Umi Farida Blog

Selamat datang di blog ku

Kamis, 30 Oktober 2014

Cerpen Kesurupan

    Kami cukup dibuat takjub dengan photo yang tertera di layar handphone Ika. Mataku bahkan tak berhenti membulat sama halnya dengan bibirku yang terlongo kaget.

“Kamu serius photo sendirian?”

“Kayaknya itu bayangan deh. Penyinaran, kali.”

Ika menggeleng cepat, “Enggak. Aku tadi photo sendirian kok. Kalau nggak percaya, silahkan tanya Nita.”

Kami kompak menengok ke arah Nita. Gadis dengan kuncir satu itu mengangguk tegas, “Iya, aku lihat sendiri kok kalau Ika photo sendiri di depan pintu. Aku kok yang motoin.”

Lalu siapa sosok berambut panjang di samping Ika? Dalam photo tersebut, tampak Ika yang sedang bergaya dengan di belakangnya tampak separuh kepala wanita berambut panjang. Ia tidak terlihat seperti anak sekolah karena pakaiannya kuning kusam. Apalagi wanita itu terlihat transparan wajahnya. Tembus pandang, hanya remang-remang. Aku berpikir keras. Mungkinkah pencahayaan? Atau mungkin, memang betulan?

Banyak yang bilang sekolah kami berpenghuni. Aku bukan tipe orang yang percaya hal seperti itu sih. Tapi akhir-akhir ini, setelah separuh dari sekolah kami dibongkar untuk diperbaiki, banyak sekali anak perempuan yang kerasukan setan alias kesurupan. Alasannya katanya, penghuni sekolah kami marah karena tempatnya dirusak. Aneh, padahal akan diperbaiki menjadi lebih layak. Rupanya penghuni sekolah lebih suka atap miring nyaris roboh. Entahlah.

Banyak pula desas-desus yang mengatakan bahwa Caitlin telah kembali. Sebagai informasi, Caitlin adalah lulusan sekolah kami sekitar tahun 70an, ketika sekolah kami baru awal dibangun. Gadis itu campuran Belanda dan Jawa. Ia tampak berbeda sehingga keberadaannya diasingkan oleh beberapa kalangan. Ia bahkan mengalami bullying. Bahkan tersiar kabar yang mengatakan bahwa ia dilucuti kemudian dibunuh di kamar mandi sekolah.

“Apa kau mengedit photo itu, Ika? Kita kan tidak tahu keasliannya,” tanya Tio, ketua kelas kami itu tampak tidak percaya.

Ika menyilangkan jari, “Swear! Aku nggak bohong. Ini asli.”

Beberapa teman kami tampak bergidik ngeri, kemudian saling berbincang dengan teman dan berjalan menjauh dari Ika. Kujamin, setelah ini kabar akan menyebar ke seluruh sekolah.

“Kamu percaya padaku kan, Mil?”

Aku tersentak ketika tersadar bahwa Ika menanyaiku, satu-satunya siswi yang masih berdiri di dekatnya. Aku hanya mengangkat bahu. Jujur saja, aku tidak tahu ini benar atau tidak.
***
Aku masih asyik mengunyah keripik kentang ketika Ika tiba-tiba berlari masuk ke kelas dengan raut wajah yang ngos-ngosan.

Ia mengatur napas kemudian berdiri tepat di depan kami, “Perhatian! Teman-teman, ada tiga gadis kerasukan, lagi, siang ini. Mereka sekarang ada di mushola.”

Beberapa siswa segera berhambur ke luar, kuduga mereka ingin tahu siapa yang kerasukan kali ini dengan melihatnya secara langsung. Sedangkan aku dan beberapa teman, mengelilingi Ika untuk menginterogasinya.

“Siapa, Ik?”

“Aku nggak tahu. Yang jelas dia kelas X…”

“Serius. Dari kelas X apa?”

“Nggak tahu deh, aku juga baru tahu pas nggak sengaja lewat depan mushola.”

“Haduh, serem banget sih.”

“Ih, amit-amit. Jangan sampai di kelas kita ada yang kena.”

“Tahu nggak kenapa mereka bisa kerasukan?” seloroh Ika.

Kami semua saling berpandangan singkat, kemudian cepat-cepat menimpali, “Kenapa? Kenapa, Ik? Apa karena Caitlin telah kembali? Karena rumahnya di rusak ya?” Kami berisik hingga Ika tampak gelagepan menjawab yang mana dahulu.

Tio segera menengahi, “Ssstttttt!” ditempelkannya jari telunjuk ke bibirnya, “Biar Ika jelasin dulu.”

Kami kompak diam. Untuk beberapa detik kemudian, hanya deru nafas memburu Ika yang terdengar. Kemudian setengah berbisik ia berkata, “Itu karena mereka main-main di kamar mandi.”

“Maksudnya?”

“Dua di antara mereka tuh lagi ngerjain temannya di kamar mandi. Ya, buat kejutan ulang tahun begitu. Nggak tahunya temannya itu mereka kunci di kamar mandi yang sama dengan tempat pembunuhan Caitlin.”

“Kok bisa sih? Emang di kamar mandi yang mana?”

“Sebelah ruang TU.”

“Aduh, kamar mandi di sana kan bau banget. Eh, tapi kok kamu bisa tahu banyak tentang begituan sih, Ik?”

Ika tersenyum kecut, “Aku ini indigo sejak lahir. Jadi bisa lihat begituan.”
“Kok kamu omongin sih? Nggak takut apa kalau kamu yang kena? Biasanya di film horror gitu. Yang bilang bakalan kena. Hi.”

“Aku nggak mungkin kerasukan. Mereka kan bisa komunikasi sama aku tanpa merasuki.”

“Seriusan?”

“Hebat kamu, Ik!”

“Coba gih bicara sama Caitlin buat berhenti gangguin kita. Eh, terus, Ik, satunya lagi karena apa?”

Ika diam sesaat, “Yang satunya itu karena dia nemuin parfum di kamar mandi, terus ia bawa pulang ke rumah buat dipakai.”

“Parfum apa?” timpalku ikut penasaran.

“Nggak tahu, Mil. Tapi katanya sih parfum lama gitu. Sekarang udah nggak beredar di pasaran. Kayaknya sih parfum import. Dan diduga keras itu parfum Caitlin.”

“Konyol banget sih. Masa iya parfum jaman segono masih ada?” Wenda mencibir. Tanpa menunggu penjelasan Ika, ia sudah nggeloyor pergi duluan.

“Kamu nggak percaya, Wen? Hati-hati kena lo,” teriak Ika membuat kami serempak nyengir kuda. Wenda tersenyum sinis dan berlalu.

Tak mau membiarkan tanpa adanya percakapan, Nita membuka mulut, “Terus biar nggak kena begituan gimana? Apa kita harus minta maaf ke Caitlin?”

“Masa iya sih begitu?”

“Jangan-jangan minta sesajen?”

“Atau tumbal?”

“Ih serem.”

Kemudian percakapan berhenti seiring perginya kita menjauh dari Ika. Seperti itu, sama seperti kemarin hari. Aku sendiri memang masih tidak percaya dengan hal seperti itu walau aku yakin bahwa ghaib itu ada. Bukan hanya manusia yang Tuhan ciptakan di bumi ini.
***
Sengaja, malam harinya aku mencari beberapa informasi tentang kesurupan. Mungkin bisa sedikit mengobati rasa penasaranku yang berlebihan.

“Gejala kemasukan setan kerap terjadi ketika seseorang berada pada tempat dan waktu yang salah. Biasanya seseorang yang kemasukan setan tersebut pikirannya dalam keadaan kosong, kondisi tubuhnya sedang lelah serta iman yang kurang kuat.
Keadaan ini akan dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh kekuatan gaib yang biasanya tidak dapat terkendali oleh orang yang kesurupan itu.”

“Banyak alasan kenapa mahluk halus merasuki tubuh manusia. Biasanya mahluk gaib tersebut akan merasuk ketubuh manusia jika lingkungan atau tempat tinggalnya diusik oleh mahluk lain baik manusia atau binatang,” bacaku panjang lebar.

Tulilutut…..

Kulihat dilayar kaca hape tertera besar, “Ika,” dengan gambar amplop di depannya.

Teman-teman, Wenda mengalami kecelakaan motor siang tadi. Dengar-dengar tangannya patah. Mohon doanya ya, teman. Aku juga baru tahu dari Diana. Oia satu lagi, kalian jangan macam-macam sama Caitlin atau bahkan meragukan dia. Dia bisa datang tiba-tiba. Wenda salah satu korban buktinya. Hati-hati!

Glek! Nafasku tercekat. Apakah omongan Ika ada benarnya?

“Kamu nggak percaya, Wen? Hati-hati kena lo.” Itu adalah waniti-wanti Ika tadi di sekolah. Secepat itukah Caitlin menghakimi Wenda? Aku buru-buru istigfar. Tuhanlah penentu kejadian. Bukan Caitlin. Aku bergidik ngeri. Segera kumatikan komputer dan menuju ke ruang keluarga. Menghampiri Kak Rio, kakakku, yang sedang asyik menonton MotoGP.
***
“Udah dengar kabar, belum?” tanyaku pada Siska, tetanggaku yang juga teman SMP Wenda dahulu. Kebetulan jalan menuju sekolah kami sama sehingga aku selalu berangkat bersamanya.

“Apa?” tanyanya dengan mata melotot ke layar hape, sibuk ber-sms-ria.

Aku mengernyitkan sebelah alis, “Wenda kecelakaan.”

Seketika Siska menengok dan memasukkan hapenya ke saku seragam, “Hah? Kata siapa?”

“Aku semalam dengar kabar dari Ika. Katanya tangan Wenda patah, lagi.”

“Ika…Ika yang rambutnya keriting itu?”

Aku mengangguk, “Iya, teman SMP kamu dulu.”

Ia mendadak pasang muka masam, “Jangan terlalu percaya sama Ika. Dia tukang kibul.”

“Masa sih, Sis?”

Ia kembali menekan tuts hape, “Heeh. Dulu malah dia sering bohong soal mistis. Katanya perpustakaan sekolah kita dulu angker soalnya ada kisah pemerkosaan sekaligus pembunuhan di sana. Konyol banget.”

“Emil!”

Kulihat Wenda mengendarai sepeda motor dari perempatan. Ia menuju ke arah kami.

“Loh, dengar-dengar kamu habis kecelakaan motor ya, Wen?” tanyaku bingung.

Ia terkekeh kecil, “Cuma kecelakaan kecil.” Ia menunjuk kakinya yang telanjang tanpa sepatu, hanya mengenakan sandal. Ada beberapa goresan luka di sana.

“Nggak patah tangan?” lanjutku yang justru ditimpali dengan tinjuan kecil oleh Wenda.

“Jahat banget sih sama teman sendiri. Aku baik-baik, tahu.”

“Tuh kan?” ujar Siska.
***
“Wenda!” teriak teman-teman sekelas ketika aku dan Wenda datang. Rupanya mereka mencemaskan keadaan Wenda usai kecelakaan kemarin hari. Tampak dari perbincangan singkat mereka yang kudengar. Ah, semuanya ternyata mendapat sms yang sama denganku dari Ika perihal patah tangan tersebut. Mereka saling menatap bangku Ika dengan kesal.

“Gila ya! Emang siapa yang bilang aku patah tangan?” Wenda pun ikut geregetan.

“Si Ika. Katanya itu juga karena kamu nggak percaya sama parfum Caitlin kemarin.”

“Enggak mungkin. Kemarin itu karena aku emang naik sepeda sambil sms-an. Salah aku sendiri kok. Nggak ada faktor mistis deh kayaknya,” terang Wenda.

“Ah dasar si Ika, kena getahnya baru dia tahu rasa,” ujar Ayu.

Tio memekik, “Huss!”

“Terus mana si Ika sekarang?”

Kami semua kompak mengedarkan pandangan ke seluruh sisi kelas.

Nita berdiri dari duduknya dan angkat tangan, “Dengar-dengar sih semalam Ika ngigau nggak jelas, gitu, dengan mata melotot dan mulut berbusa. Orang tuanya bawa dia ke Kyai.”

“Wah, getahnya suka ngibul tuh.”

Beberapa teman datang mengelilingi Nita. Aku tidak ikutan kali ini. Hanya mematung di tempat. Rupanya terjadi pergantian jabatan sebagai pengibul baru. Baiknya aku hanya membiarkannya saja. Malas ah ikut campur dan memikirkan. Bikin aku ketakutan nggak jelas saja. Menyita waktu.

Sumber http://naeliltheclimber.wordpress.com/2013/10/29/cerpen-dimuat-di-radar-banyuwangi-27-oktober-2013/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar