"Seperti kemarau yang merindukan hujan, aku mengininkanmu dalam diam."
Sejak awal pertemuan itu, aku merasa ada yang aneh pada diriku kala melihatmu. Ada sesuatu yang bergetar dalam diriku. Entah apa, aku tidak tahu dan tak pernah ingin tahu. Aku anggap saja semua itu bagian dari angin lalu.
Aku suka mencuri-curi kesempatan untuk melihatmu. Melihatmu tersenyum dan tertawa, adalah salah satu pemandangan favorit bagiku. Aku pernah berharap, kala aku menoleh untukmu, kala itu juga kau sedang memandangku. Bukankah itu mustahil?
Aku tidak pernah menginginkah rasa ini tumbuh. Tapi perasaan ini tak pernah bisa memilih kepada siapa ia akan berlabuh. Aku juga tidak begitu yakin kau akan meresponku. Tunggu, merespon? Ah aku ini bisa saja. Sekedar melirikku saja kau tidak pernah. Apalagi merespon?
Aku juga tahu, seleramu tinggi. Sedangkan aku hanya perempuan tanpa kelebihan yang kau inginkan. Paras cantik tak ada padaku. Kepopuleran juga bukan milikku. Lantas, alasan apa yang bisa membuatmu jatuh padaku? Tidak ada.
Hari-hari kulewati dengan memandangimu dari kejauhan. Bukankah hanya itu yang bisa kulakukan? Aku ini seorang pengagum, bahkan bisa dikatakan pengagum rahasia yang tidak kau ketahui. Bagaimana bisa aku mendekatimu –bahkan mendapatkanmu –dengan caraku seperti ini? Waktulah yang bisa menjawab.
Senyum pertama yang kau berikan kepadaku. Sungguh, aku mengingat semua itu. Bahkan aku bisa memperkirakan berapa derajatkah sudut senyumanmu. Aku harap semua ini akan berlangsung lama. Kau tersenyum padaku, sesuatu yang istimewa.
Setiap pagi aku berharap, nanti jika aku bertemu denganmu, kau akan menyapaku lebih dulu. Kulewati koridor sekolah dengan langkah gontai, dan…hemh, kau tersenyum dan mengajakku bicara? Apakah aku ini hanya mimpi? Setelah bergelut dengan pikiran asingku, aku tersenyum. Kau istimewa, senyummu adalah bahagiaku. Sebutan namaku oleh bibirmu itu yang menggelitik ulu hatiku. Aku suka itu.
Bukan hanya senyum, bahkan kau mulai mengajakku bercanda? Sungguh semua ini bagai mimpi. Aku tidak pernah menyangka bisa seakrab ini denganmu. Kau yang dulu ku puja lewat kata hati, sekarang sudah ada di depan mata.
Pesan singkatmu menambah lengkapnya bahagiaku. Setiap malam kau mengirimkan pertanyaan itu-itu melulu, dan aku tidak pernah bosan. Satu kata, dua kata, satu kalimat, hingga kau menyebut namaku. Mungkin aku akan berjanji kepada diriku sendiri, aku tidak akan pernah menghapus pesanmu itu.
Tatapanmu lain, aku merasakan itu. Sudut matamu itu yang tak pernah lepas dari pandanganku. Aku merasa ada yang aneh ketika kau melihatku. Ketika kau mengajakku bicara. Ketika aku beberapa kali menangkapmu sedang memandangku. Mungkin ini kebetulan. Mungkin juga ini memang kenyataan.
Namun aku takut, semua ini hanya opiniku belaka. Aku takut jika kau menganggap semua ini tak berarti apa-apa. Aku takut jika perasaan yang menggebu ini tak mungkin bisa terbalaskan. Jika pada akhirnya kau memang tak memiliki rasa itu terhadapku, aku hanya ingin kau tahu. Bahwa disini, aku mengagumimu dalam diam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar