Cuaca hari ini panas sekali, saking panasnya membuat tenggorokan ku kering. Rencananya aku ingin membeli minuman dingin ke swalayan di depan komplek. Saat aku keluar pintu rumah, tiba – tiba ada suara orang berteriak di rumah tetangga. Aku pun penasaran dan melihat situasi disana.
Ternyata yang tadi berteriak adalah pembantu tetanggaku yang bernama Bella. Aku biasa memanggilnya mbak Bella. Ternyata ia kesurupan. Aku pun iseng – iseng bertanya padanya “kamu kesurupan ya?”. Lalu ia menjawab “kamu lucu deh, tapi aku gak bisa keluar dari rumah , ada banyak kaktus”. Lalu aku pun segera pergi karena takut. Saat aku baru saja melangkahkan kaki ku, dia berteriak ” "JANGAN! TUHKAN KAKI KAMU BERDARAH! KAMU UDAH BENER TADI DIATAS BATU" padahal aku saat itu ada di aspal dan tidak sama sekali ada kaktus disana dan aku pun tidak berada diatas batu. Aku terheran dan iseng menggoda setan yang ada ditubuh pembantu itu . Aku pun meloncat-loncat kesana kemari dan si setan itu menangis –nangis sambil berteriak “JANGAN TUBUH KAMU ROBEK-ROBEK" padahal disana aku tidak kenapa-napa. Tiba-tiba dia melemparkan daun pepaya padaku. Aku pun merobek-robek daun pepaya itu sambil tertawa tidak menentu dan bergegas pergi ke swalayan.
Saat aku kembali dari swalayan, kulihat ada seorang ustadz baru saja datang ke rumah tetanggaku untuk menyembuhkan Mbak Bella yang kesurupan tadi, Aku pun penasaran dan masuk ke rumah tetanggaku. Ustadz menyuruh semua orang keluar. Saat aku melangkah untuk pulang. Tiba-tiba ustadz itu memanggilku untuk masuk “de sini masuk!!” lalu aku pun bertanya “loh emangnya kenapa pak ustadz?” lalu ustadz itu pun menjawab “setan itu minta kamu ada didalam”. Aku kaget dan segera masuk dengan rasa takut dan cemas. Coba bayangkan jika kalian jadi aku, betapa menyeramkannya..
Di dalam, Pak ustadz bertanya pada pembantu tetanggaku itu “dimana Bella?”.Lalu sang setan yang ada didalam tubuh mbak Bella itu berkata “dia ditiban batu besar sekarang dia teriak teriak hahaha” lalu pak ustadz berkata "lepaskan bella keluar kamu dari tubuh bella" lalu si setan itu berteriak "GA AKAN. BELLA SUDAH MATI, SEKARANG SAYA PUNYA TUBUH BELLA, BELLA BISA BEBAS PAKE KUNCI" pak ustadz pun bertanya "dimana kunci itu?" lalu si setan itu menjawab "DAUN PEPAYA TADI YANG SAYA LEMPARIN KE DIA" sambil menunjukku dengan muka menyeramkan. Aku pun teringat dan menyesal bahwa daun pepaya itu tadi dirobek-robek. Lalu si setan itu bicara lagi "saya haus, tolong ambilin minum darah" ustadznya bilang "KELUAR KAMU DARI TUBUH BELLA" dia berteriak kencang "KASIH SAYA MINUM DARAH DULU" lalu ustadz itu minta saya membawakan air panas padaku. Dengan cepat aku membawakan satu Gelas air panas. Lalu ustadz itu membacakan lafadz Al-Quran pada air panas itu, lalu diberikan pada setan itu. Tiba-tiba ia melemparkan gelas nya dan berkata, "GAK MAU SAYA MAU MINUM DARAH".
Tiba-tiba aku teringat bahwa setan akan kebakar jika ia mendengar lafadz Al-Quran. Lalu aku iseng membaca surat At-Tin, dan tiba-tiba setan itu mengejarku dan aku pun berlari-lari ketakutan sambil membaca Ayat Kursi.“SINI KAU SINI KAU !!!” katanya sambil mengejarku. Untung ustadz itu berhasil menangkap si setan dan menyuruh satpam untuk memegangnya agar tidak lari lagi. Lalu si setan itu kejang-kejang sambil berteriak “"SAYA MAU HIDUP SAYA MAU MINUM DARAH SAYA GAK MAU KELUAR HAHAHAHAHA" Lalu orang-orang masuk dan semuanya membaca ayat kursi. Pembantu kesurupan itu yang tadinya kejang-kejang tiba-tiba pingsan. Tak lama kemudian Pembantu itu sembuh dan menangis-nangis sambil berkata “"saya berat ditiban batu saya takut liat semua sekeliling saya…". Aku pun segera pulang ke rumah dengan lemas dan menyesal karena tadi sebelum pergi ke swalayan aku sempat menjahilinya. Hari ini benar-benar menyeramkan dan aneh
Sumber http://virnaderani.blogspot.com/2013/11/cerpen.html
Umi Farida Blog
Selamat datang di blog ku
Kamis, 30 Oktober 2014
Cerpen Kesurupan
Kami cukup dibuat takjub dengan photo yang tertera di layar handphone Ika. Mataku bahkan tak berhenti membulat sama halnya dengan bibirku yang terlongo kaget.
“Kamu serius photo sendirian?”
“Kayaknya itu bayangan deh. Penyinaran, kali.”
Ika menggeleng cepat, “Enggak. Aku tadi photo sendirian kok. Kalau nggak percaya, silahkan tanya Nita.”
Kami kompak menengok ke arah Nita. Gadis dengan kuncir satu itu mengangguk tegas, “Iya, aku lihat sendiri kok kalau Ika photo sendiri di depan pintu. Aku kok yang motoin.”
Lalu siapa sosok berambut panjang di samping Ika? Dalam photo tersebut, tampak Ika yang sedang bergaya dengan di belakangnya tampak separuh kepala wanita berambut panjang. Ia tidak terlihat seperti anak sekolah karena pakaiannya kuning kusam. Apalagi wanita itu terlihat transparan wajahnya. Tembus pandang, hanya remang-remang. Aku berpikir keras. Mungkinkah pencahayaan? Atau mungkin, memang betulan?
Banyak yang bilang sekolah kami berpenghuni. Aku bukan tipe orang yang percaya hal seperti itu sih. Tapi akhir-akhir ini, setelah separuh dari sekolah kami dibongkar untuk diperbaiki, banyak sekali anak perempuan yang kerasukan setan alias kesurupan. Alasannya katanya, penghuni sekolah kami marah karena tempatnya dirusak. Aneh, padahal akan diperbaiki menjadi lebih layak. Rupanya penghuni sekolah lebih suka atap miring nyaris roboh. Entahlah.
Banyak pula desas-desus yang mengatakan bahwa Caitlin telah kembali. Sebagai informasi, Caitlin adalah lulusan sekolah kami sekitar tahun 70an, ketika sekolah kami baru awal dibangun. Gadis itu campuran Belanda dan Jawa. Ia tampak berbeda sehingga keberadaannya diasingkan oleh beberapa kalangan. Ia bahkan mengalami bullying. Bahkan tersiar kabar yang mengatakan bahwa ia dilucuti kemudian dibunuh di kamar mandi sekolah.
“Apa kau mengedit photo itu, Ika? Kita kan tidak tahu keasliannya,” tanya Tio, ketua kelas kami itu tampak tidak percaya.
Ika menyilangkan jari, “Swear! Aku nggak bohong. Ini asli.”
Beberapa teman kami tampak bergidik ngeri, kemudian saling berbincang dengan teman dan berjalan menjauh dari Ika. Kujamin, setelah ini kabar akan menyebar ke seluruh sekolah.
“Kamu percaya padaku kan, Mil?”
Aku tersentak ketika tersadar bahwa Ika menanyaiku, satu-satunya siswi yang masih berdiri di dekatnya. Aku hanya mengangkat bahu. Jujur saja, aku tidak tahu ini benar atau tidak.
***
Aku masih asyik mengunyah keripik kentang ketika Ika tiba-tiba berlari masuk ke kelas dengan raut wajah yang ngos-ngosan.
Ia mengatur napas kemudian berdiri tepat di depan kami, “Perhatian! Teman-teman, ada tiga gadis kerasukan, lagi, siang ini. Mereka sekarang ada di mushola.”
Beberapa siswa segera berhambur ke luar, kuduga mereka ingin tahu siapa yang kerasukan kali ini dengan melihatnya secara langsung. Sedangkan aku dan beberapa teman, mengelilingi Ika untuk menginterogasinya.
“Siapa, Ik?”
“Aku nggak tahu. Yang jelas dia kelas X…”
“Serius. Dari kelas X apa?”
“Nggak tahu deh, aku juga baru tahu pas nggak sengaja lewat depan mushola.”
“Haduh, serem banget sih.”
“Ih, amit-amit. Jangan sampai di kelas kita ada yang kena.”
“Tahu nggak kenapa mereka bisa kerasukan?” seloroh Ika.
Kami semua saling berpandangan singkat, kemudian cepat-cepat menimpali, “Kenapa? Kenapa, Ik? Apa karena Caitlin telah kembali? Karena rumahnya di rusak ya?” Kami berisik hingga Ika tampak gelagepan menjawab yang mana dahulu.
Tio segera menengahi, “Ssstttttt!” ditempelkannya jari telunjuk ke bibirnya, “Biar Ika jelasin dulu.”
Kami kompak diam. Untuk beberapa detik kemudian, hanya deru nafas memburu Ika yang terdengar. Kemudian setengah berbisik ia berkata, “Itu karena mereka main-main di kamar mandi.”
“Maksudnya?”
“Dua di antara mereka tuh lagi ngerjain temannya di kamar mandi. Ya, buat kejutan ulang tahun begitu. Nggak tahunya temannya itu mereka kunci di kamar mandi yang sama dengan tempat pembunuhan Caitlin.”
“Kok bisa sih? Emang di kamar mandi yang mana?”
“Sebelah ruang TU.”
“Aduh, kamar mandi di sana kan bau banget. Eh, tapi kok kamu bisa tahu banyak tentang begituan sih, Ik?”
Ika tersenyum kecut, “Aku ini indigo sejak lahir. Jadi bisa lihat begituan.”
“Kok kamu omongin sih? Nggak takut apa kalau kamu yang kena? Biasanya di film horror gitu. Yang bilang bakalan kena. Hi.”
“Aku nggak mungkin kerasukan. Mereka kan bisa komunikasi sama aku tanpa merasuki.”
“Seriusan?”
“Hebat kamu, Ik!”
“Coba gih bicara sama Caitlin buat berhenti gangguin kita. Eh, terus, Ik, satunya lagi karena apa?”
Ika diam sesaat, “Yang satunya itu karena dia nemuin parfum di kamar mandi, terus ia bawa pulang ke rumah buat dipakai.”
“Parfum apa?” timpalku ikut penasaran.
“Nggak tahu, Mil. Tapi katanya sih parfum lama gitu. Sekarang udah nggak beredar di pasaran. Kayaknya sih parfum import. Dan diduga keras itu parfum Caitlin.”
“Konyol banget sih. Masa iya parfum jaman segono masih ada?” Wenda mencibir. Tanpa menunggu penjelasan Ika, ia sudah nggeloyor pergi duluan.
“Kamu nggak percaya, Wen? Hati-hati kena lo,” teriak Ika membuat kami serempak nyengir kuda. Wenda tersenyum sinis dan berlalu.
Tak mau membiarkan tanpa adanya percakapan, Nita membuka mulut, “Terus biar nggak kena begituan gimana? Apa kita harus minta maaf ke Caitlin?”
“Masa iya sih begitu?”
“Jangan-jangan minta sesajen?”
“Atau tumbal?”
“Ih serem.”
Kemudian percakapan berhenti seiring perginya kita menjauh dari Ika. Seperti itu, sama seperti kemarin hari. Aku sendiri memang masih tidak percaya dengan hal seperti itu walau aku yakin bahwa ghaib itu ada. Bukan hanya manusia yang Tuhan ciptakan di bumi ini.
***
Sengaja, malam harinya aku mencari beberapa informasi tentang kesurupan. Mungkin bisa sedikit mengobati rasa penasaranku yang berlebihan.
“Gejala kemasukan setan kerap terjadi ketika seseorang berada pada tempat dan waktu yang salah. Biasanya seseorang yang kemasukan setan tersebut pikirannya dalam keadaan kosong, kondisi tubuhnya sedang lelah serta iman yang kurang kuat.
Keadaan ini akan dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh kekuatan gaib yang biasanya tidak dapat terkendali oleh orang yang kesurupan itu.”
“Banyak alasan kenapa mahluk halus merasuki tubuh manusia. Biasanya mahluk gaib tersebut akan merasuk ketubuh manusia jika lingkungan atau tempat tinggalnya diusik oleh mahluk lain baik manusia atau binatang,” bacaku panjang lebar.
Tulilutut…..
Kulihat dilayar kaca hape tertera besar, “Ika,” dengan gambar amplop di depannya.
Teman-teman, Wenda mengalami kecelakaan motor siang tadi. Dengar-dengar tangannya patah. Mohon doanya ya, teman. Aku juga baru tahu dari Diana. Oia satu lagi, kalian jangan macam-macam sama Caitlin atau bahkan meragukan dia. Dia bisa datang tiba-tiba. Wenda salah satu korban buktinya. Hati-hati!
Glek! Nafasku tercekat. Apakah omongan Ika ada benarnya?
“Kamu nggak percaya, Wen? Hati-hati kena lo.” Itu adalah waniti-wanti Ika tadi di sekolah. Secepat itukah Caitlin menghakimi Wenda? Aku buru-buru istigfar. Tuhanlah penentu kejadian. Bukan Caitlin. Aku bergidik ngeri. Segera kumatikan komputer dan menuju ke ruang keluarga. Menghampiri Kak Rio, kakakku, yang sedang asyik menonton MotoGP.
***
“Udah dengar kabar, belum?” tanyaku pada Siska, tetanggaku yang juga teman SMP Wenda dahulu. Kebetulan jalan menuju sekolah kami sama sehingga aku selalu berangkat bersamanya.
“Apa?” tanyanya dengan mata melotot ke layar hape, sibuk ber-sms-ria.
Aku mengernyitkan sebelah alis, “Wenda kecelakaan.”
Seketika Siska menengok dan memasukkan hapenya ke saku seragam, “Hah? Kata siapa?”
“Aku semalam dengar kabar dari Ika. Katanya tangan Wenda patah, lagi.”
“Ika…Ika yang rambutnya keriting itu?”
Aku mengangguk, “Iya, teman SMP kamu dulu.”
Ia mendadak pasang muka masam, “Jangan terlalu percaya sama Ika. Dia tukang kibul.”
“Masa sih, Sis?”
Ia kembali menekan tuts hape, “Heeh. Dulu malah dia sering bohong soal mistis. Katanya perpustakaan sekolah kita dulu angker soalnya ada kisah pemerkosaan sekaligus pembunuhan di sana. Konyol banget.”
“Emil!”
Kulihat Wenda mengendarai sepeda motor dari perempatan. Ia menuju ke arah kami.
“Loh, dengar-dengar kamu habis kecelakaan motor ya, Wen?” tanyaku bingung.
Ia terkekeh kecil, “Cuma kecelakaan kecil.” Ia menunjuk kakinya yang telanjang tanpa sepatu, hanya mengenakan sandal. Ada beberapa goresan luka di sana.
“Nggak patah tangan?” lanjutku yang justru ditimpali dengan tinjuan kecil oleh Wenda.
“Jahat banget sih sama teman sendiri. Aku baik-baik, tahu.”
“Tuh kan?” ujar Siska.
***
“Wenda!” teriak teman-teman sekelas ketika aku dan Wenda datang. Rupanya mereka mencemaskan keadaan Wenda usai kecelakaan kemarin hari. Tampak dari perbincangan singkat mereka yang kudengar. Ah, semuanya ternyata mendapat sms yang sama denganku dari Ika perihal patah tangan tersebut. Mereka saling menatap bangku Ika dengan kesal.
“Gila ya! Emang siapa yang bilang aku patah tangan?” Wenda pun ikut geregetan.
“Si Ika. Katanya itu juga karena kamu nggak percaya sama parfum Caitlin kemarin.”
“Enggak mungkin. Kemarin itu karena aku emang naik sepeda sambil sms-an. Salah aku sendiri kok. Nggak ada faktor mistis deh kayaknya,” terang Wenda.
“Ah dasar si Ika, kena getahnya baru dia tahu rasa,” ujar Ayu.
Tio memekik, “Huss!”
“Terus mana si Ika sekarang?”
Kami semua kompak mengedarkan pandangan ke seluruh sisi kelas.
Nita berdiri dari duduknya dan angkat tangan, “Dengar-dengar sih semalam Ika ngigau nggak jelas, gitu, dengan mata melotot dan mulut berbusa. Orang tuanya bawa dia ke Kyai.”
“Wah, getahnya suka ngibul tuh.”
Beberapa teman datang mengelilingi Nita. Aku tidak ikutan kali ini. Hanya mematung di tempat. Rupanya terjadi pergantian jabatan sebagai pengibul baru. Baiknya aku hanya membiarkannya saja. Malas ah ikut campur dan memikirkan. Bikin aku ketakutan nggak jelas saja. Menyita waktu.
Sumber http://naeliltheclimber.wordpress.com/2013/10/29/cerpen-dimuat-di-radar-banyuwangi-27-oktober-2013/
“Kamu serius photo sendirian?”
“Kayaknya itu bayangan deh. Penyinaran, kali.”
Ika menggeleng cepat, “Enggak. Aku tadi photo sendirian kok. Kalau nggak percaya, silahkan tanya Nita.”
Kami kompak menengok ke arah Nita. Gadis dengan kuncir satu itu mengangguk tegas, “Iya, aku lihat sendiri kok kalau Ika photo sendiri di depan pintu. Aku kok yang motoin.”
Lalu siapa sosok berambut panjang di samping Ika? Dalam photo tersebut, tampak Ika yang sedang bergaya dengan di belakangnya tampak separuh kepala wanita berambut panjang. Ia tidak terlihat seperti anak sekolah karena pakaiannya kuning kusam. Apalagi wanita itu terlihat transparan wajahnya. Tembus pandang, hanya remang-remang. Aku berpikir keras. Mungkinkah pencahayaan? Atau mungkin, memang betulan?
Banyak yang bilang sekolah kami berpenghuni. Aku bukan tipe orang yang percaya hal seperti itu sih. Tapi akhir-akhir ini, setelah separuh dari sekolah kami dibongkar untuk diperbaiki, banyak sekali anak perempuan yang kerasukan setan alias kesurupan. Alasannya katanya, penghuni sekolah kami marah karena tempatnya dirusak. Aneh, padahal akan diperbaiki menjadi lebih layak. Rupanya penghuni sekolah lebih suka atap miring nyaris roboh. Entahlah.
Banyak pula desas-desus yang mengatakan bahwa Caitlin telah kembali. Sebagai informasi, Caitlin adalah lulusan sekolah kami sekitar tahun 70an, ketika sekolah kami baru awal dibangun. Gadis itu campuran Belanda dan Jawa. Ia tampak berbeda sehingga keberadaannya diasingkan oleh beberapa kalangan. Ia bahkan mengalami bullying. Bahkan tersiar kabar yang mengatakan bahwa ia dilucuti kemudian dibunuh di kamar mandi sekolah.
“Apa kau mengedit photo itu, Ika? Kita kan tidak tahu keasliannya,” tanya Tio, ketua kelas kami itu tampak tidak percaya.
Ika menyilangkan jari, “Swear! Aku nggak bohong. Ini asli.”
Beberapa teman kami tampak bergidik ngeri, kemudian saling berbincang dengan teman dan berjalan menjauh dari Ika. Kujamin, setelah ini kabar akan menyebar ke seluruh sekolah.
“Kamu percaya padaku kan, Mil?”
Aku tersentak ketika tersadar bahwa Ika menanyaiku, satu-satunya siswi yang masih berdiri di dekatnya. Aku hanya mengangkat bahu. Jujur saja, aku tidak tahu ini benar atau tidak.
***
Aku masih asyik mengunyah keripik kentang ketika Ika tiba-tiba berlari masuk ke kelas dengan raut wajah yang ngos-ngosan.
Ia mengatur napas kemudian berdiri tepat di depan kami, “Perhatian! Teman-teman, ada tiga gadis kerasukan, lagi, siang ini. Mereka sekarang ada di mushola.”
Beberapa siswa segera berhambur ke luar, kuduga mereka ingin tahu siapa yang kerasukan kali ini dengan melihatnya secara langsung. Sedangkan aku dan beberapa teman, mengelilingi Ika untuk menginterogasinya.
“Siapa, Ik?”
“Aku nggak tahu. Yang jelas dia kelas X…”
“Serius. Dari kelas X apa?”
“Nggak tahu deh, aku juga baru tahu pas nggak sengaja lewat depan mushola.”
“Haduh, serem banget sih.”
“Ih, amit-amit. Jangan sampai di kelas kita ada yang kena.”
“Tahu nggak kenapa mereka bisa kerasukan?” seloroh Ika.
Kami semua saling berpandangan singkat, kemudian cepat-cepat menimpali, “Kenapa? Kenapa, Ik? Apa karena Caitlin telah kembali? Karena rumahnya di rusak ya?” Kami berisik hingga Ika tampak gelagepan menjawab yang mana dahulu.
Tio segera menengahi, “Ssstttttt!” ditempelkannya jari telunjuk ke bibirnya, “Biar Ika jelasin dulu.”
Kami kompak diam. Untuk beberapa detik kemudian, hanya deru nafas memburu Ika yang terdengar. Kemudian setengah berbisik ia berkata, “Itu karena mereka main-main di kamar mandi.”
“Maksudnya?”
“Dua di antara mereka tuh lagi ngerjain temannya di kamar mandi. Ya, buat kejutan ulang tahun begitu. Nggak tahunya temannya itu mereka kunci di kamar mandi yang sama dengan tempat pembunuhan Caitlin.”
“Kok bisa sih? Emang di kamar mandi yang mana?”
“Sebelah ruang TU.”
“Aduh, kamar mandi di sana kan bau banget. Eh, tapi kok kamu bisa tahu banyak tentang begituan sih, Ik?”
Ika tersenyum kecut, “Aku ini indigo sejak lahir. Jadi bisa lihat begituan.”
“Kok kamu omongin sih? Nggak takut apa kalau kamu yang kena? Biasanya di film horror gitu. Yang bilang bakalan kena. Hi.”
“Aku nggak mungkin kerasukan. Mereka kan bisa komunikasi sama aku tanpa merasuki.”
“Seriusan?”
“Hebat kamu, Ik!”
“Coba gih bicara sama Caitlin buat berhenti gangguin kita. Eh, terus, Ik, satunya lagi karena apa?”
Ika diam sesaat, “Yang satunya itu karena dia nemuin parfum di kamar mandi, terus ia bawa pulang ke rumah buat dipakai.”
“Parfum apa?” timpalku ikut penasaran.
“Nggak tahu, Mil. Tapi katanya sih parfum lama gitu. Sekarang udah nggak beredar di pasaran. Kayaknya sih parfum import. Dan diduga keras itu parfum Caitlin.”
“Konyol banget sih. Masa iya parfum jaman segono masih ada?” Wenda mencibir. Tanpa menunggu penjelasan Ika, ia sudah nggeloyor pergi duluan.
“Kamu nggak percaya, Wen? Hati-hati kena lo,” teriak Ika membuat kami serempak nyengir kuda. Wenda tersenyum sinis dan berlalu.
Tak mau membiarkan tanpa adanya percakapan, Nita membuka mulut, “Terus biar nggak kena begituan gimana? Apa kita harus minta maaf ke Caitlin?”
“Masa iya sih begitu?”
“Jangan-jangan minta sesajen?”
“Atau tumbal?”
“Ih serem.”
Kemudian percakapan berhenti seiring perginya kita menjauh dari Ika. Seperti itu, sama seperti kemarin hari. Aku sendiri memang masih tidak percaya dengan hal seperti itu walau aku yakin bahwa ghaib itu ada. Bukan hanya manusia yang Tuhan ciptakan di bumi ini.
***
Sengaja, malam harinya aku mencari beberapa informasi tentang kesurupan. Mungkin bisa sedikit mengobati rasa penasaranku yang berlebihan.
“Gejala kemasukan setan kerap terjadi ketika seseorang berada pada tempat dan waktu yang salah. Biasanya seseorang yang kemasukan setan tersebut pikirannya dalam keadaan kosong, kondisi tubuhnya sedang lelah serta iman yang kurang kuat.
Keadaan ini akan dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh kekuatan gaib yang biasanya tidak dapat terkendali oleh orang yang kesurupan itu.”
“Banyak alasan kenapa mahluk halus merasuki tubuh manusia. Biasanya mahluk gaib tersebut akan merasuk ketubuh manusia jika lingkungan atau tempat tinggalnya diusik oleh mahluk lain baik manusia atau binatang,” bacaku panjang lebar.
Tulilutut…..
Kulihat dilayar kaca hape tertera besar, “Ika,” dengan gambar amplop di depannya.
Teman-teman, Wenda mengalami kecelakaan motor siang tadi. Dengar-dengar tangannya patah. Mohon doanya ya, teman. Aku juga baru tahu dari Diana. Oia satu lagi, kalian jangan macam-macam sama Caitlin atau bahkan meragukan dia. Dia bisa datang tiba-tiba. Wenda salah satu korban buktinya. Hati-hati!
Glek! Nafasku tercekat. Apakah omongan Ika ada benarnya?
“Kamu nggak percaya, Wen? Hati-hati kena lo.” Itu adalah waniti-wanti Ika tadi di sekolah. Secepat itukah Caitlin menghakimi Wenda? Aku buru-buru istigfar. Tuhanlah penentu kejadian. Bukan Caitlin. Aku bergidik ngeri. Segera kumatikan komputer dan menuju ke ruang keluarga. Menghampiri Kak Rio, kakakku, yang sedang asyik menonton MotoGP.
***
“Udah dengar kabar, belum?” tanyaku pada Siska, tetanggaku yang juga teman SMP Wenda dahulu. Kebetulan jalan menuju sekolah kami sama sehingga aku selalu berangkat bersamanya.
“Apa?” tanyanya dengan mata melotot ke layar hape, sibuk ber-sms-ria.
Aku mengernyitkan sebelah alis, “Wenda kecelakaan.”
Seketika Siska menengok dan memasukkan hapenya ke saku seragam, “Hah? Kata siapa?”
“Aku semalam dengar kabar dari Ika. Katanya tangan Wenda patah, lagi.”
“Ika…Ika yang rambutnya keriting itu?”
Aku mengangguk, “Iya, teman SMP kamu dulu.”
Ia mendadak pasang muka masam, “Jangan terlalu percaya sama Ika. Dia tukang kibul.”
“Masa sih, Sis?”
Ia kembali menekan tuts hape, “Heeh. Dulu malah dia sering bohong soal mistis. Katanya perpustakaan sekolah kita dulu angker soalnya ada kisah pemerkosaan sekaligus pembunuhan di sana. Konyol banget.”
“Emil!”
Kulihat Wenda mengendarai sepeda motor dari perempatan. Ia menuju ke arah kami.
“Loh, dengar-dengar kamu habis kecelakaan motor ya, Wen?” tanyaku bingung.
Ia terkekeh kecil, “Cuma kecelakaan kecil.” Ia menunjuk kakinya yang telanjang tanpa sepatu, hanya mengenakan sandal. Ada beberapa goresan luka di sana.
“Nggak patah tangan?” lanjutku yang justru ditimpali dengan tinjuan kecil oleh Wenda.
“Jahat banget sih sama teman sendiri. Aku baik-baik, tahu.”
“Tuh kan?” ujar Siska.
***
“Wenda!” teriak teman-teman sekelas ketika aku dan Wenda datang. Rupanya mereka mencemaskan keadaan Wenda usai kecelakaan kemarin hari. Tampak dari perbincangan singkat mereka yang kudengar. Ah, semuanya ternyata mendapat sms yang sama denganku dari Ika perihal patah tangan tersebut. Mereka saling menatap bangku Ika dengan kesal.
“Gila ya! Emang siapa yang bilang aku patah tangan?” Wenda pun ikut geregetan.
“Si Ika. Katanya itu juga karena kamu nggak percaya sama parfum Caitlin kemarin.”
“Enggak mungkin. Kemarin itu karena aku emang naik sepeda sambil sms-an. Salah aku sendiri kok. Nggak ada faktor mistis deh kayaknya,” terang Wenda.
“Ah dasar si Ika, kena getahnya baru dia tahu rasa,” ujar Ayu.
Tio memekik, “Huss!”
“Terus mana si Ika sekarang?”
Kami semua kompak mengedarkan pandangan ke seluruh sisi kelas.
Nita berdiri dari duduknya dan angkat tangan, “Dengar-dengar sih semalam Ika ngigau nggak jelas, gitu, dengan mata melotot dan mulut berbusa. Orang tuanya bawa dia ke Kyai.”
“Wah, getahnya suka ngibul tuh.”
Beberapa teman datang mengelilingi Nita. Aku tidak ikutan kali ini. Hanya mematung di tempat. Rupanya terjadi pergantian jabatan sebagai pengibul baru. Baiknya aku hanya membiarkannya saja. Malas ah ikut campur dan memikirkan. Bikin aku ketakutan nggak jelas saja. Menyita waktu.
Sumber http://naeliltheclimber.wordpress.com/2013/10/29/cerpen-dimuat-di-radar-banyuwangi-27-oktober-2013/
Cerpen : Pengagum Misterius
Embun masih menempel di dedaunan, mentari pagi mulai menampakkan dirinya. Seperti biasa, Dinda menuju halte bus yang tak seberapa jauh dari rumahnya. Untuk menuju halte bus, Dinda harus menempuh sekitar tiga ratus meter, ia harus melewati sebuah gang kecil, pemakaman dan dua buah toko kelontong. Dengan langkah cepat Dinda berjalan menyusuri gang yang berlumpur itu. Sesekali ia melirik jam tangannya.
Hari ini hari senin, upacara bendera pastinya. Untung saja busnya cepat datang. Jadi dia tak perlu menunggu berlama-lama. Dinda setengah berlari menuju pintu gerbang sekolah. Huh… untung nggak telat. Keringat mengalir di keningnya. Dinda cepat-cepat menuju kelas menaruh tas. Kemudian berlari ke lapangan dimana teman-temannya berkumpul. Hari ini ia dapat tugas jadi paduan suara.
“kenapa baru datang Din”, Tanya Qicha temannya.
“tadi aku kesiangan. Semalem nggak tidur ngerjain tugas”, terangnya sambil ngos-ngosan.
“tugas yang mana”, Kata Qicha sambil menyipitkan mata karena silau.
“siklus akuntansi dari Bu Kanti”, terangnya. Qicha hanya mengangguk-angguk
Dinda sekolah di SMKN 1, ia mengambil jurusan akuntansi. Jika ditanya mengapa ia lebih memilih sekolah kejuruan, katanya sih kalau lulus nanti pengen langsung kerja biar bisa bantu ibu. Ia masih kelas sepuluh, semester dua.
Akhirnya upacara pagi itu usai juga. Dinda dan Qicha memasuki kelas. Sesaat ia akan duduk, perhatiannya terhenti pada sebuah kertas di mejanya. Kertas biru muda yang di atasnya tertindih setangkai mawar putih itu hanya dilipat menjadi dua. Dinda mengambil dan membacanya. “senyummu adalah hidupku” begitu isi surat tersebut. Tapi Dinda sudah tak heran lagi. ia sudah sering mendapatkan surat yang tak jelas siapa pengirimnya itu.
“dapat surat lagi ya Din”, Ujar Qicha dengan senyum kecil di wajahnya.
“ia Cha. Aku heran siapa sih yang nulis surat ini”, Kata Dinda sedikit dongkol.
“udah, biarin aja. seharusnya kamu bangga dong punya penggemar rahasia”, nasehat Qicha.
“awalnya sih emang iya. Tapi lama-lama aku risih juga. rasanya kayak di terror gitu”, terang Dinda.
“ya nggak lah Din, kan isinya bukan ancaman. Cuma ungkapan hati doang kok”, sangkal Qicha mencoba menenangkan hati sahabatnya itu.
“eh, gimana kalau kamu cari tau siapa pengirimnya itu”, saran Qicha.
“pengennya sih iya. Tapi gimana caranya”, Tanya Dinda sambil mengerutkan kening.
“kamu kan dapat surat ini setiap hari. Jadi otomatis cowok yang ngirimin kamu surat juga datang setiap hari”, Celoteh Qicha sambil menggerak-gerakkan jari telunjuknya.
“ehm, iya juga ya. Kenapa aku nggak kepikiran. Jadi maksud kamu aku harus nyelidikin siapa yang datang setiap hari buat naruh surat itu”, Tanya Dinda.
“bener banget. Mending besok kamu datang pagi-pagi. Ntar kita pergokin aja tu orang. Gimana”, kata Qicha sambil mengangkat satu alisnya. Dinda mengerdipkan satu matanya, tanda setuju.
Sejak satu minggu setelah MOS, Dinda setiap hari mendapat surat yang tak jelas asal usulnya itu. Ia heran kenapa tu cowok nggak bilang langsung aja ya, apa mungkin dia malu. Masa pakai surat sih, jadul banget. Hey, tunggu! ia melupakan sesuatu. Bukannya di bawah surat selalu ada tulisan “TW”. Apa maksudnya ya, apa mungkin inisial nama cowok itu. Tapi siapa TW. Dinda mencoba berpikir keras. Hah.. sudah lah jadi pusing sendiri mikirin tu surat.
Pagi-pagi sekali Dinda dan Qicha datang ke sekolah. Gerbang masih tertutup rapat. Dinda dan Qicha memanggil-manggil mang Ujang, tukang kebun sekolah itu. Sambil membenarkan sarung, mang Ujang membuka pintu gerbang. Mang Ujang heran kenapa mereka datang sepagi ini. Buru-buru Dinda dan Qicha memasuki gerbang. Mereka setengah berlari menuju kelas. Dinda menghampiri bangkunya. Dan ternyata… surat biru serta mawar putih telah ada di mejanya. Dinda mendengus kesal. Qicha pun terkejut.
“ya, kita keduluan deh. Padahalkan ini masih jam lima. Gilaaa, kapan dia kesininya ya”, celetuk Qicha.
Dinda tak menjawab. Ia merenggut surat itu dengan lemas. Tertulis dalam surat itu “aku hanya bisa menatapmu dari jauh. Aku tak kan pernah bisa berada di dekatmu. Kau seperti bintang yang sangat sulit kuraih”. Membaca pesan singkat itu Dinda semakin kesal. Huh, apa sih maksud tu cowok.
“nyebelin banget sih ni cowok”, sungutnya.
“sabar Din. Kayaknya dia naruh tu surat nggak waktu pagi deh. Mungkin aja sepulang sekolah. Gimana kalau ntar pulang sekolah, kita jangan pulang dulu. Kita tunggu dulu tu cowok”, Kata Qicha. Dinda hanya mengangguk pasrah.
“Cha, liat deh. Dia selalu nyantumin TW. Apa artinya ya, apa mungkin itu inisialnya”, Tanya Dinda dengan heran.
“mungkin aja. Tapi siapa ya”, Qicha mencoba berpikir.
“hah… Jangan-jangan Timo Wijaya”, tebak Qicha.
“aduh, jangan sampai deh. Kamu yang bener aja dong. Masa dia sih”, eluh Dinda sambil menepuk keningnya. Timo, cowok yang terkenal norak abis itu. Apalagi model rambutnya yang nge-bob. Kayak personilnya the-changcuters.
“nggak mungkin”, ujar Dinda.
“apanya yang nggak mungkin Din”, celetuk seseorang tiba-tiba.
“Joddy”, Dinda kaget. Joddy tersenyum kecil. Cowok ini adalah satu-satunya cowok yang care banget sama Dinda. Lesung pipit dan Tubuhnya yang jangkung itu, membuat banyak cewek suka padanya.
“oow, aku tau. Pasti karena surat misterius itu lagi ya”, tebak Joddy. Dinda mengangguk lemah. Sempat terlintas di benaknya, jangan-jangan cowok misterius itu… Joddy. Tapi nggak mungkin, jelas-jelas di surat itu tertulis TW. Harusnya JW dong, Joddy Wiryanto. Aaarrrghh… tambah pusing aja.
Hari ini seusai ekskul Bahasa. Mandarin, Dinda tak langsung pulang. Ia masih menunggu Qicha. Temannya itu sedang ekskul taekwondo. Joddy juga nggak pulang. Hari ini dia ada ekskul basket. Setiap hari selasa, jadwal ekskul mereka barengan. Lagian dia juga nunggu cowok misterius itu. Dinda duduk di sebuah bangku. Ia memandangi anak-anak basket yang sedang latihan. Joddy melihatnya, ia melambaikan tangan. Dinda hanya membalas dengan senyum. Joddy sedang bercengkrama dengan seseorang. Seseorang itu adalah Tora. Cowok kelas sepuluh multimedia itu, sedikit lebih cakep di banding Joddy. Ia juga tak kalah jangkung dengan Joddy kulitnya sedikit lebih cerah, dan hidungnya yang satu meter itu, bikin cewek yang melihatnya langsung klepek-klepek. (ceileh). Joddy dan Tora sudah sahabatan sejak smp. Keduanya sama-sama keren. Cuma yang membedakan Tora jauh lebih cuek, sedangkan Joddy dia begitu baik, dan ramah.
Fikiran Dinda melayang. Andai saja Tora nembak dia. Dia pasti bakalan jadi cewek yang paling beruntung di dunia ini. Glekk!!. ah… nggak mungkin. Mana mungkin Tora suka sama dia. Dia kan cewek biasa-biasa. Natasya aja, yang jauh lebih cantik darinya nggak pernah di lirik sama Tora, apalagi dia. Hufth…!
“hey, udah lama nunggunya ya”, Tanya Qicha tiba-tiba.
“iya nih. Eh, apa bener tu cowok bakalan naruh suratnya sekarang”, Dinda balik bertanya.
“kayaknya sih dia bakalan datang. Udah kamu tenang aja, mending kita ke kelas yuk.”, Qicha meyakinkan. Mereka berjalan beriringan ke kelas. Tapi Dinda tak menemukan surat itu. Jam sudah menunjukkan pukul lima tiga puluh. Cowok misterius itu, tak datang juga. Dengan kecewa, Dinda dan Qicha pulang ke rumah. Karena rumah mereka berlawanan arah, mereka harus berpisah di halte bus.
“hey, Din. Lagi nunggu Bus ya”, Tanya Joddy tiba-tiba. Dinda menoleh.
“iya nih”, jawabnya. Kali ini Joddy nggak sendirian, ia bersama Tora. Tumben banget Tora naik bus, kemana motornya ya. Beberapa minggu terakhir ini, Tora sering banget naik bus. Nggak seperti biasa jantung Dinda berdetak lebih cepat, ia jadi gugup. Tora begitu keren, peluhnya menetes di pelipis mata. Tapi dia cuek-cuek aja tuh. Dinda sadar diri, nggak mungkin banget Tora suka sama dia. Bus yang di tunggu sudah datang, ketiganya masuk ke dalam bus.
Dinda mendapat surat lagi. “aku semakin yakin, kita tak kan bisa bersatu. Simpanlah semua kenangan ini. Jangan lupakan AKU”, Dinda benar-benar tak mengerti. Tapi ya sudah lah, mungkin suatu saat ia akan mengetahui semua kejelasan ini. Dinda tak pernah membuang kertas dan bunga mawar putih itu, walaupun sudah layu. Ia masih menyimpannya.
Satu minggu terakhir ini Joddy sering sendirian. Kemana Tora ya, apa mungkin mereka bertengkar. Tapi Dinda juga tak pernah melihat Tora. Apa mungkin Tora sakit. Ah tau lah.
“Din, sebenarnya aku pengen ngomong sesuatu sama kamu”, kata Joddy tiba-tiba.
“ya udah ngomong aja”, ucap Dinda dengan senyum ramahnya. Joddy menatap lekat-lekat mata Dinda. Memang akhir-akhir ini Dinda merasa ada sesuatu yang disembunyikan Joddy. Wajahnya begitu kalut.
“Din, sebenarnya yang naruh surat itu… AKU”, telinga Dinda seperti disambar petir. Ternyata dugaanya selama ini benar. Joddy lah pengagum misterius itu. Dinda tak berucap apa-apa lidahnya keluh. Tega banget Joddy mengkhianati persahabatan mereka.
“kamu jangan salah paham dulu. Memang aku yang menaruh surat itu. Tapi bukan aku yang nulis”, Dinda tersentak kaget.
“terus siapa yang nulis”, Tanya Dinda.
“sebenarnya… Sebenarnya”, Joddy tergagap.
“ayo Jod, bilang sama aku siapa yang nulis”, Dinda semakin penasaran.
“sebenarnya yang nulis surat itu… Tora”, ujar Joddy. Dinda terkejut, ia benar-benar tak menyangka. Antara senang dan heran bercampur jadi satu. Dinda tak percaya.
“nggak. Nggak mungkin Jod, kalau emang benar dia. Kenapa dia nggak ngomong langsung sama aku. Bahkan setiap kita bertemu, dia cuek-cuek aja kok”, Dinda menyangkal.
“Din, itu bener. Tora sengaja ngelakuin itu. Karena dia nggak pengen kamu sedih. Sebenarnya Tora juga nggak ngebolehin aku ngasih tau kamu”, terang Joddy, berusaha meyakinkan.
“Jod, justru cara dia yang kayak gini bikin aku sedih. Kenapa sih dia ngelakuin ini, apa dia sengaja ingin mempermainkan aku”, geram Dinda. Ia sekarang benar-benar marah.
“nggak Din. Sebenarnya dia juga nggak pengen ngelakuin ini semua. Dia terpaksa ngelakuin ini. Ini demi kamu”, lanjut Joddy.
“aku semakin nggak ngerti. Dari tadi kamu bilang, Tora nggak mau aku sedih, semua yang dia lakukan demi aku. Maksud kamu apa sih. Ada apa sama Tora”, Dinda bingung sendiri.
“sebenarnya Tora sakit Din, dia sakit keras”, mata Dinda membelalak.
“Tora sakit, dia sakit apa Jod”, Dinda menatap Joddy, mata Joddy memerah.
“dia kena kanker otak Din, sudah stadium akhir”, Joddy menunduk.
“apa!!! kanker otak. Jod, masalah sebesar ini kenapa kamu nggak bilang sih sama aku. Kamu jahat banget Jod. Kamu sengaja nutupin ini semua dari aku”, Dinda mulai menangis.
“Din, sebenarnya aku pengen banget ngomong ini sama kamu dari dulu. Tapi Tora ngelarang aku. Kamu tau nggak dia sengaja cuekin kamu, karna dia nggak pengen ngasih harapan ke kamu. Dia takut banget kamu sedih. Sebenarnya dia sendiri juga nggak tahan harus nyuekin kamu. Dia tersiksa Din, dia tersiksa banget. Dia juga pernah nangis di depanku. Dia bilang dia nggak tega ngeliat kamu. Akhir-akhir ini dia nggak bawa motor dan milih naik bus. Kamu tau kenapa, Tora ngelakuin itu semua Cuma karena pengen liat kamu. Dia pengen liat kamu lebih lama. Dan asal kamu tau Din, setiap pulang sekolah dia selalu nyempetin beli mawar putih. Karena dia tau kamu suka banget sama bunga itu. Mungkin kamu juga nggak sadar, diam-diam dia foto kamu. Dia bilang kalau dia lagi kangen sama kamu, nggak perlu ketemu. Tora punya banyak banget koleksi foto kamu, kalau kamu nggak percaya aku bisa bawain. Setiap hari dia selalu nanyain kabar kamu. Dia selalu bilang sama aku, aku harus jagain kamu, ngelindungi kamu, menghibur kamu kalau lagi sedih. Dia nggak mau kamu kenapa-napa”, airmata Dinda mengalir deras. Dia tak menyangka begitu tersiksanya Tora. Dinda menangis sesenggukan.
“Din, Tora nitipin ini buat kamu”, Joddy menyodorkan secarik kertas. Tanpa basa-basi Dinda membacanya.
To : Dinda
Din, mungkin kita nggak pernah kenal. mungkin kamu juga nggak tau siapa aku. Tapi harus kamu tau, aku sayang sama kamu. mungkin saat kamu membaca surat ini, aku udah pergi. Pergi jauh… dan tak kan kembali. Kamu pasti bingung, kenapa akhir-akhir ini kamu dapat surat yang nggak jelas pengirimnya. Hehehe. Maaf ya, udah bikin kamu bingung. Semua surat itu, aku yang buat Din. Agak gombal ya, tapi emang itu yang aku rasain. Sebenarnya aku pengen banget ngomong ini sama kamu, cuma waktu nggak ngizinin aku. Kamu tau nggak, aku udah suka sama kamu sejak kita pertama kali bertemu. Waktu itu kamu lari-lari karena takut telat, terus nabrak aku. Jadinya aku marah-marah deh. Waktu itu kamu lucu banget lho. Mungkin kamu udah lupa sama kejadian itu. Tapi aku nggak akan pernah lupain semua kenangan tentang kamu. aku akan jadiin itu semua kenangan terindah dalam sisa hidupku. Din, sebenarnya aku masih pengen banget ngobrol banyak sama kamu, tapi kepala aku sakit nih. Udah dulu ya. Ternyata Tuhan nggak ngizinin kita bersatu di kehidupan sekarang. Aku akan nunggu kamu di kehidupan kedua nanti. bye Din, baik-baik ya. Love you…!!!
TW
(Tora Whardana)
Dinda menangis sejadi-jadinya. dia benar-benar terpukul. Oh… Tuhannn…! mengapa semua ini terjadi padanya.
“nggak Tora, aku nggak pernah lupa sama semua kejadian yang mempertemukan kita. Semuanya sudah terlambat”, ujar Dinda dalam sela-sela tangisnya.
“nggak Din, masih belum terlambat. Tora belum pergi. Ia memang menyuruhku ngasih surat itu, setelah dia pergi. Tapi aku nggak tega sama dia. Aku pengen ngelakuin sesuatu yang buat dia bahagia di sisa akhir hidupnya”, jelas Joddy.
“hah, jadi sekarang Tora masih hidup. Dia dimana, Joddy anterin aku kesana”, Dinda senang, ia bersemangat kembali. joddy mengangguk.
Karena masih waktu sekolah, Dinda dan Joddy minta izin. Dinda pura-pura sakit dan Joddy yang akan mengantarnya pulang. Mereka berdua pun terbebas dari sekolah, dan sekarang menuju rumah sakit.
Mereka setengah berlari. Saat sampai di depan kamar Tora, Dinda dan Joddy berhenti. Mereka melihat kedua orang tua Tora menangis di luar kamar.
“ada apa ini tante”, ucap Joddy dengan nada gemetar. Kedua orang tua Tora tak menjawab, mereka masih larut dalam kesedihan.
Dinda tak menunggu Joddy, ia langsung masuk ke ruang inap Tora. Tora terbaring di ranjangnya. Tubuhya semakin kurus, kulitnya sangat pucat. Dokter sedang sibuk mencoba memberi pertolongan pada Tora. Dinda menangis, ia menghampiri Tora yang sedang terbaring dengan mata terpejam.
“Tora harus kuat ya, Tora ini Dinda. Tora bangun, Tora harus kuat. Dinda sayang Tora”, bisik Dinda di telinga Tora. Dinda memegang erat tangan Tora. Berkali-kali ia ciumi tangan Tora.
Dokter berusaha menyelamatkan nyawa Tora, tapi respon negatif.
“Tora, Dinda yakin Tora dengar suara Dinda. Tora, ayo Tora bangun”, teriak Dinda di telinga Tora. Joddy juga berusaha ikut membangunkan Tora. Dokter masih tetap berusaha. Dan akhirnya respon positif. Perlahan-lahan tangan Tora bergerak. Dan kemudian Tora membuka mata.
“Tora”, senyum Dinda mengembang. Dokter tersenyum senang. Ternyata kehadiran Dinda sangat membantu.
“Diin…da. jod…ddy. Kalian beber..dua ngappaiin kees..ssini”, ucap Tora terbata-bata.
“aku kesini cuma mau bilang kalau aku juga sayang sama kamu”, Tora tersenyum, matanya memandang lemah.
“Din, makasih ya buat semuanya”, ujar Tora. Dinda membelai rambut Tora, kemudian mencium keningnya. Ia merebahkan kepalanya di atas dada Tora sambil meneteskan air mata. Dinda mendekap tubuh Tora.
“Tora, aku mohon kamu yang kuat ya. Aku nggak ingin kehilangan kamu”, ujar Dinda.
“sebenarnya aku juga ingin seperti itu. Tapi aku nggak sanggup melawan takdir. Aku udah nggak kuat lagi. kamu tenang aja, biarpun aku nanti pergi. Rasa ini, nggak akan pernah mati”, ucap Tora. Kini ia menoleh ke Joddy yang sejak tadi berdiri di sampingnya.
“Joddy, aku ingin kamu berjanji. Kamu akan selalu jagain Dinda buat aku. Aku udah nggak punya banyak waktu lagi”, kata Tora dengan senyum di wajahnya.
“kamu nggak boleh ngomong gitu Ra, kamu harus yakin kalau kamu bakalan sembuh”, tolak Joddy.
“ngg…gak. Aaku maa maa u kakamu berrjanji sekarang”, ucap Tora mulai terbata-bata.
“nggak Tora aku nggak bisa ngelakuin ini”, Joddy tetap menolak.
“Tora, kamu nggak boleh gomong gitu. Kamu harus yakin, kamu pasti bisa sembuh”, ujar Dinda. Tapi nafas Tora sudah tersenggal-senggal.
“kamu maukan jannji saa maa ak aku”, permintaan Tora yang terakhir.
“Tora, Tora kamu kenapa. Kamu harus kuat. Aku janji, aku bakalan jagain Dinda. Tapi kamu harus sembuh”, Joddy memegang erat tangan Tora. Dinda tak mampu berucap apa-apa. Lidahnya keluh, ia hanya menangis sambil merengkuh tubuh Tora.
“aku peer ca ya sa ma ka mu Jod dy. Kaamu pas ti bisa meenjagaa Diinda. Din haarus kamu taaa u akuu aakkan sse llaalu saa yang saama kaamu”, Dinda berteriak-teriak memanggil nama Tora. Joddy pun juga. namun Tora telah menghembuskan napas terakhir. Mata Tora telah terpejam, tapi bibirnya tetap tersenyum. Tora telah pergi dengan kedamaian di wajahnya.
Sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-cinta-sedih/pengagum-misterius.html
Hari ini hari senin, upacara bendera pastinya. Untung saja busnya cepat datang. Jadi dia tak perlu menunggu berlama-lama. Dinda setengah berlari menuju pintu gerbang sekolah. Huh… untung nggak telat. Keringat mengalir di keningnya. Dinda cepat-cepat menuju kelas menaruh tas. Kemudian berlari ke lapangan dimana teman-temannya berkumpul. Hari ini ia dapat tugas jadi paduan suara.
“kenapa baru datang Din”, Tanya Qicha temannya.
“tadi aku kesiangan. Semalem nggak tidur ngerjain tugas”, terangnya sambil ngos-ngosan.
“tugas yang mana”, Kata Qicha sambil menyipitkan mata karena silau.
“siklus akuntansi dari Bu Kanti”, terangnya. Qicha hanya mengangguk-angguk
Dinda sekolah di SMKN 1, ia mengambil jurusan akuntansi. Jika ditanya mengapa ia lebih memilih sekolah kejuruan, katanya sih kalau lulus nanti pengen langsung kerja biar bisa bantu ibu. Ia masih kelas sepuluh, semester dua.
Akhirnya upacara pagi itu usai juga. Dinda dan Qicha memasuki kelas. Sesaat ia akan duduk, perhatiannya terhenti pada sebuah kertas di mejanya. Kertas biru muda yang di atasnya tertindih setangkai mawar putih itu hanya dilipat menjadi dua. Dinda mengambil dan membacanya. “senyummu adalah hidupku” begitu isi surat tersebut. Tapi Dinda sudah tak heran lagi. ia sudah sering mendapatkan surat yang tak jelas siapa pengirimnya itu.
“dapat surat lagi ya Din”, Ujar Qicha dengan senyum kecil di wajahnya.
“ia Cha. Aku heran siapa sih yang nulis surat ini”, Kata Dinda sedikit dongkol.
“udah, biarin aja. seharusnya kamu bangga dong punya penggemar rahasia”, nasehat Qicha.
“awalnya sih emang iya. Tapi lama-lama aku risih juga. rasanya kayak di terror gitu”, terang Dinda.
“ya nggak lah Din, kan isinya bukan ancaman. Cuma ungkapan hati doang kok”, sangkal Qicha mencoba menenangkan hati sahabatnya itu.
“eh, gimana kalau kamu cari tau siapa pengirimnya itu”, saran Qicha.
“pengennya sih iya. Tapi gimana caranya”, Tanya Dinda sambil mengerutkan kening.
“kamu kan dapat surat ini setiap hari. Jadi otomatis cowok yang ngirimin kamu surat juga datang setiap hari”, Celoteh Qicha sambil menggerak-gerakkan jari telunjuknya.
“ehm, iya juga ya. Kenapa aku nggak kepikiran. Jadi maksud kamu aku harus nyelidikin siapa yang datang setiap hari buat naruh surat itu”, Tanya Dinda.
“bener banget. Mending besok kamu datang pagi-pagi. Ntar kita pergokin aja tu orang. Gimana”, kata Qicha sambil mengangkat satu alisnya. Dinda mengerdipkan satu matanya, tanda setuju.
Sejak satu minggu setelah MOS, Dinda setiap hari mendapat surat yang tak jelas asal usulnya itu. Ia heran kenapa tu cowok nggak bilang langsung aja ya, apa mungkin dia malu. Masa pakai surat sih, jadul banget. Hey, tunggu! ia melupakan sesuatu. Bukannya di bawah surat selalu ada tulisan “TW”. Apa maksudnya ya, apa mungkin inisial nama cowok itu. Tapi siapa TW. Dinda mencoba berpikir keras. Hah.. sudah lah jadi pusing sendiri mikirin tu surat.
Pagi-pagi sekali Dinda dan Qicha datang ke sekolah. Gerbang masih tertutup rapat. Dinda dan Qicha memanggil-manggil mang Ujang, tukang kebun sekolah itu. Sambil membenarkan sarung, mang Ujang membuka pintu gerbang. Mang Ujang heran kenapa mereka datang sepagi ini. Buru-buru Dinda dan Qicha memasuki gerbang. Mereka setengah berlari menuju kelas. Dinda menghampiri bangkunya. Dan ternyata… surat biru serta mawar putih telah ada di mejanya. Dinda mendengus kesal. Qicha pun terkejut.
“ya, kita keduluan deh. Padahalkan ini masih jam lima. Gilaaa, kapan dia kesininya ya”, celetuk Qicha.
Dinda tak menjawab. Ia merenggut surat itu dengan lemas. Tertulis dalam surat itu “aku hanya bisa menatapmu dari jauh. Aku tak kan pernah bisa berada di dekatmu. Kau seperti bintang yang sangat sulit kuraih”. Membaca pesan singkat itu Dinda semakin kesal. Huh, apa sih maksud tu cowok.
“nyebelin banget sih ni cowok”, sungutnya.
“sabar Din. Kayaknya dia naruh tu surat nggak waktu pagi deh. Mungkin aja sepulang sekolah. Gimana kalau ntar pulang sekolah, kita jangan pulang dulu. Kita tunggu dulu tu cowok”, Kata Qicha. Dinda hanya mengangguk pasrah.
“Cha, liat deh. Dia selalu nyantumin TW. Apa artinya ya, apa mungkin itu inisialnya”, Tanya Dinda dengan heran.
“mungkin aja. Tapi siapa ya”, Qicha mencoba berpikir.
“hah… Jangan-jangan Timo Wijaya”, tebak Qicha.
“aduh, jangan sampai deh. Kamu yang bener aja dong. Masa dia sih”, eluh Dinda sambil menepuk keningnya. Timo, cowok yang terkenal norak abis itu. Apalagi model rambutnya yang nge-bob. Kayak personilnya the-changcuters.
“nggak mungkin”, ujar Dinda.
“apanya yang nggak mungkin Din”, celetuk seseorang tiba-tiba.
“Joddy”, Dinda kaget. Joddy tersenyum kecil. Cowok ini adalah satu-satunya cowok yang care banget sama Dinda. Lesung pipit dan Tubuhnya yang jangkung itu, membuat banyak cewek suka padanya.
“oow, aku tau. Pasti karena surat misterius itu lagi ya”, tebak Joddy. Dinda mengangguk lemah. Sempat terlintas di benaknya, jangan-jangan cowok misterius itu… Joddy. Tapi nggak mungkin, jelas-jelas di surat itu tertulis TW. Harusnya JW dong, Joddy Wiryanto. Aaarrrghh… tambah pusing aja.
Hari ini seusai ekskul Bahasa. Mandarin, Dinda tak langsung pulang. Ia masih menunggu Qicha. Temannya itu sedang ekskul taekwondo. Joddy juga nggak pulang. Hari ini dia ada ekskul basket. Setiap hari selasa, jadwal ekskul mereka barengan. Lagian dia juga nunggu cowok misterius itu. Dinda duduk di sebuah bangku. Ia memandangi anak-anak basket yang sedang latihan. Joddy melihatnya, ia melambaikan tangan. Dinda hanya membalas dengan senyum. Joddy sedang bercengkrama dengan seseorang. Seseorang itu adalah Tora. Cowok kelas sepuluh multimedia itu, sedikit lebih cakep di banding Joddy. Ia juga tak kalah jangkung dengan Joddy kulitnya sedikit lebih cerah, dan hidungnya yang satu meter itu, bikin cewek yang melihatnya langsung klepek-klepek. (ceileh). Joddy dan Tora sudah sahabatan sejak smp. Keduanya sama-sama keren. Cuma yang membedakan Tora jauh lebih cuek, sedangkan Joddy dia begitu baik, dan ramah.
Fikiran Dinda melayang. Andai saja Tora nembak dia. Dia pasti bakalan jadi cewek yang paling beruntung di dunia ini. Glekk!!. ah… nggak mungkin. Mana mungkin Tora suka sama dia. Dia kan cewek biasa-biasa. Natasya aja, yang jauh lebih cantik darinya nggak pernah di lirik sama Tora, apalagi dia. Hufth…!
“hey, udah lama nunggunya ya”, Tanya Qicha tiba-tiba.
“iya nih. Eh, apa bener tu cowok bakalan naruh suratnya sekarang”, Dinda balik bertanya.
“kayaknya sih dia bakalan datang. Udah kamu tenang aja, mending kita ke kelas yuk.”, Qicha meyakinkan. Mereka berjalan beriringan ke kelas. Tapi Dinda tak menemukan surat itu. Jam sudah menunjukkan pukul lima tiga puluh. Cowok misterius itu, tak datang juga. Dengan kecewa, Dinda dan Qicha pulang ke rumah. Karena rumah mereka berlawanan arah, mereka harus berpisah di halte bus.
“hey, Din. Lagi nunggu Bus ya”, Tanya Joddy tiba-tiba. Dinda menoleh.
“iya nih”, jawabnya. Kali ini Joddy nggak sendirian, ia bersama Tora. Tumben banget Tora naik bus, kemana motornya ya. Beberapa minggu terakhir ini, Tora sering banget naik bus. Nggak seperti biasa jantung Dinda berdetak lebih cepat, ia jadi gugup. Tora begitu keren, peluhnya menetes di pelipis mata. Tapi dia cuek-cuek aja tuh. Dinda sadar diri, nggak mungkin banget Tora suka sama dia. Bus yang di tunggu sudah datang, ketiganya masuk ke dalam bus.
Dinda mendapat surat lagi. “aku semakin yakin, kita tak kan bisa bersatu. Simpanlah semua kenangan ini. Jangan lupakan AKU”, Dinda benar-benar tak mengerti. Tapi ya sudah lah, mungkin suatu saat ia akan mengetahui semua kejelasan ini. Dinda tak pernah membuang kertas dan bunga mawar putih itu, walaupun sudah layu. Ia masih menyimpannya.
Satu minggu terakhir ini Joddy sering sendirian. Kemana Tora ya, apa mungkin mereka bertengkar. Tapi Dinda juga tak pernah melihat Tora. Apa mungkin Tora sakit. Ah tau lah.
“Din, sebenarnya aku pengen ngomong sesuatu sama kamu”, kata Joddy tiba-tiba.
“ya udah ngomong aja”, ucap Dinda dengan senyum ramahnya. Joddy menatap lekat-lekat mata Dinda. Memang akhir-akhir ini Dinda merasa ada sesuatu yang disembunyikan Joddy. Wajahnya begitu kalut.
“Din, sebenarnya yang naruh surat itu… AKU”, telinga Dinda seperti disambar petir. Ternyata dugaanya selama ini benar. Joddy lah pengagum misterius itu. Dinda tak berucap apa-apa lidahnya keluh. Tega banget Joddy mengkhianati persahabatan mereka.
“kamu jangan salah paham dulu. Memang aku yang menaruh surat itu. Tapi bukan aku yang nulis”, Dinda tersentak kaget.
“terus siapa yang nulis”, Tanya Dinda.
“sebenarnya… Sebenarnya”, Joddy tergagap.
“ayo Jod, bilang sama aku siapa yang nulis”, Dinda semakin penasaran.
“sebenarnya yang nulis surat itu… Tora”, ujar Joddy. Dinda terkejut, ia benar-benar tak menyangka. Antara senang dan heran bercampur jadi satu. Dinda tak percaya.
“nggak. Nggak mungkin Jod, kalau emang benar dia. Kenapa dia nggak ngomong langsung sama aku. Bahkan setiap kita bertemu, dia cuek-cuek aja kok”, Dinda menyangkal.
“Din, itu bener. Tora sengaja ngelakuin itu. Karena dia nggak pengen kamu sedih. Sebenarnya Tora juga nggak ngebolehin aku ngasih tau kamu”, terang Joddy, berusaha meyakinkan.
“Jod, justru cara dia yang kayak gini bikin aku sedih. Kenapa sih dia ngelakuin ini, apa dia sengaja ingin mempermainkan aku”, geram Dinda. Ia sekarang benar-benar marah.
“nggak Din. Sebenarnya dia juga nggak pengen ngelakuin ini semua. Dia terpaksa ngelakuin ini. Ini demi kamu”, lanjut Joddy.
“aku semakin nggak ngerti. Dari tadi kamu bilang, Tora nggak mau aku sedih, semua yang dia lakukan demi aku. Maksud kamu apa sih. Ada apa sama Tora”, Dinda bingung sendiri.
“sebenarnya Tora sakit Din, dia sakit keras”, mata Dinda membelalak.
“Tora sakit, dia sakit apa Jod”, Dinda menatap Joddy, mata Joddy memerah.
“dia kena kanker otak Din, sudah stadium akhir”, Joddy menunduk.
“apa!!! kanker otak. Jod, masalah sebesar ini kenapa kamu nggak bilang sih sama aku. Kamu jahat banget Jod. Kamu sengaja nutupin ini semua dari aku”, Dinda mulai menangis.
“Din, sebenarnya aku pengen banget ngomong ini sama kamu dari dulu. Tapi Tora ngelarang aku. Kamu tau nggak dia sengaja cuekin kamu, karna dia nggak pengen ngasih harapan ke kamu. Dia takut banget kamu sedih. Sebenarnya dia sendiri juga nggak tahan harus nyuekin kamu. Dia tersiksa Din, dia tersiksa banget. Dia juga pernah nangis di depanku. Dia bilang dia nggak tega ngeliat kamu. Akhir-akhir ini dia nggak bawa motor dan milih naik bus. Kamu tau kenapa, Tora ngelakuin itu semua Cuma karena pengen liat kamu. Dia pengen liat kamu lebih lama. Dan asal kamu tau Din, setiap pulang sekolah dia selalu nyempetin beli mawar putih. Karena dia tau kamu suka banget sama bunga itu. Mungkin kamu juga nggak sadar, diam-diam dia foto kamu. Dia bilang kalau dia lagi kangen sama kamu, nggak perlu ketemu. Tora punya banyak banget koleksi foto kamu, kalau kamu nggak percaya aku bisa bawain. Setiap hari dia selalu nanyain kabar kamu. Dia selalu bilang sama aku, aku harus jagain kamu, ngelindungi kamu, menghibur kamu kalau lagi sedih. Dia nggak mau kamu kenapa-napa”, airmata Dinda mengalir deras. Dia tak menyangka begitu tersiksanya Tora. Dinda menangis sesenggukan.
“Din, Tora nitipin ini buat kamu”, Joddy menyodorkan secarik kertas. Tanpa basa-basi Dinda membacanya.
To : Dinda
Din, mungkin kita nggak pernah kenal. mungkin kamu juga nggak tau siapa aku. Tapi harus kamu tau, aku sayang sama kamu. mungkin saat kamu membaca surat ini, aku udah pergi. Pergi jauh… dan tak kan kembali. Kamu pasti bingung, kenapa akhir-akhir ini kamu dapat surat yang nggak jelas pengirimnya. Hehehe. Maaf ya, udah bikin kamu bingung. Semua surat itu, aku yang buat Din. Agak gombal ya, tapi emang itu yang aku rasain. Sebenarnya aku pengen banget ngomong ini sama kamu, cuma waktu nggak ngizinin aku. Kamu tau nggak, aku udah suka sama kamu sejak kita pertama kali bertemu. Waktu itu kamu lari-lari karena takut telat, terus nabrak aku. Jadinya aku marah-marah deh. Waktu itu kamu lucu banget lho. Mungkin kamu udah lupa sama kejadian itu. Tapi aku nggak akan pernah lupain semua kenangan tentang kamu. aku akan jadiin itu semua kenangan terindah dalam sisa hidupku. Din, sebenarnya aku masih pengen banget ngobrol banyak sama kamu, tapi kepala aku sakit nih. Udah dulu ya. Ternyata Tuhan nggak ngizinin kita bersatu di kehidupan sekarang. Aku akan nunggu kamu di kehidupan kedua nanti. bye Din, baik-baik ya. Love you…!!!
TW
(Tora Whardana)
Dinda menangis sejadi-jadinya. dia benar-benar terpukul. Oh… Tuhannn…! mengapa semua ini terjadi padanya.
“nggak Tora, aku nggak pernah lupa sama semua kejadian yang mempertemukan kita. Semuanya sudah terlambat”, ujar Dinda dalam sela-sela tangisnya.
“nggak Din, masih belum terlambat. Tora belum pergi. Ia memang menyuruhku ngasih surat itu, setelah dia pergi. Tapi aku nggak tega sama dia. Aku pengen ngelakuin sesuatu yang buat dia bahagia di sisa akhir hidupnya”, jelas Joddy.
“hah, jadi sekarang Tora masih hidup. Dia dimana, Joddy anterin aku kesana”, Dinda senang, ia bersemangat kembali. joddy mengangguk.
Karena masih waktu sekolah, Dinda dan Joddy minta izin. Dinda pura-pura sakit dan Joddy yang akan mengantarnya pulang. Mereka berdua pun terbebas dari sekolah, dan sekarang menuju rumah sakit.
Mereka setengah berlari. Saat sampai di depan kamar Tora, Dinda dan Joddy berhenti. Mereka melihat kedua orang tua Tora menangis di luar kamar.
“ada apa ini tante”, ucap Joddy dengan nada gemetar. Kedua orang tua Tora tak menjawab, mereka masih larut dalam kesedihan.
Dinda tak menunggu Joddy, ia langsung masuk ke ruang inap Tora. Tora terbaring di ranjangnya. Tubuhya semakin kurus, kulitnya sangat pucat. Dokter sedang sibuk mencoba memberi pertolongan pada Tora. Dinda menangis, ia menghampiri Tora yang sedang terbaring dengan mata terpejam.
“Tora harus kuat ya, Tora ini Dinda. Tora bangun, Tora harus kuat. Dinda sayang Tora”, bisik Dinda di telinga Tora. Dinda memegang erat tangan Tora. Berkali-kali ia ciumi tangan Tora.
Dokter berusaha menyelamatkan nyawa Tora, tapi respon negatif.
“Tora, Dinda yakin Tora dengar suara Dinda. Tora, ayo Tora bangun”, teriak Dinda di telinga Tora. Joddy juga berusaha ikut membangunkan Tora. Dokter masih tetap berusaha. Dan akhirnya respon positif. Perlahan-lahan tangan Tora bergerak. Dan kemudian Tora membuka mata.
“Tora”, senyum Dinda mengembang. Dokter tersenyum senang. Ternyata kehadiran Dinda sangat membantu.
“Diin…da. jod…ddy. Kalian beber..dua ngappaiin kees..ssini”, ucap Tora terbata-bata.
“aku kesini cuma mau bilang kalau aku juga sayang sama kamu”, Tora tersenyum, matanya memandang lemah.
“Din, makasih ya buat semuanya”, ujar Tora. Dinda membelai rambut Tora, kemudian mencium keningnya. Ia merebahkan kepalanya di atas dada Tora sambil meneteskan air mata. Dinda mendekap tubuh Tora.
“Tora, aku mohon kamu yang kuat ya. Aku nggak ingin kehilangan kamu”, ujar Dinda.
“sebenarnya aku juga ingin seperti itu. Tapi aku nggak sanggup melawan takdir. Aku udah nggak kuat lagi. kamu tenang aja, biarpun aku nanti pergi. Rasa ini, nggak akan pernah mati”, ucap Tora. Kini ia menoleh ke Joddy yang sejak tadi berdiri di sampingnya.
“Joddy, aku ingin kamu berjanji. Kamu akan selalu jagain Dinda buat aku. Aku udah nggak punya banyak waktu lagi”, kata Tora dengan senyum di wajahnya.
“kamu nggak boleh ngomong gitu Ra, kamu harus yakin kalau kamu bakalan sembuh”, tolak Joddy.
“ngg…gak. Aaku maa maa u kakamu berrjanji sekarang”, ucap Tora mulai terbata-bata.
“nggak Tora aku nggak bisa ngelakuin ini”, Joddy tetap menolak.
“Tora, kamu nggak boleh gomong gitu. Kamu harus yakin, kamu pasti bisa sembuh”, ujar Dinda. Tapi nafas Tora sudah tersenggal-senggal.
“kamu maukan jannji saa maa ak aku”, permintaan Tora yang terakhir.
“Tora, Tora kamu kenapa. Kamu harus kuat. Aku janji, aku bakalan jagain Dinda. Tapi kamu harus sembuh”, Joddy memegang erat tangan Tora. Dinda tak mampu berucap apa-apa. Lidahnya keluh, ia hanya menangis sambil merengkuh tubuh Tora.
“aku peer ca ya sa ma ka mu Jod dy. Kaamu pas ti bisa meenjagaa Diinda. Din haarus kamu taaa u akuu aakkan sse llaalu saa yang saama kaamu”, Dinda berteriak-teriak memanggil nama Tora. Joddy pun juga. namun Tora telah menghembuskan napas terakhir. Mata Tora telah terpejam, tapi bibirnya tetap tersenyum. Tora telah pergi dengan kedamaian di wajahnya.
Sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-cinta-sedih/pengagum-misterius.html
Cerpen : Cowok Misterius
Diovi
Hari senin selalu menjadi hari yang melelahkan. Pagi-pagi saat semua orang masih menguap dan masih ingin bersembunyi di balik selimut serta berkutat dengan mimpi, kami harus mengikuti upacara bendera dan bermandikan keringat tepat pukul tujuh pagi yang amat menyengat. Ini adalah salah satu kewajiban kami seorang pelajar. Mau tidak mau kami harus merelakan dan harus tetap setia mengikuti kegiatan yang melelahkan tersebut.
Pagi ini aku benar-benar tak rela harus bangun. Mimpi malam ini terasa sangat indah dan sangat tidak ingin aku hentikan. Namun cahaya matahari yang menembus tirai dikamarku membuat ku terpaksa membuka mata.
MONsterDAY!!
Saat melihat jam aku pun langsung terseok-seok mengambil handuk, lalu berjalan ke kamar mandi. Setelah beberapa menit aku pun telah siap dengan seragam putih-abu ku. Seragam putih lengan panjang yang lebih sering aku gulung serta semua atribut lengkap yang diwajibkan dipakai setiap hari senin. Tas biru tua pun telah dengan cantik menggelantung dipunggung ku. Baru beberapa langkah aku keluar kamar lalu aku kembali ke dalam kamarku. Ada satu yang terlupa, aku belum menyisir rambutku. Aku memang bukan gadis yang sangat memperhatikan penampilan atau terkesan cuek tetapi tak mungkin aku ke sekolah dengan rambut berantakan seperti ini. Aku menyisirkan rambutku asal dan menyemprotkan parfume di seragamku. Lalu aku pun berlari menuruni anak tangga dan mengambil sandwich yang telah disiapkan mamah lalu berlari memasuki mobil.
“ Mah, opi berangkat ya. Assalamualaikum” pamitku sedikit berteriak
Setelah kurang lebih dua puluh menit aku pun sampai disekolah. Tepat pukul tujuh kurang lima menit, akhirnya pagi ini aku bisa lolos dari babeh ( panggilan untuk satpam disekolahku ) dan guru BP. Lalu akupun menuju ke kelas untuk menaruh tas dan langsung merapat ke lapangan karena upacara akan segera dimulai.
Akhirnya upacara pun selesai. Matahari pagi ini tak malu-malu memancarkan sinarnya. Keringat pun tak dapat ku cegah untuk terus menjalar ditubuhku dan membasahi bajuku.
“ Lo kenapa? Jangan bilang belum sarapan terus lo mau pingsan” Riko menatapku khawatir
“kalo gue pingsan lo pasti gendong gua ke UKS kan?” jawabku jail
“tenang, nanti lo gua gelindingin sampe UKS oke?” jawabnya kesal
“ Haha tenang rik, gua kan sobat lo yang paling strong kan? Gak ada ceritanya gua pingsan pas upacara”
“iya iya, lo kan jelmaan ya. Makanya gak jelas, cewek kok sifatnya kayak cowok”
“sial lo rik” aku pun mendengus kesal dan mengejar Riko yang langsung kabur setelah meledekku jelmaan.
Riko, dia adalah sahabat dekat ku sejak SMP. Aku mengenal dia sejak kelas 2 SMP. Awalnya dia pendiam sekali namun setelah kami mulai mengenal ternyata jauh dari perkiraan, dia cowok terjail dan terheboh yang pernah aku temui. Dibalik diam nya ternyata dia memiliki kepribadian ganda, dikelas terlihat pendiam sekali namun ketika keluar kelas dan ketika berkumpul dengan sahabatnya sifat gila nya pun keluar. Namun dia termasuk sahabat yang paling mengerti aku. Dia selalu tahu ketika aku sedang ada masalah tanpa aku harus bercerita kepadanya.
Riko
Senin pagi memang menjadi hari yang paling dibenci seluruh pelajar di Indonesia. Termasuk sahabatku yang satu ini, Diovi. Dia sangat amat membenci hari senin, karena hari senin ia harus merelakan beberapa menit waktu tidurnya.
Setelah upacara selesai, aku melihat wajah sahabatku ini pucat pasi sepertinya dia tak sempat sarapan pagi ini. Aku pun menanyakan keadaannya. Namun niat pengin serius eh dia malah bercanda. Dasar cewek jelmaan. Aku pun balik meledeknya.
Diovi, atau lebih tepatnya Opi. Dia bilang dia lebih suka dipanggil opi, lebih simple katanya. Dia gadis yang sangat cuek dengan penampilannya. Setiap sekola, lengan kemeja putihnya selalu di gulung, rambutnya hanya disisir asal, serta tak sedikitpun polesan bedak diwajahnya. Selain cuek dia juga termasuk yang tak pernah memperdulikan urusan percintaannya, bahkan dia belum sekalipun pacaran. Hello, jaman dimana cinta teramat penting bagi semua orang dan bahkan banyak yang galau karena cinta atau karena tak bisa move on dari mantan masih ada gadis 16 tahun yang belum mengenal cinta sekalipun. Segitu cueknya dia sehingga membuatnya jomblo seumur hidupnya.
Diovi
“eh rik, semalam gua mimpi indah loh” ungkap ku antusias ingin menceritakan semua mimpi ku pada Riko.
Kami memang selalu bercerita tentang apapun itu. Namun belum sempat aku memulai ceritaku terdengar ketukan pintu dan ternyata wali kelas kami lah yang datang. Tiba-tiba kelas menjadi ramai semua heboh dengan perbincangan mereka masing-masing. Ada apa? Tidak biasanya anak satu kelas berani berisik saat bu Irma walikelas ku ada didepan kelas. Aku yang sedari tadi fokus dengan novel bacaan ku pun mulai berpaling dan melihat ke pusat perhatian anak-anak. Ternyata anak baru disebelah bu Irma lah penyebab keramaian. Cowok yang tinggi, putih, dan tampan tersebut membuat seluruh kelas, cewe terutama mengeluhkannya.
“ selamat pagi anak-anak. Ibu akan mengenalkan pada kalian, anak baru dari Surabaya bernama Adrian. Adrian silahkan perkenalkan diri kamu” Bu Irma pun mempersilahkan Anak baru itu memperkenalkan diri.
“ nama gue Adrian ferdinan. Gua pindahan dari Surabaya” ucap Adrian sangat amat cuek.
“silahkan Adrian kamu duduk di tempat yang kosong”
“iya bu, makasih”
Anak baru itu pun berjalan kearah ku. Aku tak sedikitpun berharap ia memilih tempat duduk disebelahku. Karena sebenarnya ini adalah tempat duduk sahabatku Sasa yang sedang sakit dan tak bisa masuk sekolah untuk beberapa minggu. Tiba-tiba ia melirik kearahku.
“gue duduk disini ya” ucapnya tanpa basa-basi lalu meletakkan tasnya diatas meja.
“jangan, ini tempat duduk temen gue” jawabku menolak
Ia mengarahkan tatapannya ke arah pintu. Seperti mengetahui apa yang ia fikirkan aku pun langsung menjawab. “dia lagi sakit jadi ga masuk”
“yaudah gua duduk disini sampai dia masuk” jawabnya cuek
Ihh. Sok banget sih anak baru ini. Sok cool, nyebelin, keras kepala lagi. Cewek-cewek lain boleh suka sama dia tapi aku? Amit-amit deh. Cowok dingin dan sok keren kayak gini apa bagusnya coba.
Selama pelajaran berlangsung tak sedikitpun ia membuka mulut untuk sekedar menyapa. Sepertinya dia lebih pantas dijuluki ‘ Ice man ’ terlalu dingin bagaikan es. Aku pun tak ada niat untuk menyapa dia terlebih dahulu, berbeda dengan gadis-gadis lain yang terus memperhatikan cowok dingin disampingku ini. Apa istimewanya dia?
Mulai hari itu setiap sebelum masuk sekolah , jam istirahat, bahkan setelah bel pulang kelas ku jadi ramai dan selalu dipenuhi cewek-cewek kelas sebelah. Sampai-sampai aku harus mengungsi ke tempat lain karena tempat duduk ku telah di penuhi cewek-cewek yang mencoba akrab dengan cowok dingin tersebut. Karena ku tahu pasti akan mengungsi jadi aku memilih datang beberapa menit sebelum bel masuk. Namun tetap saja, setelah bel masuk aku tetap tak bisa duduk dengan leluasa di kursiku karena meja ku dipenuhi dengan kue-kue,coklat, juga benda-benda yang dihadiahi cewek-cewek untuk Adrian si ice man. Padahal yang aku lihat dia tak sedikit pun merespon cewek-cewek yang ingin berkenalan dengannya, malah pernah aku melihat ia sedang membentak Nia yang pagi itu mencoba memberikan kue untuk Adrian. Matanya yang tajam dan nada bicaranya yang amat sangat keras membuatku merasa takut berada di dekatnya. Dimataku dia adalah seorang yang tidak hanya dingin melainkan kejam.
“ Gue gak suka sama cewek lebay kayak gitu “ ucapnya dengan nada sedikit mengeras. Aku pun langsung panik dan ketakutan karena aku ada disamping dia. Bisa-bisa aku kena bentak juga lagi.
“ya ya yaudah, gua kan ga ada hubungannya sama cewek-cewek itu. Kenapa lo ngebentak gue?” nada bicara ku sedikit bergetar. Meskipun aku terkenal cuek tapi aku paling tidak bisa dibentak.
Tiba-tiba dia menatapku, sepertinya dia mulai sadar bahwa aku sangat amat takut. Namun matanya yang tajam membuatku semakin takut. Lalu dia tersenyum dan mempalingkan wajahnya dariku.
“woy semuanya, ambil nih barang-barang yang ada dimeja gue. Semuanya buat kalian” dia berteriak membagi-bagi semua barang yang diberikan cewek-cewek untuknya.
‘ ini cowok ternyata sangat gak punya perasaan’ gumamku
Mulai saat itu, aku jadi takut duduk disampingnya. Namun sangat tidak mungkin jika aku yang mengalah dan pindah tempat duduk. Kan aku duluan yang duduk disini. Aku mencari cara untuk bisa mengusir dia dari tempat duduk sasa. Cara satu-satunya adalah Sasa kembali sekolah agar bisa mengusir cowok menyeramkan itu, namun Sasa masih harus menjalankan pengobatannya hingga beberapa bulan kedepan. Itu artinya, aku harus rela duduk dengan jelmaan sumanto yang amat menyeramkan.
Adrian
Semenjak kepindahan ku di sekolah ini, tak jauh berbeda dengan sekolahku yang lama. Cewek-cewek lebay yang selalu mengelilingiku. Memberiku ini itu, mengikutiku kemanapun aku pergi. Aku tak suka keadaan seperti ini, mengganggu dan risih. Beruntung, aku tak salah memilih tempat duduk. Cewek disampingku ini berbeda dengan cewek lainnya. Ia bahkan tak sedikit pun melirik kearahku. Akhir-akhir ini aku rasa dia ketakutan karena melihatku membetak salah satu cewek dari kelas sebelah. Mungkin dia adalah tipe cewek yang tidak bisa dibentak. Aku rasa dia sedang mencari cara untuk memintaku pindah dari tempat dudukku saat ini.
Saat jam istirahat, tiba-tiba dia mengajak ku bicara. Setelah dua minggu kami bersebelahan tempat duduk kami sangat jarang bahkan bisa dihitung berapa kali kami membuka suara.
“ boleh gue ngomong?” ucapnya membuka pembicaraan
“apa?” jawabku
“ dari awal gue kan pernah bilang sama lo, kalo ini tempat duduk sahabat gue, Sasa. Jadi sekarang gue boleh minta lo pindah ga? Di belakang dan disebelah kanan sana kan juga kosong” dia berbicara dengan hati-hati.
“sahabat lo kan belum masuk, kenapa gue harus pindah?”
“..... karena lo kan belum dapet ijin dari sahabat gue jadi ga bisa seenaknya duduk disini” sepertinya dia benar-benar takut padaku
“oke, kalo gitu pulang skolah lo harus temenin gue ke rumah sakit sahabat lo. Gue mau minta ijin” aku pun langsung meninggalkannya dan menuju kantin.
Diovi
Hari ini aku memutuskan untuk berkata jujur pada Adrian untuk segera pindah dari tempat duduk sahabatku, Sasa. Namun sepertinya aku benar-benar takut padanya sehingga aku memberikan alasan yang tak masuk akal.
“ boleh gue ngomong?” ucapku membuka pembicaraan
“apa?” jawabnya singkat
“ dari awal gue kan pernah bilang sama lo, kalo ini tempat duduk sahabat gue, Sasa. Jadi sekarang gue boleh minta lo pindah ga? Di belakang dan disebelah kanan sana kan juga kosong” aku berbicara dengan yakin meskipun sebenarnya aku sangat takut
“sahabat lo kan belum masuk, kenapa gue harus pindah?” arggghh menyebalkan. Apa susahnya sih tinggal pindah aja. Gerutu ku dalam hati
“..... karena lo kan belum dapet ijin dari sahabat gue jadi ga bisa seenaknya duduk disini” aku mulai ketakutan dengan tatapannya yang tajam seperti ingin memangsaku sekarang juga. Sehingga aku memberi alasan yang tak masuk akal.
“oke, kalo gitu pulang skolah lo harus temenin gue ke rumah sakit sahabat lo. Gue mau minta ijin” jawabnya dan langsung meninggalkanku.
Sial! Cowok nyebelin. Apa susahnya sih tinggal pindah aja. Terpaksa deh aku harus mengantarnya nanti ke rumah sakit Sasa dirawat. Aku tak tahu bagaimana nasibku nanti pulang sekolah.
Saat pulang sekolah aku ingin kabur saja rasanya. Mencari-cari keberadaan Riko agar bisa membawa ku kabur dan menggagalkan rencana Adrian yang ingin mengajakku ke rumah sakit tempat sasa dirawat. Namun, sepertinya aku benar-benar sial hari ini. Bukannya Riko yang kudapati tapi Adrian lah yang menghampiriku dengan mobil jeep nya.
“masuk” katanya jutek
“e e e gue ada tugas mendadak , jadi kapan-kapan aja ya” ungkapku gugup. Bukan gugup sebenarnya tapi takut. Jika aku dibunuh tiba-tiba dijalan kan tak ada yang tahu.
“gak usah alasan. Cepet masuk!”
“i i iya”
Sial cowok ini benar-benar menyeramkan. Terpaksa aku pun pasrah masuk ke mobilnya. Saat dimobil tak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya. Hening dan hening. Aku terus berkutat dengan fikiranku. Setelah beberapa saat, tiba-tiba mobil Jeep milik Adrian berhenti di jalan yang sepi. Astaga, jangan-jangan dia benar-benar ingin menghabisiku.
“lo tau kenapa dari awal gue milih duduk disamping lo?” ia pun membuka pembicaraan. Bukan kedinginan seperti biasa yang aku tangkap dari nada bicaranya, tapi kelembutanlah yang aku dapati
“nggak, kenapa emangnya?”
“gue ngeliat lo itu beda sama cewek-cewek lainnya. Lo cuek, gak kecentilan dan gak lebay. Perlahan gue bisa ngilangin bayangan kejadian itu setip gue deket lo. Karena setelah kenal lo, gua jadi yakin kalo ga semua cewe itu lemah” ucapnya lirih bahkan hampir tak terdengar.
“kejadian? ” tanya ku takut-takut salah ngomong dan membuat dia kembali berubah jadi macan yang menyeramkan
“ kejadian dua tahun yang lalu, saat pacar gue meninggal. Gue sangat terpukul karena satu-satunya orang yang gua sayang harus ninggalin gue dan yang bikin gue semakin terpukul adalah penyebab kematiannya dia adalah gue”
Penyebab kematian? Jadi dia ini pembunuh? Dan jangan-jangan sekarang aku mau dijadikan korbannya yang selanjutnya. Perlahan aku mundur dan bergegas ingin membuka pintu mobil namun ‘hap’ tanganku ditangkap dan dia menahanku untuk tidak keluar dari mobilnya.
“lo mau kemana? Setelah lo tau, lo mau ngejauh dari gue kan? Sama kayak yang lainnya” ucapnya lirih
“elo ga mau ngebunuh gue kan? Darah gue ga manis loh sseriusan” jawabku panik atau lebih tepatnya ketakutan
Tiba-tiba tawanya pun meledak
“jadi lo kira gue bakal bunuh lo dan makan daging lo gitu?”
“i i iyaaa, lo tadi bilang kan lo yang bikin cewek lo mati ,terus slama ini lo juga dingin banget kan, tapi tiba-tiba lo ngajak gue berduaan. Itu bukan artinya lo mau jadiin gue korban selanjutnya kan?” jawabku menunduk
“jadi lo ngira gue itu pembunuh? Lo itu gak Cuma cuek tapi polos + bloon ya” ledeknya
“sial, jadi sebenernya lo ini siapa? Trus kenapa cewek lo bisa mati karena lo?”
“ dia mati pas gue ajak balapan mobil. Gue kira dia itu cewek yang kuat seperti yang selalu dia tunjukin ke gue tapi ternyata dia lemah dan dia meninggal setelah gue ajak dia balapan .... ” ungkapnya sangat lirih. Ada satu cairan bening yang mengalir di pipinya.
“dulu gue emang suka banget balapan, dan gue sayang banget sama cewek gue makanya gue gak nyangka kalo ternyata gue malah nganterin dia ke kematian”lanjutnya
“ kematian itu cuma Tuhan yang tau Ian. Lo gak bisa nyalahin diri lo sendirian karena semua udah digariskan Tuhan” Aku mencoba menenangkan dia yang sedikit tersedu. Ternyata cowok yang misterius ini punya cerita yang begitu memilukan.
“tapi semua orang menyalahkan gue, keluarga cewek gue bener-bener nganggap gue penyebab kematian anaknya. Mereka gak mau liat gue lagi. Gue udah berusaha minta maaf ke mereka tapi mereka ga maafin gue. Kakak-kakaknya malah mukulin gue sampe babak belur. Gue bener-bener mengutuk diri gue sendiri, kalo boleh milih gue rela nuker dia dengan nyawa gue, gue pun pernah nyoba bunuh diri 2kali tapi semuanya gagal, gue masih hidup sampai sekarang”
“itu semua karena Tuhan sayang sama lo. Dan itu bukan cara untuk bisa nebus dosa lo. Sekarang lo harus bisa bangkit dan perlahan ngelupain masalah itu. Gue yakin, meskipun keluarga cewek lo belum bisa terima tapi cewek lo pasti ngerti kok kalo ini bukan salah lo” ucapku mencoba menenangkan dan menepuk pundaknya perlahan
Tiba-tiba dia menatapku dan tersenyum.
“ maka dari itu, gue mau berubah dan gue percaya lo bisa buat gue ngelupain semuanya”
“maksud lo?” aku mengernyitkan dahiku . tak mengerti dengan yang ia ucapkan
“gue mau lo jadi cewek gue, untuk pura-pura. Biar cewek-cewek yang sering dateng ke kelas pada ngejauh. Gue capek dikejar-kejar terus, gue mau bebas dan perlahan ngelupain kisah kelam itu”
“ ..... tapi kenapa harus gue? “ tanyaku ragu
“lo beda sama yang lain. Itu alasannya. Sekarang gue harap lo mau bantu gue” ucapnya. Aku sedari tadi hanya bengong.
“tapi lo tenang, suatu saat kalo lo nemuin cowok yang lo suka lo boleh pergi sesuka lo” dia tak mengalihkan pandangannya. Matanya mengunci mataku. Aku yang ditatap pun tak dapat mengalihkan pandanganku. Matanya yang tajam ternyata bisa melembut dan menghanyutkan.
“gue harap lo mau bantu gue ya”
Adrian
Hari ini aku menceritakan semuanya kepada Diovi. Awalnya dia ketakutan karena mengira aku adalah seorang pembunuh, namun akhirnya aku menjelaskan semuanya. Sepertinya dia mengerti. Lalu aku memintanya atau lebih tepat memaksanya untuk menjadi pacar bohonganku agar cewek-cewek lebay disekitarku menjauh dariku. Satu lagi, entah kenapa aku yakin dia bisa membantu ku untuk berubah dan melupakan kejadian itu.
Keesokan harinya aku menjemputnya kesekolah. Sekalian mengumumkan ke anak-anak disekolah bahwa kami adalah pasangan sekarang. Saat sampai dirumahnya ternyata dia belum bangun, dasar pemalas.
Diovi
Keesokan harinya
Pagi ini rasanya berat sekali untukku membuka mata. Kejadian sore kemarin membuatku tak mau melewati hari ini.
“ Diovi, bangun. Udah dijemput tuh” teriak mamah
“siapa mah?” tanyaku kaget. Karena tak biasanya ada yang jemputku. Apa mungkin Riko menjemputku? Dalam rangka apa? .
“mamah gak kenal” jawab mamah
Aku pun langsung bersiap-siap dan setelah beberapa menit aku pun langsung keluar kamar dan aku terkejut saat melihat laki-laki yang menjemputku ternyata Adrian.
“ngapain lo?”
“jemput lo, gue kan pacar lo sekarang”
“BOHONGAN”
“haha iya iya, ayok nanti kita telat”
Dasar cowok es, udah maksa gue jadi pacar bohongannya eh bertingkah semaunya lagi.
“mah, opi berangkat” pamitku
“tante, kami berangkat ya. Assalamualaikum” pamitnya. Sok sopan sok baik padahal aslinya nyebelin abis. Dia pandai sekali berakting.
Saat dimobil lagi-lagi keheningan lah yang terjadi. Sampai mobil Jeep milik Adrian sampai di parkiran sekolah barulah dia buka suara.
“ gue percaya sama lo”
Maksudnya apasih cowok ini. Dari tadi diam seribu bahasa, sekalinya ngomong aneh begitu. Dasar cowok misterius. Entahlah sudah berapa julukan yang aku berikan untuknya.
Kami pun turun dari mobil dan seketika semua mata yang sedari tadi menunggu kehadiran Adrian pun langsung menatap kearahku dengan sinis. Sepanjang koridor semua mata tertuju padaku.
“loh kok bisa si Opi satu mobil dengan Adrian?”
“kok bisa?”
Hingga sampai ke kelas pun banyak sekali yang membicarakan ku dan Adrian. Sesampai dikelas cewek-cewek yang sedari tadi menunggu kedatangan Adrian pun kaget dengan kedatangan Adrian bersama ku.
“kok lo dateng bareng Diovi sih adrian?” tanya Nia, cewek kelas sebelah yang pernah dibentak oleh Adrian. Ternyata dia gak kapok dan masih berani mendekati Adrian.
“ sekarang, dia cewek gue” jawab Adrian
Semua mata pun kembali menatapku sinis. Seakan bertanya kok bisa ? kenapa harus dia? . Aku yang ditatap pun mencoba bertingkah sebiasa mungkin. Lalu Adrian menarik lenganku menuju tempat duduk kami. Perlahan cewek-cewek yang sedari tadi memenuhi kelas pun menjauh dan meninggalkan kelas.
“berhasil” bisik Adrian
Mulai hari ini Adrian pun selalu bertingkah manis kepadaku disekolah. Tapi setelah itu, Cuma hening dan sifat dinginnya pun keluar. Saat di mobil pun sering sekali aku hanya di cuekin. Namun aku tidak dapat menuntut lebih karena status ku dengannya memang hanya bohongan.
Riko
Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada sahabatku,Diovi. Tiba-tiba Adrian mengumumkan bahwa Adrian dan Diovi sudah pacaran. Bahkan Diovi tak pernah bercerita padaku kalau dia menyukai Adrian. Yang ku tahu, dia sangat tidak suka pada anak baru itu. Aku bersahabat dengannya bukan sehari dua hari jadi aku bisa dengan jelas melihat bahwa tak ada rasa suka apalagi cinta dimata Diovi. Sejak ia berpacaran dengan Adrian, seakan ada jarak antara kami. Setiap hari disekolah ia hanya berduaan kemana-mana dengan Adrian. Setiap bertemu aku ia hanya menyapa sesekali lalu berlalu seakan tak mengenal ku. Karena aku penasaran dengan perubahan sikap Diovi serta aku pun tak munafik bahwa aku merindukan sosok sahabatku yang gila dan cuek itu, akhirnya malam ini tepatnya malam minggu aku datang kerumah Diovi bersama Dilla sahabat SMP kami.
Sesampai dirumahnya, kami langsung di sapa oleh mamanya Opi. Kami memang lumayan sering main kerumah Opi jadi mamahnya seakan telah menganggap kami anaknya jadi langsung menyuruh kami masuk ke kamar Opi.
Diovi
Malam ini aku sedang menikmati lagu-lagu dari Simple Plan, band favoritku. Tiba-tiba terdengar suara cempreng dari luar. Aku sangat mengenal suara itu, pasti Riko.
“spadaaaaaaa” teriaknya tepat di depan pintu kamarku
“opi nya gak ada” jawabku dari dalam
Riko pun masuk ke kamarku, ternyata dia tidak sendiri. Dia bersama Dilla, sahabat kami di SMP.
“ woy, cewek jelmaan” ledeknya sambil membaringkan tubuhnya di sebelahku.
“apasih lo playboy cap kecap” jawabku balik meledeknya
“eh Opi, mana cowok lo si Adrian? Masa iya orang pacaran malem minggu dirumah aja. Dia gak ngapel atau ngajak lo jalan gitu?” pertanyaan Dilla berhasil membuatku tersentak dan berusaha memutar otak agar tidak mencurigakan.
“iya nih, kok aneh?” si Riko ikut-ikutan memojokanku
“ eh ehm si A Adrian lagi ada urusan makanya gak bisa kesini” jawabku terbata.
“oh, Btw lo kok ga cerita-cerita ke gue sih kalo lo suka sama si Adrian?” tanya Riko
“ehm, iya gue malu ceritanya. Secara selama ini gue kan belum pernah pacaran”jawabku asal. Aku berbohong karena aku sudah janji kepada Adrian untuk tidak memberitahu siapapun.
“dasar lo cewek jelmaan” ledek Riko lagi
“eh, cerita dong. Udah berapa lama lo pacaran sama dia? Udah pernah ngapain aja?” tanya Dilla
Wajahku pun seketika memerah. Dilla memang jail setengah mati. Jam terbangnya dia dalam percintaan memang sangat banyak. Jadi wajar kalau dia menanyakan hal itu.
“maksud lo ngapain apa?” aku pun memilih pura-pura tidak mengerti, karena pada kenyataannya aku dan Adrian kan hanya pacaran bohongan. Sangat tidak mungkin melakukan hal-hal yang dimaksud Dilla. Lagian Adrian kan cowo es mana bisa romantis.
“gausah pura-pura bego deh, walaupun lo belum pernah pacaran masa lo ga ngerti sih”
Aku mencoba mencari alasan yang tidak menyurigakan. Adrian memang sangat amat kejam, selain memaksaku untuk jadi pacar bohongannya ia pun memaksaku untuk tidak bercerita dengan siapapun, termasuk sahabat-sahabat ku.
“secara ya Opi, Adrian itu keren dan kayaknya romantis gitu. Meskipun kalo disekolah jutek abis”
‘Gak hanya disekolah dia jutek, tapi dimana-mana juga emang kayak gitu’ gerutuku dalam hati
“woy jawab! Dia malah ngelamun” Dilla mulai tak sabar menunggu jawabanku
“eh ehm belum pernah ngapa-ngapain hehe” jawabku
“SERIUS??” dua pasang mata ini seakan ingin menerkamku
“i iya, kenapa? Gue sih normal yah pacarannya. Gak kayak lo dill Overdosis” aku mencoba mengalihkan pembicaraan
“sial lo”
Setelah kejadian malam itu, kenapa aku jadi kefikiran kata-kata Dilla. Bagaimana jika ada yang bertanya padaku, gimana kita pacaran, ngedate kemana aja, jadiannya gimana, dan aku harus jawab apa?
Pagi ini seperti biasa, dia menjemputku. Saat dimobil aku berniat membicarakan dengannya tentang hal itu.
Saat di mobil aku mencoba membuka mulutku dan mengajak dia membicarakan hal itu.
“gue boleh ngomong sama lo?”
“kenapa?”
“kita kan udah satu bulan pura-pura pacaran. Kalo tiba-tiba ada yang nanya kita jadiannya gimana, pacarannya gimana, dan ngapain aja ... ”
‘buk’ Tiba-tiba dia rem mendadak dan berhasil membuat keningku terbentur dashbor mobilnya.
“Adriaaaaaannnn, lo bisa bawa mobil ga sih? Jidat gue benjol nih”
Bukannya menjawab dia hanya menatapku. Aku yang ditatapnya pun hanya bisa menunduk karena takut, sepertinya aku salah ngomong barusan.
“e udah deh abaikan, cepet jalan lagi” ucapku mengalihkan pembicaraan. Karena kalau terlalu lama ia menatapku begitu bisa-bisa wajahku berubah merah, dan dia pasti menertawakanku abis-abisan.
“lo bener juga, semuanya gue percayakan sama lo”
“maksud lo apaan sih?”
“gue percaya lo bisa karangin semuanya, nanti gue tinggal iyain aja”
“elo ya. Huh”
Dengan memasang wajah tak berdosa ia kembali melanjutkan perjalanan. Nyebelin banget sih nih cowok, bisanya nyusahin aja nih.
Saat disekolah aku pun terus mengelus-elus keningku. Berharap sang pelaku tersadar dan mau minta maaf saat melihat korbannya menderita. Namun, memang pada dasarnya dia ini cowok es, gak peka, jangankan minta maaf melirik aja tidak.
Hari ini Adrian sedang latihan basket jadi aku bisa bebas ke kantin bersama sahabat-sahabat ku. Setelah sekian lama aku harus terus-terusan disamping cowok misterius itu akhirnya aku bisa bebas menggila dengan sahabat-sahabat ku. Tadi mereka sudah ke kantin terlebih dulu, aku pun niat ingin menyusulnya tapi baru saja ingin melangkah tiba-tiba segerombolan cewek-cewek ‘pecinta’ Adrian datang menghampiriku dan memaksaku duduk kembali.
“apa-apaan nih?” tanyaku tak mengerti
“gue masih gak percaya lo sama Adrian beneran pacaran. Secara, setiap malam minggu gue lewat rumah lo tapi gue ga pernah liat Adrian ngapel gitu dirumah lo” ucap Nia
“kayaknya lo Cuma mesra disekolah kan? Di twitter, di facebook, di luar sekolah lo gak pernah mesra-mesraan tuh?” lanjut Zahra memperkeruh suasana
“iya bener, sebenernya lo beneran pacaran gak sih? “ tanya Sissy
“bener lah” ucapku gugup. Secara satu lawan banyak. Bisa-bisa aku di telan hidup-hidup sama mereka
“oke, kalo emang lo beneran pacaran. Gimana awalnya kalian bisa jadian? Perasaan hari-hari pertama kalian masuk kalian Cuma diem-dieman kan?” kata Dessy anak kelasku yang juga menyukai Adrian
“ehm, wa waktu itu Adrian ngajak gue ketemuan. Iya, terus dia nembak gue deh. Katanya dia suka sama gue sejak pandangan pertama” jawabku . jujur, aku sangat bingung harus jawab apa. Gak ada ide sama sekali untuk ngarang cerita. Dan aku baru sadar jawabanku tadi benar-benar tak masuk akal.
“suka? Sama lo? Pandangan pertama? Mana mungkin” ledek Nia
“kenapa ga mungkin?” Tiba-tiba Adrian datang dengan seragam basketnya.
Akhirnya, tumben banget nih anak jadi dewa penyelamat. Biasanya ngerepotin terus.
“ta tapi lo berdua ga pernah keliatan mesra” cetus Zahra. Sedangkan cewek-cewek yang lain langsung diam dan ketakutan. Terutama Nia, secara dia kan pernah dibentak Adrian.
“oh, jadi kalian semua mau liat gue mesra sama dia?”
“ lo liat nih”
Tiba-tiba dia menarikku hingga membuatku langsung berdiri dan menghadapnya sangat dekat. Lima detik, aku seakan terhipnotis. Mataku terbelalak kaget, bibir Adrian meninggalkan jejak di bibirku. Inikah rasanya ciuman? Hangat dan manis. Tapi tunggu, dia kan hanya pacar bohonganku. Dia tidak berhak mendapatkan first kiss ku. Tapi dalam hati, seribu satu ledakan perasaan bermain-main bebas.
“cukup?” tanya Adrian pada cewek-cewek tadi. Dan cewek-cewek tersebut pun langsung berlarian keluar kelas.
Aku masih terpaku. Tak mampu bergerak. Statis. Bagaimanapun itu artinya Adrian telah merebut first kiss ku yang seharusnya ku berikan pada pacar sungguhanku bukan dia, pacar bohongan.
“biasa aja, gausah merah gitu pipinya” ucapnya meledek dan langsung kembali kelapangan basket
“Adriaaaannn” teriakku kesal.
Dia cowok yang bener-bener gak punya perasaan. Udah maksa aku untuk jadi pacar bohongannya, terus ngerepotin, dan gak tau diri lagi bersikap seenaknya. Aku benci cowok itu, gerutuku dalam hati.
Saat pulang sekolah, aku memutuskan untuk tidak pulang dengannya.
“ayok” ajak nya
“gak! Makasih, gue mau balik sendiri” lalu meninggalkan dia
Adrian
Hari ini aku melakukan hal yang sangat memalukan. Mencium dia di depan cewek-cewek lebay yang sedang mengintrogasinya. Entah dorongan dari mana hingga aku berani melakukannya. Tapi tujuanku adalah ingin menyelamatkan dia dari cewek-cewek lebay itu. Sepertinya dia benar-benar kesal tapi aku menangkap pipinya berubah memerah. Ternyata itu tadi first kiss nya, wajar saja.
Sore ini, dia menolakku untuk pulang bersama. Sepertinya dia bener-bener marah padaku.
Diovi
Setelah kejadian itu aku memang meminta untuk tidak diantar-jemput olehnya. Bahkan saat disekolah pun aku tak mau berpura-pura mesra lagi dengannya. Kebetulan aku dikenalkan anak baru dikelas sebelah sama Riko, namanya Abi. Abi memang tak setampan Adrian tapi aku mulai merasa nyaman dengannya. Caranya bicara dan caranya memperlakukan wanita sangat amat manis. Dia juga pandai memainkan piano sama seperti ku. Tidak jarang kami berdua bermain piano bersama diruang musik. Hal itu membuat seisi sekolah gempar. Dan mulailah berkembang gosip-gosip baru. Dimulai gosip aku selingkuh, hingga gosip aku dan Adrian telah putus. ‘putus? Jadian aja nggak’ gumam ku dalam hati. Aku pun tak menghiraukan gosip yang beredar. Begitu pula yang bersangkutan, Adrian. Dia sama sekali tak ada niat meminta maaf atau apapun padaku. Setiap ada cewek yang menanyakan perihal gosip itu, dia hanya menjawab ‘kita cuma lagi marahan’.
Dia tidak hanya menyeballkan tapi juga tidak tahu diri. Sudah memaksaku untuk jadi pacar bohongannya, dia seenaknya mempermalukanku, sekarang dia seenaknya juga pergi. Sudah beberapa hari ini dia tidak menyapaku di sekolah. Tak ada alasan yang pasti. Tapi entah mengapa aku membenci keadaan seperti ini, cuek-cuekan, dan sekarang dia malah ngga menyapaku sama sekali. Tunggu, kenapa aku jadi mengharapkan dia mengabariku? Tapi jujur, aku merindukannya.
Adrian
Telah beberapa hari disekolah aku tak bertutur sapa dengannya. Biasanya kami selalu berdua disekolah, Namun kali ini, aku rasa dia masih marah padaku karena hal itu. Aku tidak bisa memaksa dia lagi. Bodohnya aku tidak memiliki keberanian untuk meminta maaf padanya. Aku lihat beberapa hari ini dia sedang dekat dengan anak baru dari kelas sebelah. Aku sering melihatnya berduaan diruang musik. Sepertinya dia telah menemukan laki-laki yang benar-benar ia suka jadi sekarang aku tak dapat lagi memaksanya terus membantuku, sekarang sudah saatnya dia bahagia dengan pilihannya. Dan aku akan melepasnya.
Diovi
Beberapa hari ini ia benar-benar menghilang bagaikan ditelan bumi. Aku sedikit merindukan jailnya dia, dingin dan cueknya dia. ‘Lo kemana sih Ian?’ ucapku pelan
‘ddrrttt’ Tiba-tiba handphoneku bergetar
1 Message Received....
Adrian ‘Cowok Misterius’
Gue minta maaf kalo selama ini udah ngerepotin lo. Thanks buat semuanya. Sekarang lo bebas gue ga akan ganggu lo lagi.
Me
Maksud lo apasih?
Adrian ‘Cowok Misterius’
Satu lagi, sorry gue udah ngerebut first kiss lo
Me
Adriaaaaaaaannnnnn
Anak ini, masih aja nyebelin. Gerutuku dalam hati . Setelah itu dia tak membalas. Apa maksud sms nya? Apa sekarang dia udah bisa melupakan masalahnya sehingga dia tak membutuhkan aku lagi? Tapi dia kurang ajar, waktu memintaku untuk membantunya dia sampai nangis-nangis segala, tapi setelah berhasil dia Cuma bilang makasih lewat sms. Dasar cowok misterius nyebelin!!!!!
Sekarang disekolah setiap ada yang menanyakan tentang Adrian padaku, aku pasti menjawab “ Kami sudah tak ada hubungan apapun”
Kini aku dan Abi telah semakin dekat. Kami sering jalan berdua. Dia juga sering datang kerumah ku untuk sekedar mengajariku piano. Ternyata ayah nya abi adalah seorang pianis terkenal. Abi sangat berbeda dengan Adrian. Dia ramah, romantis, dan dia pandai memainkan piano. Apa benar yang dikatakan Riko sahabatku bahwa aku menyukainya? Entahlah.
Malam ini, Abi datang kerumahku membawa bunga dan sebuah boneka teddy bear besar sekali. Ia menyatakan perasaanya padaku. Aku pun menerimanya untuk menjadi pacarku. Aku fikir sudah saatnya aku merasakan punya pacar yang sesungguhnya.
Berita mengenai hubunganku dengan Abi pun dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru sekolah.
Adrian
Telah hampir satu bulan aku tidak masuk sekolah. Bayang-bayang kekasihku pun terus menghantui. Saat bersama Diovi aku tak pernah teringat hal itu namun kini saat dia telah menjauh aku merasakan kesepian dan kembali teringat hal itu. Apalagi dua hari lalu aku tak sengaja melihat kakak dari alm. Kekasihku di salah satu mol. Aku semakin terbayang dan tak berani keluar rumah.
Rencananya pagi ini aku ingin datang kerumah Diovi untuk meminta maaf secara langsung. Aku merasa tak tahu diri karena memutuskan hubungan antara kami hanya melalui pesan singkat. Namun tiba-tiba ada yang mengirim pesan padaku.
1 message received...
08131563xxxx
Adrian, apa kabar? Kemana aja kok lo udah hampir sebulan gak sekolah? Gue kangen sama lo
Me
Siapa ya?
08131563xxxx
Gue Nia, anak kelas XI ipa 4. Oya, denger2 lo putus sama Diovi ya? Sekarang dia udah punya pacar baru loh. Belum lama putus dari lo eh dia udah punya pacar aja
Membaca pesan itu ada rasa sesak dalam dadaku. Aku membanting ponselku asal. Aku membatalkan niatku hari ini. Sepertinya dia sudah benar-benar tak ingin mengenalku. Aku tak boleh merusak kebahagiaannya. Sudah terlalu lama dia menderita karena ku. Hari ini aku memutuskan untuk pergi ke cafe coffe. Aku ingin menenangkan diri.
Saat sampai di parkiran cafe, baru aku turun dari mobil namun tiba-tiba ‘bugggg’ sesorang menonjokku tepat dipelipisku. Lalu menghajarku hingga aku tak berdaya. Aku mencoba membuka mataku yang telah berlumur darah. Disekelilingku telah ramai orang menyaksikan
“bang Dio?” ucapku terbata. Ternyata bang Dio ‘kakak dari alm. Kekasihku’
“iya, gue. Kenapa? Takut lo?” bentak bang Dio tepat di wajahku. Lalu ia menjatuhkan tonjokan lagi di perutku.
“aagghh” aku menggeram kesakitan
“lo masih berani hidup ya? Gue kira lo udah mati. Atau jangan-jangan lo mau cari cewek lain untuk lo bunuh ?” bentak bang Dio (lagi)
“s so sorry bang, gue gak ngebunuh ade lo, itu takdir bang” aku mencoba membela diri
“Takdir? Ini baru takdir” ‘bugh’ lagi-lagi tangannya yang keras mengenai pelipisku. Kini wajah ku telah penuh dengan darah. Lalu ia pergi.
Semua orang mendekat kearahku, mencoba membantuku berdiri. Tiba-tiba Diovi menghampiriku.
“Adrian” ia terkejut melihat wajahku berlumuran darah
“lo kenapa?” ucapnya lagi khawatir
Saat aku mencoba melihat dia. Aku melihat dia sedang bersebelahan dengan Abi, anak baru yang katanya telah menjalin hubungan dengan Diovi.
“enggak, gue gapapa” ucapku dan langsung masuk ke mobil. Meskipun telah berlumuran darah aku masih punya sedikit kekuatan untuk menyetir mobilku sampai kerumah.
Saat dirumah aku membersihkan luka ku sendiri. Aku terus terbayang Diovi yang tadi berdua dengan kekasih barunya.
Diovi
Hari ini aku dan Abi akan jalan ke cafe coffe. Telah lama aku tidak kesana. Terakhir kesana bersama Adrian, itu pun hanya sekali. Namun saat baru sampai parkiran cafe, aku melihat ada kerumunan orang dan aku mencoba mendekat. Pada saat itu aku melihat Adrian yang sedang dibantu berdiri oleh banyak orang. Wajahnya berlumuran darah dan badanya penuh dengan lebam. Aku mendekatinya.
“Adrian” aku terkejut melihat wajahnya berlumuran darah
“lo kenapa?” ucapku sangat khawatir
Ia mencoba melihat kearahku.
“enggak, gue gapapa” ucapnya dan langsung masuk ke mobil. Ia pun pergi, aku tak yakin dia bisa menyetir mobilnya hingga kerumahnya.
“Adriaaannn” ucapku kesal
Acara ngedate ku dengan Abi pun tak berjalan dengan lancar, aku lebih banyak bengong dan memikirkan Adrian. Saat dirumah aku mencoba menghubungi Adrian namun nomornya tidak aktif.
Hari-hari selanjutnya akupun masih sering memikirkan Adrian. Anak itu tiba-tiba menghilang dan kenapa saat di cafe itu dia menghindar. Apa ia marah padaku.
Riko
Setelah putus dengan Adrian, aku melihat sahabatku Diovi sedikit berubah. Ia memang telah memiliki pacar baru yaitu Abi, tapi aku tak melihat bahwa dia cinta pada Abi. Sepertinya ia hanya kagum karen Abi pandai bermain piano.
Akhir-akhir ini aku sering melihat dia melamun.
“lo kenapa sih Opi?” tanyaku khawatir
“gapapa kok Rik” jawabnya lesu
“lo ga mau lagi cerita sama gue?”
“bukan gitu”
“terus kenapa?”
“gue ngerasa kehilangan Adrian rik, dia tiba-tiba ngilang gitu aja”
“ lo masih sayang sama dia? Terus kenapa lo terima Abi jadi pacar lo?”
“gatau, gua sendiri bingung sama perasaan gua. Gua kagum sama Abi, gua seneng kalo lagi bareng dia apalagi ngomongin piano. Tapi gue selalu ngerasa nyaman setiap deket sama Adrian”
“gue udah nebak, lo itu gak bener-bener cinta sama Abi. Lo itu hanya kagum karena dia punya hobby yang sama kayak lo”
“tapi...”
“cinta itu beda sama kagum Opi, cinta itu suatu kenyamanan. Lo akan merasa nyaman bersama orang yang lo cintai. Itu artinya lo cintanya sama Adrian bukan Abi”
“gue gak yakin rik dia punya rasa juga sama gue. Beberapa hari lalu gue ketemu dia di cafe dan dia babak belur. Tapi pas gue tanya dia kenapa, dia malah langsung pergi bagaikan gak kenal sama gue”
“mungkin ada sesuatu yang dia rahasiakan dari lo. Atau mungkin dia lagi ada masalah”
Dia terlihat terdiam. Entah apa yang ia fikirkan, tapi aku melihat wajah cemas dan sedih dari matanya. Aku pun meninggalkannya, aku yakin dia butuh waktu untuk sendiri.
Diovi
Aku tak mengira bahwa Riko benar-benar mengerti yang aku rasakan. Tapi apa benar dengan yang ia katakan. Bahwa sebenarnya perasaanku pada Abi bukanlah cinta tapi kagum. Dan sebenarnya cintaku yang sesungguhnya itu untuk Adrian. Tuhan, aku tak mengerti perasaanku.
Hari ini aku memutuskan untuk datang kerumah Adrian.
‘tok tok tok’ aku mengetuk pintu rumahnya. Seorang wanita paruh baya membukakan pintu.
“Adrian ada bi?”
“ada non, silahkan masuk”
“makasih bi” Aku pun langsung masuk kedalam
“ngapain lo kesini?” suara Adrian yang dingin mengagetkanku. Ternyata suaranya masih sangat dingin, sepertinya ia masih cocok dijuluki ice man.
“biasa aja dong” ucapku lalu menghampirinya di sofa
“muka lo udah sembuh?”tanyaku saat melihat wajahnya yang masih biru-biru
“udah mendingan, lo kangen ya sama gua?” ucapnya jail
“gausah kegeeran. Lo kemana aja sih? Marah sama gue?”
“siapa bilang gue marah? Gue Cuma nepatin janji gue ke elu. Waktu itu kan gue pernah bilang, kalo lo udah nemuin cowok yang lo suka, lo boleh pergi dan gue ga akan ganggu lo lagi”
“cowok yang gue suka?”
“iya, itu pacar baru lo. Siapa namanya?”
“Abi? Gue udah putus. Sebenernya ... gue gak suka sama dia, Cuma kagum karena dia jago main piano kayak gue”
“oh, terus lo suka nya sama siapa dong?” ia menatapku jail
“gatau”
“gue boleh jujur ga sama lo?”
“apa?” tanpa diperintah wajahku telah memerah melihat matanya yang terus menatapku
“lo berhasil buat gue berubah. Gue ngerasa kesepian tanpa lo. Dan saat jauh dari lo bayang-bayang itu balik lagi. Waktu di cafe itu abang dari cewek gue yang nonjokin gua sampe babak belur. Dia masih ga terima”
“astaga”
“gue punya satu permintaan lagi, bantu gue please!” ucapnya memohon
“apa? Jadi pacar bohongan lo lagi?” tanya ku cemberut. Sebenarnya aku ingin lebih, aku ingin kamu minta aku untuk jadi pacar beneran bukan bohongan terus, fikirku
“ayok” dia menarikku ke mobilnya.
“pake sabuk pengaman” perintahnya
“mau kemana?” tanya ku heran
Lalu dia menggas mobilnya dengan kecepatan tinggi. Untung saja jalanan hari ini tidak terlalu ramai, ia terus mengebut dan menerobos lampu merah. Entah setan apa yang merasuki Adrian hingga ia membawa mobilnya bagaikan orang kesetanan seperti ini. Aku yang disampingnya pun tak berani menatap kearah depan, aku terus menutup mataku. Pasrah apa yang akan terjadi padaku selanjutnya. Ia terus ngebut tanpa sedikitpun mengurangi kecepatannya. Sekarang aku percaya bahwa dia pernah jadi pembalap mobil. Nafasku seakan tak lagi beraturan, aku benar-benar lemas dan pasrah. Sampai akhirnya mobil Adrian berhenti tepat di pinggir jurang.
“lo gila” ucapku menghela nafas
“lo gak mati kan?” tanya nya konyol sekali, disaat seperti ini dia malah bercanda.
“gue emang ga mati tapi ruh gue udah melayang sampe surga” ucapku kesal. Orang ini udah hampir buat jantungku copot eh malah konyol gitu.
“sorry, tadi gue cuma mau buktiin. Kalo kejadian itu bener-bener diluar kendali gue. Semua udah diatur Tuhan, buktinya lo gue perlakukan sama seperti kejadian itu tapi lo gak kenapa-napa kan?”
Ia menatapku. Kali ini matanya yang masih sedikit membiru itu terlihat begitu sayu dan terlihat lemah.
“sekarang gue percaya sama apa yang lo bilang, kematian itu cuma Tuhan yang tau. Gue gak bisa nyalahin diri gue terus-terusan. Mulai sekarang gue akan jalani hari-hari gue dengan lebih baik lagi. Masalah keluarga alm. cewek gue terima atau enggak gue bakalan pasrah dan tetap berusaha ngeyakinin mereka kalau semua udah jalannya Tuhan.” Air mata nya mengalir di pipinya. Aku hanya bisa mengelus-elus bahunya.
“ Thanks ya Opi, lo udah bantu gua berubah. Lo udah bikin gue sadar kalo hidup ini sederhana dan indah” dia tersenyum dan terus menatapku. Baru kali ini aku melihat senyumnya begitu manis.
“Gue punya satu permintaan lagi”
“Apa?”
“Lo udah berhasil ngerubah gue, sekarang gue minta lo mau mengisi hati gue”
“maksud lo?”
“selama ini kan gue udah sering nyusahin lo. Sekarang ijinin gue ngebahagiain lo”
“masih gak ngerti” kataku sambil tersenyum jail
“dasar oneng!!!!” ledeknya sambil mencubit pipiku gemas
“lagian, dasar cowok es. Mau nembak cewek aja masih juga dingin”
“oh jadi mau yang hangat?” matanya menatapku jail
Aku curiga, aku perlahan mundur namun ‘hap’ . Dia memelukku erat. Lamaaaaa sekali, seperti tak rela jika harus dilepas. Sekarang aku telah benar-benar merasakan hangat. Kehangatan yang berasal dari cinta.
Aku tidak menyangka, cowok dingin dan misterius yang berhasil merebut first kiss ku adalah cinta pertama ku. Sekarang aku yakin, cinta itu misteri. Saat sang cupid memanahkan panahnya maka cinta tak dapat lagi dielakkan. Cinta adalah sebuah daya, mampu menghidupkan namun tak dapat dipahami, tetapi cinta adalah suatu fakta yang tak terelakan. Cinta itu suci, kesuciannya tak bisa ditandingi juga tidak bisa ternodai, sebab cinta lahir dari ketulusan hati. Namun, Cinta adalah jerat yang mengikat, begitu kuat hingga tak ada satupun yang mampu berlari dan melepaskan jeratannya.
Sumber : http://dysimajinasi.blogspot.com/2013/05/cowok-misterius.html
Cerpen Mencari Kematian
Konon, kematian adalah sesuatu yang masih tabu untuk diperbincangkan. Terlalu sulit untuk diceritakan dengan kata-kata. Selama kamu masih bernafas, dia akan mengintai jiwa-jiwa yang masih bernyawa. Tak ada yang pernah tahu kapan dia datang menjemput mereka, kalian, atau pun salah satu dari kita, dan entah dengan cara apa.
Kini hidupku sudah benar-benar hancur. Rusak. Tak berarti. Jika sudah begini, apa bedanya dengan memilih untuk mati? Menjadi bangkai. Busuk. Sama-sama tak ada artinya lagi.
Aku sudah tidak lagi dapat mengendalikan pikiranku. Satu hal yang terus berkecamuk dalam sel otakku: keinginan untuk segera mengakhiri hidup. Mati. Tiada. Bagiku, tak ada beda antara mati kemarin, hari ini, atau esok. Semua orang pasti akan mati. Hanya waktu dan jalan kematian saja yang membedakannya.
Aku ingin mati sekarang juga. Mengakhiri kekejaman dunia yang tak henti-hentinya merampas kebahagiaanku. Berbagai pilihan cara untuk mati berderet panjang dalam anganku. Aku hanya tinggal memilih, ingin mati dengan tragis atau mati yang tenang. Akan berlangsung cepat atau sebentar. Sakit atau tanpa rasa. Berbagai opsi menumpuk di kepalaku yang sepertinya sudah tidak waras lagi. Akhirnya aku memilih untuk mati dengan cepat. Tak peduli itu terasa sakit atau berakhir tragis, yang terpenting aku cepat meninggalkan dunia yang telah busuk.
* * *
Kini, aku tidur di atas rel kereta api. Dingin. Sudah ketiga kalinya aku mencoba bunuh diri. Pertama aku menceburkan diri dari atas jembatan. Aku pikir opsi pertama akan berhasil mengingat aku tak bisa berenang. Namun, ternyata aku masih saja menginjakkan kaki di bumi ini. Kedua, aku menghantamkan tubuhku ke tengah jalan tol yang padat kendaraan. Namun, kematian tak juga menjemputku. Semoga kali ini aku benar-benar tergilas kereta api.
Sudah lima jam berlalu. Tak ada kereta api yang melintas. Bodoh. Hanya membuang-buang waktu. Aku sudah frustasi. Mungkin aku akan meracik racun saja. Hanya dengan membeli lotion anti nyamuk, kapur barus, obat nyamuk cair, spirtus; lantas kemudian tinggal di campur. Tamatlah sudah riwayatku. Kematian yang sempurna!
* * *
Aku berjalan lunglai menyusuri jalanan kota yang masih sepi pada dini hari seperti ini. Belum ada toko atau warung yang buka sedini ini. Lampu jalan membias di udara. Sinar temaramnya membuat aku ingin segera mati.
Aku benar-benar tak tentu arah. Sebenarnya aku tidak begitu yakin ingin mati. Namun, aku juga sudah enggan mengecap pahitnya kehidupan yang semakin keras. Aku terjerat di antara dua buah kesemuan. Hidup atau mati.
Setelah beberapa jam aku berjalan, akhirnya aku kembali ke sebuah jembatan di atas sungai yang dulu menjadi tempat pertama aku mencoba bunuh diri. Aku terhenti sejenak. Banyak sekali orang yang berkerubun di sekitar situ. Tiap kali aku bertanya, tak ada satu pun yang menjawab, bahkan mereka tidak mempedulikan aku. Namun, orang-orang di sini ramai membicarkan tentang sebuah mayat yang tersangkut dekat sungai. Diduga korban tersebut bunuh diri. Tak ada identitas yang ditemukannya. Bau busuk tercium jelas dari sekitar mayat tersebut. Dan kamu harus tau apa yang aku lihat.
“Itu tubuhku. Itu wajahku. Itu mayatku!”
Aku behasil mati, tetapi mengapa aku masih saja berkeliaran di dunia ini?
Sumber http://melartholic.blogspot.com/2010/05/mencari-kematian.html
Kini hidupku sudah benar-benar hancur. Rusak. Tak berarti. Jika sudah begini, apa bedanya dengan memilih untuk mati? Menjadi bangkai. Busuk. Sama-sama tak ada artinya lagi.
Aku sudah tidak lagi dapat mengendalikan pikiranku. Satu hal yang terus berkecamuk dalam sel otakku: keinginan untuk segera mengakhiri hidup. Mati. Tiada. Bagiku, tak ada beda antara mati kemarin, hari ini, atau esok. Semua orang pasti akan mati. Hanya waktu dan jalan kematian saja yang membedakannya.
Aku ingin mati sekarang juga. Mengakhiri kekejaman dunia yang tak henti-hentinya merampas kebahagiaanku. Berbagai pilihan cara untuk mati berderet panjang dalam anganku. Aku hanya tinggal memilih, ingin mati dengan tragis atau mati yang tenang. Akan berlangsung cepat atau sebentar. Sakit atau tanpa rasa. Berbagai opsi menumpuk di kepalaku yang sepertinya sudah tidak waras lagi. Akhirnya aku memilih untuk mati dengan cepat. Tak peduli itu terasa sakit atau berakhir tragis, yang terpenting aku cepat meninggalkan dunia yang telah busuk.
* * *
Kini, aku tidur di atas rel kereta api. Dingin. Sudah ketiga kalinya aku mencoba bunuh diri. Pertama aku menceburkan diri dari atas jembatan. Aku pikir opsi pertama akan berhasil mengingat aku tak bisa berenang. Namun, ternyata aku masih saja menginjakkan kaki di bumi ini. Kedua, aku menghantamkan tubuhku ke tengah jalan tol yang padat kendaraan. Namun, kematian tak juga menjemputku. Semoga kali ini aku benar-benar tergilas kereta api.
Sudah lima jam berlalu. Tak ada kereta api yang melintas. Bodoh. Hanya membuang-buang waktu. Aku sudah frustasi. Mungkin aku akan meracik racun saja. Hanya dengan membeli lotion anti nyamuk, kapur barus, obat nyamuk cair, spirtus; lantas kemudian tinggal di campur. Tamatlah sudah riwayatku. Kematian yang sempurna!
* * *
Aku berjalan lunglai menyusuri jalanan kota yang masih sepi pada dini hari seperti ini. Belum ada toko atau warung yang buka sedini ini. Lampu jalan membias di udara. Sinar temaramnya membuat aku ingin segera mati.
Aku benar-benar tak tentu arah. Sebenarnya aku tidak begitu yakin ingin mati. Namun, aku juga sudah enggan mengecap pahitnya kehidupan yang semakin keras. Aku terjerat di antara dua buah kesemuan. Hidup atau mati.
Setelah beberapa jam aku berjalan, akhirnya aku kembali ke sebuah jembatan di atas sungai yang dulu menjadi tempat pertama aku mencoba bunuh diri. Aku terhenti sejenak. Banyak sekali orang yang berkerubun di sekitar situ. Tiap kali aku bertanya, tak ada satu pun yang menjawab, bahkan mereka tidak mempedulikan aku. Namun, orang-orang di sini ramai membicarkan tentang sebuah mayat yang tersangkut dekat sungai. Diduga korban tersebut bunuh diri. Tak ada identitas yang ditemukannya. Bau busuk tercium jelas dari sekitar mayat tersebut. Dan kamu harus tau apa yang aku lihat.
“Itu tubuhku. Itu wajahku. Itu mayatku!”
Aku behasil mati, tetapi mengapa aku masih saja berkeliaran di dunia ini?
Sumber http://melartholic.blogspot.com/2010/05/mencari-kematian.html
Rabu, 29 Oktober 2014
Cerpen Tiga Cowok Misterius
Hatiku berdebar-debar
semenjak aku pindah sekolah. Namanya SMA Mulia Harapan Bangsa. Aku terpaksa
pindah sekolah, karena dekat dengan rumahku yang baru. Baru satu bulan aku belajar
di sekolah baruku. Selama satu bulan itu hal yang paling berkesan untukku
adalah perayaan ulang tahun temanku yang bernama Salsia. Teman-temanku
melempari Salsia dengan air yang dimasukkan ke plastik. Ketika giliranku
melempari Salsia, tanpa sengaja lemparanku mengenai dadanya. Salsia marah. Tapi
bukan marah karena terkena dadanya. Dia marah karena foto pacarnya yang ia
simpan disaku bajunya basah dan rusak. Anak-anak SMA Mulia Harapan Bangsa
banyak yang baik. Cowoknya pun ada yang ganteng, namanya Ridwan. Aku diam-diam
naksir sama itu cowok. Tapi … yang aku tidak suka, ada yang meneror aku. Entah
siapa itu orangnya?
“Ananda, maksudmu kamu
diteror gimana?” tanya mamaku ketika kami duduk di ruang tamu. Hari minggu yang
cerah aku bercengkerama dengan mamaku.
“Aku sering dikirimi
surat cinta Ma ….” Jawabku.
“Lho, itu namanya bukan
diteror?! Kamu harusnya bangga dan bersyukur ada yang mengirimi kamu surat
cinta.”
“Hiya, aku tahu Ma. Tapi
seseorang yang mengirimi surat itu misterius banget. Aku tidak tahu siapa yang
mengirimi surat itu. Tiba-tiba surat itu sudah ada ditasku. Pernah juga ditaruh
dilaci meja.”
“Memangnya sudah berapa
kali kamu dikirimi surat?”
“Tiga kali. Makannya aku
sebel Ma. Kalau ada yang mencintai aku langsung saja bilang. Tidak usah bikin
aku puyeng gini.”
“Ya sudah, tidak usah
terlalu dipikir. Kamu sudah kelas dua SMA, banyak belajar.”
Mamaku selalu bilang
seperti itu, jika aku memikirkan sesuatu yang menurutnya tidak penting. Aku
anak bungsu. Kakakku yang pertama laki-laki, dia tinggal bersama istrinya.
Mereka belum lama menikah. Lalu kakakku yang kedua perempuan, dia kuliah.
Sebenarnya aku kepingin curhat dengan kakakku yang kedua. Tapi dia selalu
sibuk. Aku kalau cerita seringnya sama mamaku.
Hari senin sudah tiba,
aku berangkat ke sekolah. Aku selalu disindir teman-temanku soal kekayaanku.
Aku selalu diantar sopirku dengan mobil ketika berangkat dan pulang sekolah.
Tapi aku tidak pernah sombong dengan kekayaanku ini. Karena semua ini hanya
pemberian Tuhan. Dan aku wajib bersyukur.
Lagi-lagi ada surat
misterius. Surat itu ditaruh dibangku sekolahku. Saat istirahat, aku ngobrol
dengan sahabatku di taman sekolah. Sahabatku itu namanya Salsia.
“Sal … siapa ya, yang
selalu mengirim aku surat? Aku jadi penasaran.”
“Kita cari saja orang itu.”
“Caranya gimana Sal?”
“Kita teliti saja dari
suratnya. Kamu bawa kan suratnya? Coba aku lihat.”
Ananda memberikan keempat
surat itu pada Salsia. Dengan serius mereka berdua membaca isi surat itu lagi.
Isi surat pertama:
Bidadari baru di ambang
hatiku. Kulihat wajahmu bagai mentari berkilau menyinari tubuhku. Senyummu
seperti putri jelita. Perilaku dan tingkahmu membuatku berbunga-bunga. Aku akan
selalu melihatmu meskipun kau tak melihatku. Semenjak kau ada di sekolahan ini,
aku selalu membayangkan dirimu. Dan berharap kaulah cinta pertama dan
terakhirku …. Dari : seseorang yang selalu mengagumimu.
“Nan, kita teliti dari surat yang pertama
dulu. Dilihat dari kata-katanya, dia pandai merayu, puitis, dan orang ini
tentunya cowok. Di kelas kita, siapa yang pandai merayu dan pintar menulis
puisi?”
Sejenak aku berpikir, lalu aku bisa menebak
siapa cowok itu. “Aku tahu Sal! Mungkin Dion. Dia pandai menulis puisi. Tapi
sepertinya dia tidak pandai merayu. Lalu siapa ya?” setelah aku pikir-pikir
lagi, ternyata penulis surat itu bukan Dion. Dion cowok yang murah senyum.
Orangnya berkulit putih dan sedikit gemuk.
“Dion jarang berbicara dengan kita. Jika kau
lihat wajahnya bagaimana ekspresinya?”
Aku berpikir lagi ketika Salsia bertanya. Aku
mencoba mengingat-ingat kembali saat aku bertatap muka dengan Dion. Akhirnya
aku bisa berkesimpulan. “Sepertinya bukan Dion deh. Dia jarang berbicara
denganku. Lagian ekspresinya selalu tersenyum untuk semua orang. Di surat itu
tertulis kata-kata “Aku akan selalu
melihatmu meskipun kau tak melihatku.” Kemungkinan cowok itu berbeda kelas
dengan kita.”
“Tapi Dion juga harus kita curigai. Karena
yang pandai menulis puisi cuma dia. Jika orang itu berbeda kelas, siapa orang
yang kamu curigai Nan?”
“Siapa Ya?” aku berpikir lagi. “Oo, hiya! Alan
… dia patut dicurigai. Dia sudah dua kali menyapaku. Dan satu kali ngobrol
sebentar denganku. Lagian kita juga belum tahu dia pandai menulis puisi atau
tidak. Bisa saja dia bisa menulis puisi.”
“Kita baca surat yang kedua dulu saja.” kata
Salsia singkat.
Isi surat yang kedua:
Hari-berhari semakin berlalu. Sepertinya aku
semakin dekat denganmu. Tapi kamu tidak menyadari keberadaanku. Aku semakin
jatuh cinta padamu. Aku berjanji … dalam waktu dekat ini, aku akan hadir dan
mengungkapkan debaran jantungku ini. Ananda Jelia Ayu. Nama panjangmu begitu
beraroma seperti wajahmu yang juga lembut. Kamu memang anak yang jeli, elok
bercahaya matanya dan juga Ayu. Namamu tidak beda dengan kilau dirimu.
“Semakin dekat?!” Salsia tampak berpikir.
“Kira-kira siapa cowok yang semakin dekat denganmu?”
“Sepertinya tidak ada.” Kataku.
“Coba kamu ingat-ingat, Alan pandai merayu
tidak. Kamu pernah ngobrol kan dengannya.”
“Dia pernah bilang kalau aku cantik seperti
artis. Tapi kata-kata itu tidak seperti apa yang tertulis disurat. Kalau
disurat sedikit puitis gitu. Tapi kalau Alan cuma sederhana saja.”
“Walaupun sederhana dia kan juga bisa merayu.
Bisa jadi Alan yang menulis suratnya. Lagian dia berbeda kelas dengan kita.
Disurat itu katanya dia juga semakin mendekat. Dilihat dari dua kali menyapa kamu, lalu mendekatimu
dengan cara ngobrol satu kali denganmu, meskipun cuma sebentar. Tapi kita lihat
surat yang ketiga dulu.”
Isi surat ketiga:
: - )
“Surat yang ketiga cuma simbol senyum ….”
Salsia tampak kembali berpikir. Akupun juga berpikir.
“Aku
kembali menduga bahwa orang yang menulis surat ini Dion.” Kata Salsia
“Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?”
tanyaku.
“Karena Dion suka senyum.”
“Belum tentu Sal. Kita lihat saja surat yang
keempat. Surat ini surat yang terakhir.”
Isi surat keempat:
I LOVE YOU ….
“Surat keempat menguatkan perkiraanku, bahwa
penulis surat ini adalah cowok gombal. Kira-kira siapa di kelas kita yang
gombal Nan?”
“Mungkin Adam. Adam selain gombal juga preman
di kelas kita. Terus siapa dong Sal, yang nulis surat ini. Aku tu sebel banget
diteror terus kayak gini!”
“Menurut perkiraanku, di antara Dion, Alan,
dan Adam. Mulai sekarang kita selidiki saja satu persatu tiga cowok itu.”
Akhirnya kami berpendapat bahwa cowok yang
dianggap misterius adalah Dion, Alan, dan Adam. Dion memang pandai menulis
puisi. Dia juga murah senyum. Sedangkan Alan berbeda kelas denganku. Tapi dia
yang pernah ngobrol denganku. Dia orangnya berkulit sawo matang. Sedikit kekar
dan tinggi. Dia cowok yang paling pandai
bermain basket. Sedangkan Adam cowok yang gombal. Dia suka menggoda teman-teman cewekku. Dia
ugal-ugalan, sering bolos, dan sering pula dihukum guru. Siapa cowok yang suka
meneror itu? Yang jelas akan aku selidiki bersama Salsia, sahabatku.
Hari senin berlalu sudah. Dihari selasa ini
aku mulai melakukan penyelidikan. Aku bertanya dengan teman sekelas Alan.
Namanya Susi. Di kelas Alan, yang aku kenal cuma Alan dan Susi.
Ketika istirahat aku menemui Susi.
“Sus ….”
“Ada apa Nan?”
“Aku mau tanya. Alan itu pandai menulis puisi
tidak sih?”
“Memangnya kenapa tanya seperti itu?! Kamu
suka ya, sama Alan?”
“Eh, jangan ngawur. Aku cuma pingin tahu
saja.”
“Di kelasku tidak ada yang bisa menulis puisi.
Kecuali guru bahasa indonesia. He he he ….”
Akhirnya aku pun tahu. Ternyata Alan tidak
bisa menulis puisi. Entah kenapa aku jadi menduga bahwa cowok itu adalah Dion.
Aku mulai belajar akrab dengan Dion. Tapi sifat dan sikap Dion biasa saja. Dia
tidak terlihat tertarik denganku. Aku pun menyelidiki Adam. Adam selalu aku
dekati. Eh, dianya malah GR. Mungkin juga bukan Adam. Aku bingung, siapa
sebenarnya yang suka meneror aku. Sepertinya aku masih mempunyai harapan untuk
menebak siapa orang itu. Karena aku menemukan surat baru lagi dimejaku. Aku
bergegas membaca surat itu.
Isi surat:
Aku lama-lama kasihan denganmu. Aku akan
mengaku siapa aku sebenarnya. Tunggulah disaat kamu ulang tahun nanti. Aku akan
datang menemuimu …. Tanggal ulang tahunmu kebetulan bersamaan dengan acara
makan malam bersama dirumah Salsia. Teman-temanmu pasti hadir diacara itu. Aku
pun akan terlihat disitu.
Isi suratnya memang singkat. Tapi aku lega,
karena ulang tahunku hanya tinggal dua hari lagi. Aku siap untuk menanti orang
itu. Lalu akan aku jitak batok kepalanya. Dari isi suratnya aku yakin bahwa
cowok itu sekelas denganku. Hari berikutnya aku juga dikirimi surat lagi tapi
lewat pos. Surat itu disertai dengan bunga yang sangat indah. isi surat itu
hanya puisi-puisi cinta yang berbau romantis. Lebih romantis dari puisi-puisi
disurat sebelumnya.
Akhirnya hari yang aku tunggu sudah tiba. Aku
sudah berada di rumah Salsia. Semua teman sekelasku juga sudah hadir. Aku makan
bersama dengan teman-temanku. Setelah makan aku kepikiran, kenapa orang itu
belum juga menghampiri aku dan mengakui perbuatannya.
“Sal, cowok yang suka meneror aku ternyata
pembohong ya. Katanya mau mengakui perbuatannya dihari ulang tahunku ini. Kalau
tahu kayak gini aku tadi tidak jadi kerumahmu. Mama sama papaku pasti merayakan
ulang tahunku.”
“He he he ….” Salsia hanya mengomentari dengan
senyuman aneh.
“Kok, malah senyam-senyum Sal?”
“Kamu kepingin tahu siapa orang yang menulis
surat itu?! Dia memang mau mengakui sekarang kok.”
“Kamu kok tahu Sal?” tanyaku.
“Ya tahu aja … yang nulis surat itu aku kok.”
“Beneran Sal?”
“Ya benerlah.”
“Huh, dasaaaaar!” Salsia hampir saja aku cekik
jika teman-temanku yang lain tidak menghalangi. Salsia malah cengar-cengir
saja. Tidak merasa berdosa sama sekali.
“Kamu gila ya?! Malah ketawa. Aku kirain siapa
yang neror aku. Tak tahunnya kamu Sal!”
“Ya sorry
Nan ….”
“Kenapa kamu ngerjain aku?” aku marah-marah
tak terkendali. Semua temanku belum ada yang pulang. Mereka melihat ke arahku
semua, tapi aku tidak peduli.
“Sebenarnya aku cuma mau membalas perbuatanmu
dulu.”
“Perbuatan apa?”
“Kamu pernah merusak foto pacarku kan.”
“Ya ampuuuuun … Cuma gara-gara itu. Kejem kamu
Sal.”
Tiba-tiba Dion menghampiriku. Ia pun berkata.
“Maafkan aku juga Nan. Aku jadi ikut bersalah.
Karena aku yang nulis puisi itu. Salsia sih, memaksaku agar mau menulis surat
itu.”
Aku diam tak berkomentar. Aku jadi beteeee
banget sama mereka.
“Please Nan … walaupun aku jahil, aku tetap
sayang sama kamu kok.” Kata Salsia memelas.
Aku lama-lama kasihan sama Salsia. Betapa
jahatnya diriku bila tidak segara memaafkan dan berteman lagi dengan mereka.
“Baiklah, aku maafkan. Tapi jangan diulang
ya,” kataku. Salsia langsung memeluk erat tubuhku.
Setelah Salsia melepaskan pelukkannya, aku
bertanya: “Terus kamu mengirim bunga dan puisi lewat pos kenapa?”
“Bunga?! Kalau yang itu aku tidak tahu Nan.”
Jantungku berdebar kencang. Lalu siapa
pengirim bunga itu?
Adam tiba-tiba saja menghampiri aku. Hatiku semakin berdebar. Jangan-jangan Adam
nih pelaku yang berikutnya.
“Kenapa Nan? Wajahmu tampak pucat. Bukannya
sekarang hari ulang tahunmu, seharusnya kamu tersenyum dan bahagia.” Kata Adam
Adam cuma mau berkata seperti itu. Dia tidak
tahu masalahku, bukan Adam pelakunya.
“Kok diem Nan.”
“Cerewet banget sih kamu!” aku bentak cowok
ugal-ugalan itu. Adam langsung melengos pergi.
“Apakah Alan pengirim bunga itu? Tapi dia
tidak ada di sini. Dia berbeda kelas.” Pikirku dalam hati.
Tiba-tiba teman sekolahku yang bernama Ridwan
menghampiriku. Dia cowok yang paling tampan di kelasku. Dia banyak disukai dan
digemari banyak orang. Jujur, aku pun menggemarinya. Malahan aku tertarik
dengannya. Mau apa Ridwan menghampiriku?
“Nan, ada yang ingin aku bicarakan kepadamu.
Pulangnya aku antar saja ya?”
Aku langsung salah tingkah, Ridwan tanpa aku
duga-duga berkata seperti itu.
“Cit cuiit ….” Teman-temanku menggodaku.
“Diterima aja ajakan Ridwan. Ini kan masih jam
Tujuh. Siapa tahu kamu diajak ke mal atau ke tempat romantis.” Kata Salsia.
“Hiya deh ….” Kataku singkat.
Setelah berpamitan kepada Salsia,
teman-temanku pulang. begitu juga denganku. Aku tidak menelepon sopirku, karena
Ridwan beneran mau mengantarku dengan motor gedenya.
“Berhenti di taman itu sebentar ya Nan.”
“Mau
ngapain ni cowok ngajakin berhenti. Kalau macem-macem aku jitak.” Pikirku
dalam hati.
“Kok diem Nan?! Kamu takut ya? tenang saja,
aku cuma mau ngomong kok. Aku tidak mau macam-macam.”
“Hiya deh ….,” kataku singkat.
Walaupun malam hari, taman itu banyak
dikunjungi orang. Terutama orang-orang yang sedang berpacaran. Kami duduk
berdua di bawah pohon yang rindang setelah Ridwan memarkirkan motornya.
“Kamu mau ngomong apa Wan?” tanyaku.
“Jawab jujur ya. Kamu suka sama aku ya, Nan?”
Ridwan PD bener ngomong kayak gitu. Tapi kok
dia bisa tahu kalau aku suka sama dia ya? Aku memang tidak mengungkapkan isi
hatiku karena aku merasa tidak pantas berpacaran dengan Ridwan.
“Mmmm ….” Aku bingung mau jawab apa. Aku
sangat gerogi.
“Jujur saja tidak apa-apa kok.”
“Kalau bener memang kenapa? Lagian kamu tahu
darimana kalau aku suka sama kamu?” akhirnya aku bisa jujur. Hatiku menjadi
lega mengakui isi hatiku. Kini tinggal menunggu jawaban dari Ridwan.
“Aku diberitahu Salsia.”
“Salsia lagi, Salsia lagi … Dia itu memang
biang keladinya.” Pikirku dalam hati. “Bagaimana ceritanya Salsia bisa
memberitahu itu semua Wan?”
“Hari minggu kemarin aku ketemu dia. Aku
ngobrol lama banget sama dia. sampai-sampai kami ngomongin kamu. Kata Salsia
kamu suka sama aku. Dibukumu juga ada namaku.”
Wah, aku jadi malu dan GR nih mendengar
kata-kata Ridwan barusan.
“Kenapa kamu tidak ngaku saja sama aku. Kenapa
kamu pendem dihati?” tanya Ridwan dengan nada mendesak.
“Karena aku tidak pantas mengakui isi hatiku
ini. Kamu kan cowok keren yang selalu dikagumi. Mungkin seluruh murid-murid SMA
Mulia Harapan Bangsa naksir sama kamu.”
“ya enggaklah kalau semua murid. Berarti
cowok-cowoknya juga naksir aku dong. Hehehe ….” Kata Ridwan sedikit bercanda.
“Lha memangnya kenapa kamu ngajakin aku ke
sini?” tanyaku merasa aneh.
“Karena aku ….”
“Karena aku apa?” aku mulai penasaran.
“Karena aku juga mau mengungkapkan isi hatiku
padamu, Ananda.”
Deg.
Jantungku berdegup.
“Nan, aku juga sudah lama memendam perasaan
ini. Aku diam-diam juga naksir kamu Nan.” Kata Ridwan dengan tatapan serius.
“Apa bener Wan?” Hatiku begitu gembira.
Bertepatan pada hari ulang tahunku, aku mendapat kejutan yang tidak
disangka-sangka.
“Benar Nan … yang mengirim bunga dan puisi
lewat pos adalah aku.”
Terkuak sudahlah. Ternyata Ridwan yang
mengirim bunga itu. Tapi tidak disangka-sangka juga. Bukan Alan, bukan Dion,
dan bukan Adam, tak tahunya Ridwan. Cowok yang sudah lama aku taksir. Tanpa terduga
juga, Ridwan ternyata juga naksir sama aku.
“Ternyata kamu juga pandai bikin puisi ya?”
tanyaku.
“Tidak juga, aku cuma sering baca-baca buku
saja. jadi sedikit bisa. Dion lebih pintar dariku. Lagian membuat puisi juga
tergantung suasana hati kan. Seseorang yang tidak pandai membuat puisi bisa
pintar membuat puisi karena sedang jatuh cinta. Atau sedang kesepian.”
Aku cuma manggut-manggut.
“Terus gimana Wan?” kemudian aku bertanya pada
Ridwan.
“Gimana apanya?”
“Kita kan ternyata saling suka, terus hubungan
kita bagaimana?”
“Ya kita pendekatan dulu. Pada awalnya kan
kita cuma saling menaksir. Mulai sekarang kita harus lebih dekat dan dekat.
Lalu … Insya Allah jadian. Hehehe.”
Aku pun setuju dengan apa yang dikatakan
Ridwan. Hatiku begitu berbunga-bunga. sudah lama aku mulai kenal dekat dengan
Ridwan. Kami akhirnya jadian. Aku makin cinta dengan Ridwan, begitu juga dengan
Ridwan yang mencintaiku dengan tulus. Aku berharap hubunganku sama Ridwan
sampai nikah. Amiiiin ….
Ternyata Ridwanlah cinta sejatiku. Bukan tiga
cowok mister X, eh misterius. Hehehe ….
http://egarnoorwira.blogspot.com/2013/12/cerpen-tiga-cowok-misterius.html
Langganan:
Postingan (Atom)