisa, aku juga sanggup membiayai. Huh…
Ia berhenti sejenak memandang sebuah bangunan yang beratapkan kubah seperti bakpaw, dengan hiasan bulan dan bintang diatasnya. Ia sudah lupa kapan terakhir kali ia menginjakkan kaki ke bagunan suci itu sebelum ia berpindah keyakinan. Ada baiknya mungkin sebelum mati melakukan pengakuan dosa terlebih dahulu. Siapa tau dapat petunjuk, batinnya. Kemudia ia memasuki pelataran bengunan itu. Ia membasuh muka, rambut, tangan dan kaki kemudian menaiki undakan. Ia berlutut dan mengatupkan kedua tangan didepan dada.
Tuhan, maafkan aku selama ini melupakanMu dan telah berpaling dari ajaranMu. Soalnya aku agak kerepotan dengan larangan-laranganMu. Tapi bagaimanapun aku juga pernah menyembahyangi Engkau sewaktu kecil. Mungkin Engkau berkenan mengutus malaikat maut yang baik hati untuk membantuku menghadapMu ya Tuhan. Aku kebingungan menentukan cara kematianku. Aku sadar aku banyak berbuat dosa. Kalaupun aku masuk neraka tidak apa-apa, banyak orang-orang yang aku kenal nanti akan bersamaku, aku juga ingin bertemu dengan Sabrina bintang film bokep itu. Tapi aku mohon Tuhan, ijinkan aku sedikit mencicipi nikmatnya surga akhirat sebentaaar saja. Gini-gini aku juga pernah berbuat baik lho. Aku percaya, Engakau Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Jangan lupa permintaanku ya Tuhan, terimakasih sebelumnya Tuhan. Amin.
Ia melanjutkan perjalanannya yang tak tentu arah. Tak berapa lama berjalan ia menemukan bangunan bermenara lancip, dibagian ujung menara ada lonceng dan sebuah simbol dua batang tongkat yang bersilangan tegak lurus. Maaf juga ya Tuhan, aku meganut ajaranmu tapi sembahyang cuma sekali-kali. Tapi aku salut dengan cara kematianmu yang sangat dikagumi umatmu. Aku sedikit lega karena engkau akan menebus dosa umatmu. Terimakasih Tuhan. Dia menyatukan kedua tangannya disepan dada dengan sedikit membungkuk. Kemudian dia melanjutkan perjalanan yang tak tentu arah.
Ia teringat cerita tentang suatu kepercayaan yang mempercayai adanya reinkarnasi. Bahwa jika ada makhluk yang berbuat jahat semasa hidup dan jika ia nanti mati, kemudian lahir kambali ke dunia, maka ia akan menjadi makhluk yang lebih rendah dari kehidupan sebelumnya. Jika tidak ada perubahan dikehidupan mendatang ia menjadi makhluk yang paling randah yaitu serangga pemakan kotoran. Jika itu benar adanya, ia tidak bisa membayangkan ia akan menjadi apa setelah mati.
Rintik-rintik hujan mulai jatuh dari angkasa. Tiba-tiba kilat berkedip mengerikan, sesaat kemudian suara petir menggelagar memekakakan telinga. Lelaki itu berhenti berjalan sesaat, memejamkan mata dan menutup telinga. Deru suara petir tadi memberinya ide. Aha … gimana kalau bunuh diri dengan pistol? Pistol dirumah pelurunya masih ada beberapa hasil dari memalak polisi tolol itu. Aku akan menembak kepalaku saat aku dikerubungi wartawan yang selalu mengusikku dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh itu. Ah … ide yang sangat brilian. Dengan begitu kematianku akan diabadikan lewat vidio dan tersebar kemana-mana. Pasti menghebohkan. Ha … ha … ha … Ia tertawa puas, sangat keras, keras sekali. Tapi sekarang ia sudah tidak tau dimana ia berada.
Ketika ia membalikkan badan ingin kembali, sebuah cahaya besar diiringi deru mesin melaju kencang ke arahya. Dan DUAR … ia terpental jatuh ke aspal. Lelaki pendosa itu terkapar beberapa detik dan masih sempat melihat sebuah roda hitam besar didepan matanya. Dan KRENYEK … tubuhnya remuk digilas roda depan sebuah bis malam yang ugal-ugalan. Belum puas dengan itu, sepasang roda belakang membantu melumat tubuh lelaki pendosa itu. Tubuhnya nyaris merekat dengan aspal jalanan. Remuk. Cairan merah mengalir di sekitar mayat itu. Tak ada lagi kematian elegan yang didambakan. Dan tiada satupun malaikat maut yang berbaik hati. Kematian tak usah dijemput, ia akan datang dengan sendirinya tanpa diduga.
Beberapa detik kemudian hujan yang sangat deras mengguyur mayat lalaki pendosa itu. Petir, guruh dan kilat menyambar-nyambar. Alam seolah tidak menerima kehadirannya, baik mayat maupun ruh lelaki pendosa tersebut baik didibumi dan di akhirat. Bangkai lelaki pendosa itu busuk, sangat busuk dan bentuknya teramat menjijikkan.
Sumber : http://heniswadesi.wordpress.com/2010/11/09/lelaki_pendosa_menjemput_kematian/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar