Umi Farida Blog

Selamat datang di blog ku

Jumat, 07 November 2014

Cerpen : Pujian Menjelang Kematian

Ayam tetangga berkokok lantang.
Aku terjaga dari tidur. Di sampingku
pria yang menemaniku selama 30
tahun mendengkur pelan. Jemariku
menyentuh rambutnya. Aku sisir
dengan jari rambutnya yang sedikit
sekali helaian hitamnya.
“Bangunlah sayang, kita sholat
bersama,” bisikku di dekat
telinganya.
Ia menggeliat, mengerjapkan mata
sipitnya. Melihat lingkaran wajahku
ia tersenyum.
Kristal embun telah mengering di
dedaunan. Silau mentari menyirami
halaman dan kamar tidurku yang
jendelanya setengah terbuka. Aku
berdiri di depan cermin, mengolesi
bibir dengan lipstik merah tua. Aku
rapatkan bibir atas dengan bibir
bawah, mereka menyatu dan aku
ratakan warna lipstik di bibirku yang
mengkerut. Baju gamis berwarna
senada dengan lipstik telah
membalut tubuhku. Rambut putihku
kututup dengan selendang warna
hitam. Sebelum meninggalkan kamar
aku semprotkan parfum yang
dihadiahi oleh cucuku.
Pintu jendela kamar kembali aku
tutup. Aku memandang langit
kebiruan, menghirup udara. Indra
penciumku menangkap baunya. Bau
yang kian hari terasa dekat. Aku
picingkan mata, menikmati hingga
seluruh syaraf yang ada ditubuhku.
Aku menggigil.
“Tunggulah sebentar, aku masih
menunggu pujian dari suamiku.”
Di luar suamiku menunggu sambil
membaca buku. Kaca mata
terpasang gagah membingkai kedua
mata sipitnya. Aku remas ujung
selendangku, menenangkan hati
yang mulai menari. Aku kembali
masa ABG. Masa kejayaan saat
dirubungi lelaki yang mengagumi
parasku. Pelan aku melangkah, aku
tak mau ia memandangiku saat
berjalan. Aku takut karena gugup.
Semenjak bau kematian aku rasakan
sering bertandang kerumah kami,
aku semakin muda rasanya. Sifat
dan tingkahku kembali pada saat
remaja.
Suamiku tak sadar aku telah di
belakang punggungnya. Maka aku
berdehem. Ia membalik, aku
menahan nafas. Menghitung
mundur, saat ia berucap tentang
aku yang cantik hari ini. Aku
menunggu responnya. Lama ia
menatap mataku, ia buka
kacamatanya yang beresep. Aku
tersenyum menahan nafas, dan
akhirnya bibir mungilnya berucap,
“Mari kita pergi.”
Ya, hanya tiga kata. Aku pendam
rasa kecewa. Tak ambil pusing
dengan suamiku yang telah berubah
saat pacaran dulu. Padahal ini baju
yang paling ia senangi jika aku me­
makianya. Tak mampukah ia
mengucapkan tiga kata yang
kuharap. Aku ingin ,mendengar ia
berucap, “Kau cantik sayang.” Lalu
mencium keningku.
Benar mengada-ada inginku. Tak
mungkin diumur kami yang senja ini
masih berlaku seperti cucu-cucuku
yang sedang bergelora cinta monyet­
nya. Aku mengamit lengannya dan
masuk ke dalam taksi. Siang ini aku
mengajaknya makan di luar. Di
restoran tempat kami dulu. Tiba di
restoran kami duduk berhadapan.
Lagi-lagi ia menghujam mataku
dengan tatapan lembutnya.
Mungkinkah ini waktu yang tepat ia
memujiku. Aku balas menatap
hangat.
“Ayolah priaku, puji aku sekarang.
Biar tenang saat aku mati,” bisik
hatiku.
Tatapan berlalu, pujian tak kunjung
kudengar. Aku sedih.
*
Aku tak tahu dari mana datangnya
perasaan yang kini aku yakini
kebenarannya. Aku merasa tinggal
seratus enam puluh delapan jam
lagi bersama keluargaku terkasih.
Tapi aku tak mampu
menceritakannya kepada siapa pun,
termasuk lelaki yang kucintai. Benar
ucap nenekku dulu, ssat ajal
semakin dekat hanya kita yang tahu.
Kita merasakannya. Maka timbullah
keinginan yang aneh-aneh dari diri.
Berharap orang disekililing
mengabulkan harapan itu.
Aku hanya ingin dipuji oleh
suamiku. Rindu sekali aku pada
pujian mesranya yang tak norak itu.
Tapi gengsi aku untuk memintanya.
Aku ingin tulus dipuji. Tulus meng­
ucapkan aku masih secantik dulu.
Secantik wanita yang masih bau
kencur. Lugu dan mempesona.
*
Dua puluh empat jam telah
berkurang. Kini tinggal seratus
empat puluh empat jam aku
menanti pujian dari suamiku hingga
malaikat membawaku pergi. Aroma
kematian perlahan tapi pasti
semakin terhidu olehku. Kemarin
baru di rumah tetannga, kini telah
sampai di perkarangan. Takut menye­
limutiku saat akhirnya bau itu
berhadapan denganku.
Sama seperti kemarin, aku semakin
laju berhias di depan cermin.
Memilih baju terbaik di lemari. Baju
yang dulu kujaga dan sayang
memakainya, kini aku kenakan. Buat
apa baju indah ini masih utuh di
lemari sedangkan siempunya tak lagi
bisa memakainya.
Hari ini aku pakai baju muslim
berwarna ungu tua. Aku serasikan
dengan jilbab berpayet dengan
warna ungu yang lebih lembut. Aku
ingin cantik, aku ingin wangi, dan
aku ingin dipuji. Suamiku tak
bertanya akan tingkahku. Ia
menikmati, memperhatikan,
membiarkan, tapi tidak berkomentar.
Hanya mata sipitnya semakin
menyipit saat memandangku.
Sesekali menjelang tidur ia
mengecup halus keningku. Dan
malam berlalu sunyi.
*
Dulu aku tak hirau dengan jam yang
jarum pendek dan panjangnya
menunujuk ke angka berapa. Paling
aku hanya melihat jam untuk
memastikan waktu subuh, waktu
zuhur, waktu ashar, waktu maghrib,
dan terakhir waktu isya.
Lain hal dalam seminggu menjelang
kematian, setiap detik, setiap menit,
aku melihat jam. Menghitung sisa
waktu aku bercengkrama dengan
kehidupanku yang telah mencapai
enam puluh tahun. Lima tahun
lebih muda dari suamiku.
Penampilanku cantik setiap
waktunya. Aku memasakkan makanan
yang kami sukai. Setiap hari aku
memasakkan untuk suamiku yang
baik. Padahal sejak umurku men­
capai lima puluh tahun, kami
sepakat untuk katering. Suamiku tak
membolehkanku terlalu lama di
dapur, kamar mandi tempat menyuci
pakaian dan ruang setrikaan.
Suamiku sungguh peduli. Walu tak
terucap aku tahu sayang dan
cintanya begitu dahsyat untukku
seorang.
*
Aku nikmati hidupku yang lebih
kurang tinggal empat puluh delapan
jam. Aku ajak suamiku untuk
menemani jalan santai di pagi nan
bersih. Belum ada debu, belum ada
kejahatan, masih suci keadaan di
pagi hari. Walu kelihatan tak berse­
mangat, ia tak mampu berucap
tidak. Patuh menamaniku. Disela
kami berjalan kadang ia
membacakan cerita lucu tentang
seorang sufi. Aku tak paham
ceritanya, bagiku ini membutuhkan
pikiran buat memahami cerita ini.
Tapi suamiku bilang ini lelucoan. Ia
bercerita, lalu terbahak. Aku sangat
menikmati ini, bagiku inilah yang
terlucu. Melihat kebodohanku dan
ketololannya.
*
Sisa hari aku habiskan untuk
menanti pujiannya. Sungguh aku
menginginkan pujian tulus darinya
sebelum kematian menjemputku.
Oalah apa susahnya mengutarakan
kata manis buat aku, istrinya. Aku
tak mau kalah dengan waktu,
arangku belum patah. Aku masih
berdiri tegar. Berusaha hingga
mulutnya bergerak menyanjungku.
Baju bagus yang kumiliki telah
kupakai semua. Aku meminta putri
sulungku membelikan beberapa
gamis dan baju kurung untukku. Aku
tak ingin mati nanti dalam keadaan
payah. Malu aku bertemu dengan
malaikat yang berupa elok dan
masih segar.
Aku selalu tampil cantik, menurutku.
Tidak tahu aku komentar mereka
yang muda. Rambut memutih dan
kulit keriput, apa masih pantas
dibilang cantik. Tapi putriku
bertutur sisa cantik saat remajaku
masih membekas diparasku hingga
kini. Ini membuatku percaya diri.
*
Tinggal dua puluh empat jam waktu
tersisa. Bau kematian semakin
menyengat. Hari pertama bau
kematian di rumah tetanggaku. Hari
kedua kematian hadir di halaman
rumahku. Hari ketiga ia bersiliweran
di ruang tamu. Kadang aku bisa
merasakan kematian duduk di sofa,
menekan tombol-tombol pada tele­
pon rumah. Hari keempat dan
kelima bau kematian hadir di ruang
keluarga. Ia menemani saat aku
menonton sinetron atau saat ayah
dari anak-anakku menyaksikan
pertandingan bola disiaran TV
swasta.
Hari keenam bau kematian
membuntutiku ke dapur. Aku
rasakan ia memperhatikan setiap
gerak-gerikku. Ketika aku membasuh
pantat panci dengan abu gosok.
Mengiris bawang merah, hingga
mataku perih dan berair. Bila atap
rumahku telah diselimuti langit
kelam, bau kematian menyelusup
kamar tidurku. Mungkin ia ingin
melihat apa yang sedang kami
lakukan. Terkadang aku ingin
membuat bau kematin cemburu saat
malam. Aku bergelayut maja pada
priaku, meminta ia mengecup lama
keningku. Saat itu aku me­
nyunggingkan senyum.
“Kau lihat betapa aku beruntung
memiliki suami seperti dirinya,”
ucapku pada bau kematian. Tak
peduli aku dia marah atau balik
mengejekku. Begitulah hari-hariku
dengan suami dan bau kematian
menjalani hidup hingga kini hari
terakhir batas aku hidup.
Tidak kubuang waktu hari ini. Aku
menyakini matiku sekarang. Tapi aku
tak tahu kapan persisnya. Pagi
inikah? Siangkah? Senjakah? Atau
malam? Ntah? Aku ingin
memanfaatkan waktu yang kumiliki.
image
Aku memakai pakaian hitam dan
selendang hitam. Setiap jamnya aku
berganti pakaian dan riasan wajah.
Busana hitam dengan payet atau
motif bunga berbeda. Aku terus
menyibukkan diri. Seolah aku
sedang tidak menanti kematian. Aku
ingin berpura-pura surprise. Aku
menyapu, melap debu pada rak
buku suamiku, bergelayut manja
atau menggodai suami. Pokoknya
aku tak mau diam. Aku bawel dan
agresif.
Kekasihku seperti biasa hanya diam,
menyipitkan mata yang memang
telah sipit, mengecupku bila aku
merengek ingin dikecup, hanya satu
yang belum ia lakukan selama tujuh
hari ini, yaitu memujiku.
“Ayolah sayang, bilang kalau keriput
di wajahku membuat aku terlihat
sexy,” gumamku sembari
menatapnya lembut. Ia tak
mendengar, kembali ia acuh setelah
memandangku dalam.
Aku menukar bajuku dengan motif
bunga berwarna hitam. Lipstik
kembali aku poles. Wangi melati
yang lembut aku semprotkan pada
tengkuk. Aku bercermin, dan aku
tahu bau kematian berdiri di
sampingku. Kami sama-sama
memandang cermin yang sama.
Cermin berbentuk lingkaran,
dibingkai kayu jati yang berukir itik
pulang patang. Aku tersenyum sinis
pada kaca. Kemudian berlalu.
Aku keluar, suamiku masuk ke
dalam. Padahal aku ingin
menjumapinya dan menunggu ia
memujiku. Gemas aku mendapat
respon suamiku yang tak mau
memuji. Ia bungkam pujiannya
untukku. Jam di ruang tamu
berdentang dua belas kali. Sebentar
lagi adzan zuhur. Sebentar lagi
waktuku hidup. Aku sedih bahkan
sangat sedih. Tapi aku tak mau me­
nitikkan butir mataku. Aku tak ingin
bau kematian menertawaiku. Tujuh
hari aku menahan tangis.
Aku menyusul suamiku ke kamar, aku
ingin memeluknya. Atau aku mati
dalam dekapannya. Keduanya
menarik bagiku. Aku lihat suamiku
tertidur. Aku dekati, duduk aku di
samping pembaringannya. Tidurnya
tenang dan nyenyak. Lama aku
memandang tak melihat suamiku
bernafas atau mendengkur keras
seperti biasanya. Aku pegang
nadinya. Aku tak nyakin.
Kecemasanku melanda, bau kematian
telah memudar. Ia tak lagi bersama
kami. Aku guncang badan yang
dibaluti koko putih. Ia masih tak
terjaga. Tetap diam, nyenyak dan
acuh.
Tujuh hari tak ada airmata
menggenang. Kini pertahananku
bobol, ia menang, ia menggenang.
Bulirnya jatuh pada bibir mungil
suamiku. Egoisnya aku pada sang ke­
pala keluarga.
“Bangunlah sayang, aku ingin
memujimu menjelang kematianmu,”
aku meratap, memekik, dan
berteriak. Seperti bayi yang tak
berjumpa dengan asi ibunya.
“Pujian menjelang kematianmu
belum kuucap. Bangunlah cintaku,”
lolongku disamping raga suamiku
yang tenang.

Sumber : http://fandaffandi.wordpress.com/2013/12/02/pujian-menjelang-kematian/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar